Senin, 20 Juni 2022

Pencuri Itu Bernama Rindu

“Jangan rindu. Berat. Kamu gak akan kuat. Biar aku saja.”  — Dilan, 1990

Rindu memang berat. Sangat berat, sampai-sampai tidak satu pun hal—tidak terkecuali kata-kata romantis Dilan—bisa menyelamatkanmu dari perangkap mematikan itu. Awalnya, kau rasakan tunas bunga tumbuh dalam hatimu, lalu kupu-kupu berdatangan menyemarakkan suasana dan kau pun semakin terlena hingga berakhir kehilangan jati diri—sesuatu yang selama bertahun-tahun kau yakini sebagai sebenar-benarnya dirimu, warnamu, gambaran bagaimana orang-orang menilaimu, identitas yang melekat pada ruhmu, dan tidak akan bisa diubah oleh apa pun dan siapa pun sampai kapan pun.

Pikirkanlah. Kau—seseorang yang terlalu nyaman dalam ketenangan yang bagi sebagian orang begitu membosankan dan kesendirian yang bagi sebagian orang terasa menyedihkan—tiba-tiba saja memutuskan untuk meninggalkan sarang yang hangat, bepergian sejauh puluhan kilometer menuju suatu tempat yang asing, sendirian, dengan berbekal barang bawaan yang beratnya sepertiga bobot badanmu. Jika kau tidak kehilangan jati dirimu malam itu, sudah pasti kau akan menghabiskan waktu dengan menonton ulang film-film lama yang sudah kau tonton ratusan kali (sampai kau bisa ikut berdialog) sambil memikirkan bagaimana kau akan menghabiskan akhir pekan yang berharga dengan sederet aktivitas paling membosankan di dunia.

Saat sebagian langit di horizon barat sudah gelap, kau tiba di halte bus depan daerah pertokoan. Pikiranmu fokus pada satu hal: kombinasi kode bus yang kau percaya akan membawamu menuju tempat di mana teman kuliahmu menetap selama dua bulan untuk meniti karir. Kau percaya semuanya akan berjalan seperti apa yang dikatakan aplikasi penunjuk rute perjalanan dan kau akan tiba di depan pintu kos temanmu paling lambat dua jam sebelum tengah malam. Menit demi menit berlalu masih dengan keyakinan penuh, sampai pada akhirnya benteng keyakinan itu runtuh dan digantikan rentetan pohon berduri yang mengembuskan napas keraguan. Seruan adzan terdengar dari kejauhan menjadi pertanda bahwa kau sudah menunggu selama hampir empat puluh lima menit—setengah jam lebih lama dari perkiraan—dan bis yang kau tunggu tidak sekali pun terlihat di antara barisan truk pengangkut barang yang berkonvoi di jalanan. Temanmu khawatir dengan situasimu dan fakta bahwa kau sendirian, sementara kau khawatir gagal mengunjunginya malam itu. Dalam hati kau berucap berkali-kali bahwa apa pun yang terjadi, kau tetap harus pergi. Bagaimanapun caranya, malam itu, kau harus menemui temanmu.

Kau yang tidak biasa dengan kejutan dan ketidakpastian pada akhirnya dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa rencana perjalananmu telah kandas. Beruntung temanmu tidak menyerah dan segera menyusun rencana B yang langsung kau eksekusi tanpa pikir panjang. Kau pergi meninggalkan halte menuju stasiun yang jaraknya sembilan kilometer. Sepanjang jalan, kau terus memikirkan seandainya kau tiba di stasiun saat kereta terakhir sudah berangkat. Jika kau tidak kehilangan jati dirimu, pada waktu kau sadar bahwa kau telah menunggu selama empat puluh lima menit untuk sesuatu yang sia-sia, kau tidak akan ragu untuk bertolak kembali ke sarang dan temanmu tidak akan keberatan. Akan tetapi, malam itu, kau benar-benar sudah kehilangan jati dirimu sampai-sampai bertekad menghabiskan malam di stasiun seandainya ketinggalan kereta dan akan melanjutkan perjalanan esok pagi. Apa pun yang terjadi, kau pantang kembali ke sarang.

Untuk pertama kali, kau pergi ke stasiun yang berada tidak jauh dari daerah pusat perbelanjaan kota yang semakin hidup bersama gelapnya malam. Untuk pertama kali, kau melewati pintu masuk peron kereta yang otomatis terbuka oleh sebuah kartu serbaguna. Untuk pertama kali, kau naik kereta yang lintasannya berada di bawah tanah. Untuk pertama kali, kau merasakan banyak hal yang sebelumnya hanya pernah kau saksikan di internet.

Kau berpindah dari satu peron ke peron lain sebab setiap petugas yang kau tanyai memberikan jawaban berbeda sampai akhirnya kau berkesempatan merasakan sensasi mendebarkan tiba di depan pintu kereta tepat saat akan bertolak meninggalkan stasiun. Drama ketinggalan kereta yang anehnya tidak membuatmu kesal sama sekali, mengantarkanmu pada perpotongan takdir dengan seorang wanita tua berusia enam puluh tahun yang bernasib sama denganmu. Kau penasaran setengah mati tentang bagaimana wanita tua itu melihat dan menilaimu, sebab dia tidak sedikit pun ragu untuk berbagi cerita tentang kejadian buruk yang baru saja menimpanya, bahwa dia ketinggalan kereta terakhir yang biasa dia naiki untuk pulang ke rumah sementara daya ponselnya tinggal sedikit sehingga dia khawatir tidak bisa menghubungi sang anak untuk datang menjemputnya di stasiun. Kau berharap bisa membantu, tetapi kau pun sedang dalam krisis daya ponsel yang tinggal sisa setengah padahal perjalanan baru saja dimulai.

Sementara wanita tua itu sempat tertidur dengan begitu pulasnya, kau berusaha sekuat tenaga agar tetap terjaga. Kau tidak mau mengambil risiko kebablasan hingga stasiun antah berantah dan kau tidak punya pilihan lain selain menghubungi temanmu dengan daya ponsel yang kian menipis dan bisa saja menyentuh angka nol pada saat yang tidak tepat.

Stasiun Manggarai, itulah tujuanmu, seperti yang diinstruksikan oleh temanmu. Akan tetapi, lagi-lagi rencana perjalananmu terpaksa diubah, kali ini oleh pengumuman yang mengatakan bahwa kereta yang kau naiki akan melanjutkan perjalanan melewati Stasiun Sudirman. Sungguh sebuah kejutan menyenangkan yang berhasil mengubah sedikit penilaianmu, bahwa tidak semua kejutan itu buruk.

Atas saran seorang pria berkacamata yang duduk di kursi deretan seberang, wanita tua itu mengubah rencana—dia tidak jadi transit di Stasiun Manggarai dan memilih ikut turun di Stasiun Sudirman. Ditemani langit ibukota yang cerah dan kelap-kelip lampu dari gedung-gedung pencakar langit, kau dan wanita tua itu berjalan kaki sejauh setengah kilometer menuju halte bus. Sebuah kebetulan yang menyenangkan karena kalian naik armada yang sama. Wanita tua itu bahkan dengan cekatan men­-tag kursi di depannya untukmu. Terlambat sedikit saja, kau harus menerima konsekuensi berdiri dengan kedua kaki yang mulai loyo sepanjang belasan stop.

Canggung tidak pernah mengisi ruang antara kau dan wanita tua itu, sebab dia selalu punya topik untuk dibicarakan. Mulai dari cerita perjalanan karir anak-anaknya sampai fakta bahwa dia baru saja pergi mengunjungi ibunya yang sedang sakit. Cerita-cerita itu diselingi dengan ungkapan syukur tak berujung karena dipertemukan denganmu sehingga dia tidak perlu melalui perjalanan yang melelahkan dan membingungkan sendirian, dan kau pun bersyukur untuk alasan yang sama. Halte Mampang menjadi saksi perpisahanmu dengan wanita tua itu—dia turun lebih dulu sementara kau melanjutkan perjalanan sepanjang 8 stop lagi.

Setengah jam menjelang tengah malam, kau baru tiba di depan pagar kos temanmu dengan perasaan campur aduk: terharu, lega, dan bahagia. Lupakan soal rasa mengantuk dan lelah yang menggantung di kelopak kedua mata—kau bahkan tidak menyadari hari telah berganti sementara kau dan temanmu tenggelam dalam agenda temu kangen, saling bertukar cerita tentang apa yang kalian lakukan selama beberapa bulan terakhir, kegelisahan di masa-masa yang orang-orang sebut quarter life crisis, dan rencana petualangan esok hari. Satu aturan soal bertemu teman lama setelah terpisah selama bertahun-tahun berlaku malam itu: dini hari adalah waktu paling tepat untuk beranjak ke alam mimpi.

Petualangan mengunjungi museum baru dimulai saat matahari sudah cukup tinggi di ufuk timur. Untuk pertama kali kau naik transjakarta dari pemberhentian di pinggir jalan sehingga kau harus masuk dari pintu depan, menempelkan kartu pada mesin di dekat kemudi supir dan melewati pintu darurat menuju ke area penumpang. Selanjutnya, kau dan temanmu melanjutkan perjalanan menuju stasiun MRT. Pada waktu itu, kau yang tidak biasa mendokumentasikan jejak perjalanan, menjadi terlampau sibuk mengabadikan setiap momen: saat melewati pintu masuk stasiun, naik eskalator, sampai saat kereta tujuan Bundaran HI melintas tepat di depan matamu. Pengalaman pertama kali yang biasanya membuatmu khawatir dan takut, seketika terasa begitu menyenangkan dan membuatmu ketagihan.

Perjalanan menuju museum pertama membutuhkan waktu lebih lama dan jauh lebih melelahkan dari yang kau dan temenmu kira. Berpindah dari satu halte ke halte lain, dari satu bus ke bus lain, melawan arus lautan manusia yang tidak pernah kau inginkan menjadi bagian dari duniamu dan kau melalui semua itu dengan senyum bahagia yang tidak sedikit pun memudar.

Kembali mengunjungi museum setelah terakhir kali melakukannya saat masih mengenakan seragam putih-abu, kau merasa seperti baru saja mengendarai mesin waktu dan kembali ke masa di mana segala sesuatunya terasa asing dan memikat. Pikiranmu dipenuhi imajinasi-imajinasi liar sepanjang matamu menangkap pemadangan benda-benda ajaib dari balik kaca raksasa. Satu hal yang paling menarik perhatianmu adalah peta Indonesia raksasa dikelilingi gambaran wanita dan pria perwakilan suku bangsa dari Sabang hingga Merauke. Gambaran itu membuatmu membayangkan seandainya waktu bergerak mundur dan manusia hidup menyambung hari demi hari dengan bergantung pada segala bentuk kesederhanaan yang disajikan oleh alam. Sebaliknya, temanmu justru membayangkan seandainya waktu bergerak maju, ratusan tahun yang akan datang, ketika  segala yang dimiliki dan dibanggakan manusia saat ini akan menggantikan apa yang kalian lihat dalam kotak kaca, menggantikan lukisan yang terbingkai oleh pigura antik dan menempel di dinding lorong.

Di luar dugaan, satu hari tidak cukup untuk mengelilingi beberapa museum dalam daftar rencana kalian. Lebih pagi dari hari sebelumnya, kau dan temanmu dibawa pergi kereta yang melaju cepat menuju Stasiun Jakarta Kota. Perjalanan yang cukup jauh, usaha melawan kantuk yang masih sesekali usil menggantung di kelopak mata, ditambah keramaian sepanjang jalan dari stasiun menuju kawasan museum, dibayar tunai begitu melihat pemandangan Kota Tua berikut bangunan megah putih nan ikonik yang biasanya kau lihat di acara jalan-jalan pagi di televisi. Anak-anak, para remaja, pasangan suami-istri, semuanya bersuka cita mengelilingi lapangan sambil mengendarai sepeda warna-warni. Pemandangan menyenangkan itu seperti magnet yang menarik langkahmu, matamu—semuanya—untuk berpaling dari deretan bangunan museum bernuansa tempo dulu dan berpindah haluan ke arah lapangan taman yang diguyur teriknya matahari ibukota.

Kau duduk di bangku belakang dengan kedua tangan terbentang menampar hembusan angin panas, sementara temanmu mengayuh sekuat tenaga, membawa sepeda putih mengkilap itu menjelajahi taman yang semakin ramai seiring matahari bergerak semakin tinggi. Seketika kau teringat pada momen diboncengi oleh ayah berkeliling desa naik sepeda tua kakek pada waktu liburan sekolah bertahun-tahun yang lalu. Untuk sesaat kau melupakan segala sesuatu soal kehidupan yang kau jalani saat itu dan menjelma seorang bocah tanpa satu pun permasalahan hidup, kecuali paksaan tidur siang yang kau benci setengah mati.

Dua hari yang menyenangkan berlalu begitu cepat. Kau berpisah dengan temanmu di atas gerbong kereta yang melaju kencang ke arah Bogor. Awan kelabu kian dekat dan hujan rintik-rintik turun saat kau singgah sesaat di Stasiun Jatinegara, menunggu kereta—yang akan membawamu pulang—datang melewati rel dekat peron nomor dua. Bersamamu, sepasang suami-istri berusia senja saling menjaga seperti sepasang sepatu—tidak pernah terpisah lebih jauh dari jarak setengah lengan. Nyaris satu jam kalian menunggu dan kereta yang dinanti-nantikan tidak kunjung datang, sampai seorang petugas mengabarkan bahwa selama ini kalian menunggu di peron yang salah. Bersama rombongan yang lain, kau dan pasangan senja itu berebut antrian naik lift menuju lantai dua untuk berpindah peron, sebab terlambat satu detik saja, kalian harus menunggu setidaknya satu jam lagi sampai kereta selanjutnya datang.

Begitu banyak hal terjadi di luar dugaan selama dua hari terakhir: bis yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, perubahan rute KRL sampai rute transjakarta, dipermainkan informasi menyesatkan dari aplikasi penunjuk jalan, membuat berita soal peron kereta tidak berarti apa-apa bagimu. Tanpa disadari, kau mulai terbiasa dengan keadaan yang jarang bisa sejalan dengan yang direncanakan dan diharapkan.

Dan pada waktu menginjakkan kaki di eskalator stasiun, kau sudah merindukan petualangan bersama temanmu yang baru saja resmi berakhir.

Dan oh, tidak.... Aku ragu telah salah lihat—sungguh, betapa konyol dirimu. Baru seminggu berlalu sejak kau berlagak seperti singa betina dan kini kau kembali menjadi anak kucing rumahan.

Pikiranmu sibuk mempertanyakan bagaimana bisa pada waktu itu kau bersikap tidak seperti dirimu yang biasanya, sementara batinmu sibuk bergelut dengan ketakutan akan perubahan yang selama ini menjadi salah satu musuh terbesarmu. Kau takut bahwa kau akan berubah, kau takut pada suatu ketika tidak bisa lagi mengenali sosok yang balas menatapmu tiap kali bercermin. Rindu—kau menyalahkannya atas segala hal yang kau anggap perbuatan dosa. Ingin rasanya aku menamparmu dengan segelas air dingin agar kau sadar bahwa rindu bukanlah penjahat dan kau bukanlah korban. Kau mungkin memvonis rindu sebagai pencuri yang sudah merenggut salah satu harta berharga yang selama ini kau jaga dengan taruhan nyawa, tetapi tanpa kau sadari, rindu memberimu dua—oh tidak, tiga hal berharga—yang tidak pernah kau bayangkan bisa kau miliki: keberanian, kenekatan, dan pengalaman. Dan biar kuberitahu kau satu hal: tidak pernah kutahu pencuri yang memberi lebih dari yang dia ambil.

Ayolah. Tidak perlu merasa membohongi diri sendiri.

Tidak ada yang salah dengan melakukan sesuatu di luar yang biasa kau lakukan. Tidak ada yang salah dengan bersikap spontan dan sedikit nekat, asalkan kau masih menyatu dengan akal sehat. Bepergian dua hari keluar kota seorang diri tidak akan semerta-merta mengubah siapa dirimu. Kau adalah kau. Kau tidak akan menjadi aku atau dia atau salah satu di antara mereka hanya karena menghabiskan dua malam di bawah atap ibukota, atau karena pengalaman naik MRT atau transjakarta.

Kalaupun suatu ketika kau berubah, apa yang salah dengan itu? Percayalah, sebesar apa pun perubahan yang terjadi padamu, pada waktu kau melihat ke dalam pantulan kedua matamu sendiri, kau tetap akan menemukan dirimu. Lagipula, tidakkah kau penasaran kupu-kupu seperti apakah dirimu di masa depan begitu berhasil keluar dari cangkang itu? Tidakkah kau penasaran seperti apa bentuk dan pesona kelopak yang menyelimutimu pada waktu kau mekar? Tidakkah kau ingin tahu?

Kau ingin tahu, kan? Iya, kan? Karena aku pun begitu.

 

 

 

Share:

Senin, 05 November 2018

Selamat 4 Tahun!

Tepat empat tahun yang lalu, salah satu hal terbaik dalam hidup kudapatkan. Salah satu mimpi terbesarku, atas kehendak Allah, akhirnya bisa terwujud. Pada umur 15 tahun, novel pertamaku yang berjudul “A Dreamer And The Hard Life” terbit.
Masih bisa kuingat dengan jelas apa yang terjadi pada malam itu. Aku sedang memainkan ponsel, membuka akun Facebook (dulu aku bisa online facebook berjam-jam dalam sehari), lalu aku melihat unggahan pada halaman Pink Berry Club muncul di beranda. Mereka mengunggah foto cover novelku dan memberitaukan bahwa novelku akan segera terbit. Aku langsung loncat dari kursi, berteriak, dan memberitau Mama, Papa, dan saudaraku tentang kabar baik itu. Ah... begitu bahagianya aku pada masa itu.
Darimana datangnya ide untuk menulis kisah “A Dreamer And The Hard Life”?
Jadi... Aku sangat suka badminton, meskipun tidak jago dalam bermain (bahkan bisa dibilang aku tidak bisa bermain badminton). Kalau aku tidak salah ingat, aku mengenal badminton sejak SD, mungkin saat kelas 2 atau kelas 3, dan pertandingan badminton menjadi satu-satunya pertandingan olahraga yang kutonton di televisi. Pada masa itu, aku tidak tau siapa saja atlet yang bertanding, aku tidak peduli siapa yang bertanding. Asalkan dia bertanding atas nama Indonesia, asalkan dia memakai kaos dengan bendera merah putih dan tulisan “Indonesia”, aku akan mendukungnya.
Selain karena menurutku badminton adalah olahraga dengan peraturan yang mudah dipahami, salah satu faktor yang membuatku sangat menyukai badminton adalah karena atlet badminton Indonesia bermain dengan sangat sangat sangat baik! Aksi para atlet badminton Indonesia sangat memesona, tidak pernah absen membuatku berseru kegirangan karena mereka terus memanen kemenangan. Kalau ditanya apakah aku ingat pertandingan apa saja yang kutonton sejak kecil, jujur saja, aku tidak ingat. Satu hal yang paling jelas kuingat adalah layar televisi yang menampilkan bendera merah putih berdampingan dengan bendera Jerman dengan skor 5-0 untuk kemenangan telak Indonesia atas Jerman.
Berawal dari suka menonton pertandingan badminton, aku mulai tertarik untuk mencoba, meskipun pada akhirnya tetap saja tidak jago. Aku mulai membayangkan, seperti apa rasanya menjadi atlet? Seperti apa perjuangan yang harus mereka lalui untuk bisa menjadi jawara, untuk bisa mendapat medali emas, untuk bisa membuat Indonesia bangga? Ketika sedang melamun sembari memikirkan hal itu, ide menulis kisah seorang gadis yang dengan gigih berjuang menjadi seorang atlet badminton muncul dan terciptalah karya berjudul “A Dreamer And The Hard Life” ini!
Pada awalnya, aku tidak percaya novelku benar-benar terbit. Aku bahkan masih tidak mempercayai hal itu sampai detik ini, setelah 4 tahun berlalu. Dan hal yang paling tidak kupercaya adalah pesan- pesan dari para pembaca yang mereka kirim lewat roomchat facebook maupun lewat email, pesan-pesan yang sangat manis dan menyulut semangat.
--
A: Bukunya keren banget. Temen aku, namanya X, pernah ikut seleksi Djarum, dia juga kepengen baca buku kakak.
B: Wahhh... Keren! Terima kasih udah baca bukuku, dan semangat untuk X, semoga bisa lolos seleksi hehehe... Dia udah punya bukuku lom?
A: Belom....katanya dia mau nitip atau apa gitu. Aku pernah nawarin, tapi dia bilang dia belum ada kesempatan buat bacanya, soalnya jadwalnya penuh banget. Dia istirahat cuma hari Selasa, jd dia bilang dia mau nitip aja, kapan-kapan. 😋
--
A: Hai,kak Mentari!Namaku XY,panggil saja X.Aku sudah beli buku kakak,lho,yang Pink Berry Club judulnya "A Dreamer And The Hard Life".Keren dan inspiratif banget ceritanya!Two thumbs up for Kak Mentari!
B: Waahh... Terima kasih banyak X sudah beli bukuku 😊seneng deh kalau kamu suka 🙂Tunggu bukuku selanjutnya yaa...
A: Jgn lupa Tag ya kak kalau ada buku baru,kayaknya keren keren
--
A: Ceritanya bagus kak menghibur n menginspirasi. Gambarnya jga bagus mendukung cerita , cuman aku penen tau kalau nheila sma bento kya apa? Hehe ... Pokoknya ceritanya bgus deh
--
A: Kakak, buku kakak bagus banget. Yah, walaupun aku belum punya ... tapi, aku sempet baca sinopsisnya, dan kereeen sekaaliii
Beberapa hari kemudian...
A: Buku Kakak yang A Dreamer And The Hard Life itu seru... aku minjam di perpus sekolah 😀
--
A: konfirmasi pertemanan aku ya, Kak! aku sudah baca buku PBC kakak yang A Dreamer and The Hard Life 😃ceritanya mengharukan
--
A: Haii kak mentari. Aku udh selesai baca buku kakak.. sebnrnya udh dr beberapa hari yg lalu. Minggu lalu deh. Seru bgt kak ceritnya.. tp percakapannya itu terlalu banyak. Ceritanya cocok aja gitu buat remaja.
B: terima kasih sudah membaca dan mengapresiasi 😊
A: aku punya teman cowo.. dia itu susah suruh baca novel.. cm novel tertentu aja yang dia anggap seru.. dan novel kk temasuk.. waktu itu dia yang bilang mau minjam.. aku pinjamin deh.. eh kata dia ceritanya seru kak. 😀
--
Setelah novelku resmi terbit, aku mendapat 5 eksemplar dari penerbit, dan salah satunya kuberikan pada guru Biologi-ku saat SMA, Pak M. Beliau sangat baik, ramah, dan asyik. Beliau merupakan guru di SMA XX yang pertama kali tau bahwa aku suka menulis dan punya mimpi menjadi seorang penulis, dan menjadi yang paling excited ketika tau novel pertamaku telah terbit.
Pada suatu pagi, beliau memanggilku dari depan kelas. Beliau mengatakan bahwa anaknya sangat menyukai novelku, saking sukanya sampai membaca novel itu berkali-kali. Bahkan beliau berujar kalau sejak membaca novelku, sang anak selalu mengajaknya bermain badminton SETIAP PAGI! Aku benar-benar tidak menyangka bahwa novel yang ditulis oleh seorang penulis amatir sepertiku, novel yang butuh waktu 3 tahun untuk bisa terbit, bisa memberi pengaruh sebesar itu. Karena kejadian itu, beliau memintaku menuliskan cerita untuk anaknya, kisah tentang anak yang sehat karena rajin makan sayur, agar anaknya mau makan sayur. Pada saat itu aku menyanggupi, tapi sayang, bahkan sampai aku lulus pun aku tidak sempat menulis kisah itu. Maaf ya Pak L
Tahun 2014 menjadi salah satu tahun terbaik dalam hidupku. Meskipun aku harus pindah sekolah ke salah satu sekolah di kota besar, meskipun aku harus meninggalkan teman-temanku dan beradaptasi di lingkungan baru, ada banyak hal luar biasa yang mengiringinya. Bila aku bisa menghentikan waktu, aku ingin terus hidup pada masa itu. Masa ketika aku benar-benar merasakan betapa indahnya memiliki mimpi dan betapa lengkap hidup yang kumiliki.
Akan tetapi, tentu saja, waktu terus bergulir, detik demi detik, bahkan saat aku menulis tulisan ini. Tentu aku tidak bisa terus hidup pada masa itu, tentu aku tidak bisa kembali ke masa itu untuk merasakan segala kebahagiaan itu sekali lagi, tapi aku punya kesempatan untuk mengulangi ‘masa emas’ itu. Tahun ini, tahun depan, dua tahun lagi, tiga tahun lagi, empat tahun lagi, aku tidak tau. Hanya Allah yang tau, maka aku hanya akan melakukan yang terbaik dan terus percaya bahwa bermimpi memang seindah itu.
Sekali lagi, selamat empat tahun novel pertamaku! Yuk kita doakan bersama agar novel pertamaku segera punya saudara!
--
Kenapa merayakan 4 tahun novel pertama terbit?
Sebenarnya bisa dibilang, ini tuh niat yang muncul secara spontan. Jadi, sekitar beberapa minggu yang lalu, pas lagi minggu-minggu Asian Games, pas lagi rame-ramenya orang se-Indonesia membicarakan badminton, ada akun instagram yang mempromosikan sebuah novel bertema badminton dan berlatar Asian Games 2018. Ketika melihat snapgram berisi promosi itu seketika aku ingat dengan novel pertamaku ini, yang juga menceritakan hal berbau badminton. Senang rasanya ada yang menulis tentang badminton, ditambah semakin hari semakin banyak orang Indonesia yang suka badminton (kurasa efek dari apiknya permainan atlet badminton pada Asian Games tahun ini). Karena kebetulan mendekati Oktober (meskipun ujung-ujungnya tulisan ini diunggah November awal karena... kesibukan kuliah), akhirnya kuputuskan untuk membuat sedikit perayaan untuk novel pertamaku!
Share:

Minggu, 22 April 2018

Bocah Berkacamata di Pojok Ruang Kelas

Bandung, 20 April 2018

Kelas terakhirku berakhir pukul setengah sebelas. Setelah menyelesaikan tugas kelompok, sekitar jam dua belas aku menghubungi temanku, I. Kami berencana mengunjungi salah satu SD dekat kampus kami, SDN Pelesiran. Setahun yang lalu, kami mengadakan program pengabdian masyarakat dengan mengajar anak-anak kelas 6 yang akan menghadapi ujian nasional. Tahun ini, program kami dilanjutkan oleh angkatan 2017. Meksipun sudah bukan kewajiban kami lagi untuk mengajar, tapi aku dan I ingin berkunjung ke sana untuk melihat seperti apa adik-adik yang diajar oleh teman-teman angkatan 2017. Karena suatu hal, aku dan I sempat ragu untuk berkunjung. Akan tetapi, minggu depan ujian akan dimulai dan aku takut sudah tidak ada waktu lagi untuk kami bisa berkunjung. Akhirnya, pukul setengah satu kami menuju ke sana, dan kami bertemu L dan R, teman seangkatan kami yang rupanya juga berniat untuk melihat-lihat.

Karena beberapa teman-teman angkatan 2017 ada yang perlu mengikuti perwalian, akhirnya hanya lima orang yang bisa datang untuk mengajar. Adik-adik sangat antusias untuk belajar meskipun beberapa merengek ingin pulang. Kurasa mereka hanya mencari perhatian, sebab kenyataannya mereka rela menunggu dari jam sebelas hingga jam satu, menunggu kakak-kakak pengajar datang. Saking antusiasnya, kelas menjadi kurang kondusif sehingga aku, I, R, dan L harus ikut turun tangan. Kami yang awalnya hanya berkunjung untuk mengawasi, akhirnya mengajar lagi. Aku pribadi, merasa sangat senang bisa kembali mengajar setelah sekian lama.

Ketika aku masuk kelas, ada satu murid yang menarik perhatianku. Murid laki-laki, dengan kacamata dan duduk di bangku paling belakang dekat pojok kelas. Dia duduk sendiri, tengah sibuk menyantap bekal makan siangnya. Tidak seperti kebanyakan murid laki-laki lain yang suka berlari ke sana kemari sambil menjaili teman lain, dia menghabiskan waktu istirahatnya dengan duduk seorang diri sembari menyantap makan siang dan bermain ponsel. Aku pernah dengar tentang anak itu dari teman-teman 2017. Katanya, bocah itu sangat pintar, seperti Einstein. Namanya Z. Hasil tryout nya lumayan bagus, salah delapan soal dari total tiga puluh enam soal. Kupikir dia yang mendapat nilai tertinggi, rupanya ada tiga murid lain yang berhasil mengerjakan dengan kesalahan hanya pada enam soal.

Awalnya, aku ingin mengajar bocah itu, sekaligus mencoba mengenalnya. Akan tetapi, rupanya dia sudah ditangani oleh L sehingga aku memutuskan mengajari dua siswi yang duduk paling depan. Setelah dua siswi itu diambil alih, aku berpindah mengajari tiga siswa yang duduk bergerombol di depan Z. Aku mengajari beberapa soal matematika dan dasar perhitungan pembagian. Ketika aku sedang mengajari ketiga siswa itu, kudapati Z sedang memainkan ponselnya. Beberapa siswa jadi tertarik untuk tau apa yang sedang dia mainkan sehingga kukatakan padanya “Simpan dulu ya ponselnya, kan masih belajar. Ada soal yang kamu tidak bisa?” Dia menunjuk pada satu soal matematika yang dia jawab dengan salah. “Sebentar ya, aku ajari temanmu dulu.” Selesai mengajari K soal KPK dan faktorisasi, aku mundurkan kursiku dan mulai fokus pada Z. “Coba sini aku baca soalnya.” Menurutku, soal yang dia jawab dengan salah punya level kesulitan yang sangat tinggi untuk diberikan pada anak kelas 6 SD. “Kamu tau cara menghitungnya?”

“Tau.”

“Terus kenapa bingung? Bisa perkalian kan?”

“Bisa.”

“Bisa pembagian?”

“Bisa.”

“Terus bingung kenapa?”

“Pusing, Kaaakkk...”

“Pusing dimananya?”

“Pusingnya di kepala.” Z mengatakannya sambil menunjuk kepalanya. Belum sempat aku memberinya petunjuk cara mengerjakan soal itu, dia mengambil pensil dari genggamanku dan langsung mengerjakannya dengan sangat cepat. Dari langkah-langkahnya mengerjakan soal itu dia benar-benar paham. Aku semakin penasaran, dimana letak kesalahannya. “Tuh, Kak, tidak ada jawabannya.” Jawaban yang dia dapat tidak ada dipilihan manapun. Aku koreksi langkah pengerjaannya dan kutemukan suatu kesalahan yang cukup... sepele.

“Tujuh kali tiga berapa?”

“Dua puluh empat.”

“Yakin...?”

“Yakin.”

“Kalau delapan kali tiga?”

“Dua puluh empat.”

“Kok sama?”

“Iya, sama karena aku pengennya begitu,” ujarnya sambil tertawa.

“Ya tidak bisa lah, pantas saja ndak ada jawabannya.”

“Ada kok.” Dia tulis pada bagian kosong antara pilihan C dan D pilihan baru yang berisi jawaban sesuai perhitungannya. Cerdas sekali. “Tuh ada.”

“Tidak, tidak. Coba kerjakan lagi dengan benar.” Setelah menghitung lagi, akhirnya didapat jawaban benar yang rupanya ada dipiluhan A. “Tuh, ada kan jawabannya.”

“Tidak ada.” Hm, masih ngeles aja kamu, Dik... Dik.

“Hm... kamu jago matematika, ya, tuh salahnya cuma satu.”

“Tidak, itu normal.” Aku tidak habis pikir dengan jawabannya. Biasanya anak kecil akan mengatakan ‘Tidak ah biasa aja’, tapi dia menggunakan diksi yang tidak biasa. Lucu sekali.

“Terus, orang yang jago Matematika itu yang seperti apa?”

“Yang bisa menghitung soal pangkat tiga dalam waktu satu detik.” Lagi-lagi jawaban yang tidak kusangka-sangka. Kupikir dia akan menjawab ‘Orang yang bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar.’ Aku jadi merasa malu karena pernah menganggap diriku jago Matematika pada waktu SD dulu. Bocah ini sudah pasti jelas sangat suka Matematika. Sewaktu kubuka bagian soal Bahasa Indonesia, ada banyak coretan merah di sana. Rupanya, lima dari delapan soal yang dia jawab dengan salah adalah soal Bahasa Indonesia.

“Kamu tidak suka Bahasa Indonesia ya?” Aku bertanya demikian karena biasanya, sebagian besar anak-anak yang pernah kuajar tidak bisa mengerjakan soal suatu mata pelajaran bukan karena mereka bodoh, tapi karena dasar mereka tidak menyukai mata pelajaran itu.

“Tidak bakal pernah suka.” Lagi-lagi jawaban yang mencengangkan.

“Kenapa?”

“Bahasa Indonesia itu tidak seru.”

“Kamu lebih suka angka daripada huruf ya?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Karena tulisan saya jelek.”

“Coba tulis namamu.” Tidak kusangka dia menurut dan akhirnya mau menuliskan namanya pada bagian bawah kertas yang kosong. “Tidak ah, itu normal.”

“Tidak, itu tidak normal.”

“Kalau IPA, suka tidak?”

“Suka hanya materi planet-planet.”

“Oke, kita belajar planet-planet.” Ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi sangat antusias. “Coba, ada berapa planet dalam tata surya kita?”

“Delapan.”

“Sebutkan.”

“Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus.”

“Planet terpanas?”

“Venus.”

“Planet terjauh?”

“Neptunus.”

“Planet terdekat dari matahari?”

“Merkurius.”

“Planet terpanas?”

“Venus.” Ada sedikit penekanan pada saat dia menjawab untuk yang kedua kali. Sepertinya dia sadar aku sudah menanyakan pertanyaan itu sebelumnya.

“Kalau yang terdekat dengan matahari itu Merkurius, kenapa Venus justru yang terpanas?”

“Karena di langit venus itu ada banyak gas CO2 yang menyebabkan efek rumah kaca sehingga menyebabkan Venus jadi panas.” Aku dan R yang duduk di depanku saling bertatapan, kami terpana dengan jawabannya.

“Kamu tau Pluto?”

“Tau.”

“Kenapa Pluto tidak dianggap planet lagi?”

“Karena ada beberapa syarat untuk bisa disebut planet. Pertama bentuknya harus bulat. Kedua harus memutari bintang (mungkin maksudnya pusat tata surya(?)). Ketiga di sekelilingnya tidak boleh ada asteroid.”

“Emang kenapa kalau ada asteroid?”

“Nanti tabrakan.”

“Kamu tau kan sabuk astroid diantara planet Mars dan Jupiter?” Dia mengangguk. “Tapi kenapa Mars tetap dianggap planet padahal ada asteroid di sekelilingnya?”

“Karena asteroidnya tidak bergerak pada orbitnya Mars.” Jujur, aku bahkan belum pernah tau tentang alasan itu.

“Oke, kamu tau tidak asteroid terbesar?” Dia terdiam cukup lama. Mungkin soalnya terlalu sulit.

“Asteroid Ceres.”

“Bahkan aku sendiri tidak tau weh,” ujar R.

“Kalau planet yang punya cincin?”

“Saturnus.”

“Planet dengan masa revolusi terlama?” Dia terdiam. Ekspresi wajahnya menunjukan dia sedang berpikir keras. “Revolusi ya bukan rotasi.”

“Tau revolusi, kan?” tanya R. “Revolusi tuh gerak planet mengelilingi pusat tata surya.” Ekspresi wajah Z tidak berubah. Aku yakin dia berpikir keras. Untuk beberapa anak, ketika ditanyai soal sulit, mereka akan terdiam seolah sedang berpikir, ketika kenyataannya mereka hanya terdiam dan mengulur waktu untuk menjawab. Akan tetapi, Z sepertinya benar-benar memikirkan soal itu.

“Neptunus.” Aku dan R tidak menanyakan alasannya. Tapi, entah kenapa kami yakin bahwa Z menjawabnya dengan logika, atau barangkali dia menghapal masa revolusi tiap planet yang tertulis dalam buku. (Neptunus punya masa revolusi paling lama karena jawaknya paling jauh dari matahari.)

“Kamu tau hujan meteor tidak?” Z terdiam. “Kamu tau meteor kan?” Dia mengangguk. “Oke, apa bedanya meteor dan meteorit?”

“Meteor itu batu yang kecil masuk ke bumi jadi habis terbakar. Kalau meteorit dia lebih besar jadi bushh sampai nabrak bumi (mungkin maksudnya mendarat di permukaan bumi haha...).”

“Jadi, kenapa ada kawah meteor?”

“Ya karena ada yang nabrak bumi.”

“Eh, kenapa sih kalau meteor masuk ke bumi bisa terbakar?”

“Karena gesekan udara.”

“Kamu tau tidak, di bumi ada musim apa aja?”

“Musim dingin, semi, panas, hujan.”

“Jangan dicampur-campur. Kalau negara empat musim ada musim dingin, semi, gugur, panas. Kalau di Indonesia hanya musim hujan dan panas.” R berusaha menjelaskan.

“Kenapa?” tanyaku. “Kenapa di Indonesia musimnya cuma dua?”

“Karena letaknya di daerah khatulistiwa.”

“Kamu tau aurora?” Dia mengangguk. “Aurora ada di kutub utara atau kutub selatan?”

“Kutub utara,” jawabnya setelah berpikir keras. (Maaf ya Z sebenarnya aurora itu ada di kutub utara maupun kutub selatan tapi jenisnya berbeda. Semoga kita bertemu lagi, jadi aku punya kesempatan memberitaumu kebenarannya)

“Kamu tau pelangi?” Z mengangguk. “Kenapa bisa ada pelangi?”

“Jadi... kalau habis hujan kan masih ada butir-butir air di langit, nah terus ada cahaya. Sama air cahayanya dibiaskan terus jadi pelangi.”

“Kenapa di Indonesia tidak ada hujan salju?”

“Ya, kan tadi udah, sih yang karena di daerah khatulistiwa,” ujar R.

“Bukan, maksudnya kenapa hujan yang turun di Indonesia hujan air bukan hujan salju padahal turunnya sama-sama dari atas.”

“Karena pas diatas bentuknya es terus turun kena panas jadi mencair.” (Jujur, waktu itu aku tidak tau jawabannya yang benar apa. Ketika aku menulis ini aku mencari tau lagi dan ternyata jawaban dia benar)

“Kamu tau fenomena halo matahari?” Z diam. “Oke, tidak apa-apa kalau tidak tau.” (Kalau kita bertemu lagi, aku akan menceritakan padamu apa itu halo matahari, tentunya setelah mencari tau dari internet) “Kenapa bisa terjadi gerhana?”

“Gerhana apa?”

“Gerhana... bulan.”

“Karena bumi berada di antara matahari dan bulan.”

“Memangnya kenapa kalau bumi berada di antara matahari dan bulan?”

“Nanti buminya menghalangi cahaya matahari yang akan dipantulkan bulan.”

 “Jenis gerhana ada berapa?”

“Ada gerhana cincin, gerhana total, gerhana sebagian, gerhana separuh.”

“Gerhana sebagian sama gerhana separuh itu sama.”

“Tidak, itu beda.”

“Karena kamu maunya begitu?” tebakku sembari tersenyum padanya yang sudah lebih dulu tertawa.

“Iya.”

Sungguh sangat menyenangkan mengobrol dengannya. Tampak jelas dia sangat menyukai hal-hal tentang planet-planet dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Aku senang mengetahui bahwa dia menyukai Matematika karena sebagian besar anak yang kuajar sangat menghindari Matematika. Aku senang mengetahui anak sekecil Z sudah tau betul apa yang dia sukai. Kurasa itu poin plus untuknya. Ketika kuberbincang-bincang dan berusaha mencaritau, rupanya selama masanya di SD dia sudah berpindah sekolah sebanyak empat kali. Dia pindah dari Depok ke Bandung pada awal masa kelas enam. Aku mengalami hal serupa. Aku pribadi menganggap menjadi murid baru sekali saja sudah sangat berat rasanya, dan dia harus mengalaminya sebanyak empat kali.

Satu hal lain pada dirinya yang menarik perhatianku yaitu ketika salah seorang temannya menghampiri kami dan mengatakan “Dia ini paling pintar di kelas, Kak.” Sebelumnya, karena penasaran, aku menanyakan pada Z tentang siapa yang paling pintar di kelas, dan dia menjawab tidak tau. Kutanya dia peringkat berapa di kelas, dia juga menjawab tidak tau. Kurasa dia tidak suka membicarakan hal seperti itu.

“Tidak, F lebih pintar,” jawab Z dengan ekspresi wajah datar.

“Iya, F lebih pintar kalau Matematika. Kalau IPA, kamu paling pintar.” Dan Z tidak membalas lagi. Beberapa orang yang menyaksikan mungkin berpikir bahwa Z sangat rendah hati dan tidak sombong. Aku akan senang bila memang seperti itu kenyataannya. Akan tetapi, bila dia justru merasa tidak percaya diri dengan kelebihan yang dimiliki, kurasa itu bukan hal baik.

Teruntuk Z, kuharap kita bertemu lagi suatu saat nanti. Ketika kita bertemu, kuharap kamu menceritakan banyak hal tentang apa yang kamu tau tentang luar angkasa. Bila aku mendapat satu kesempatan untuk menjelajahi masa depan dengan mesin waktu, aku akan menggunakan kesempatan itu untuk mengintip masa depanmu.

Teruntuk Z yang menyukai rasi bintang Libra, selamat berjuang. Aku tak sabar melihatmu beranjak dewasa.
Share:

Rabu, 28 Februari 2018

Ungkapan dan Makna

Cinta itu abstrak. Cinta itu tak tampak, tapi ia bisa menjelma, menjadi apa saja
Kenangan, angan-angan, selamanya tersimpan, tak lekang oleh zaman.

Aku punya teman kuliah, inisialnya A. Aku pertama kali bertemu dengannya ketika selepas solat Dzuhur di Masjid Salman. Satu hal pada dirinya yang menarik perhatianku adalah jam tangan yang dikenakan di pergelangan tangan kirinya. Berbandul bulat mungil berwarna keemasan dengan stripe kulit berwarna cokelat nan elegan. Jam tangan itu sangat pas dengan kepribadiannya yang anggun dan santun. Sempat aku meminjam jam itu kemudian mencobanya di pergelangan tangan kiriku, bagus sekali. Aku pun menyukainya.
Belum lama ini, aku dan A mengikuti suatu kegiatan di Kampus Ganesha hingga larut sore. Jam itu dipakai olehnya, seperti biasanya. Ketika langit semakin gelap dan waktu hampir menunjukkan pukul enam, kami memutuskan menunggu adzan Maghrib di Masjid Salman. Ketika adzan berkumandang, kami bergegas wudhu dan menempati saf yang masih kosong. Ketika A meletakkan tasnya di samping tasku, dia baru ingat bahwa jam tangannya tertinggal di tempat wudhu. Buru-buru dia kembali ke tempat wudhu untuk mengambilnya. Padahal belum sampai lima menit dia pergi dari tempat itu, jam tangannya sudah tidak ada di tempat dia meletakannya. Aku menyarankannya untuk mencari lagi, dan ternyata memang tidak ada. Anehnya, di samping tempat A meletakkan kacamatanya, ada kacamata yang tertinggal dan belum juga diambil oleh pemiliknya, dan kacamata itu masih di sana. Sementara jam tangan A? Entah sudah dimana.
Seusai solat, kami memutuskan untuk pergi ke kantor barang hilang dekat kantin masjid. Kami memeriksa setiap barang dalam lemari kaca. Begitu banyak jam tangan yang tertinggal tersimpan di sana. Ada juga beberapa jam yang mirip dengan jam tangannya, namun tidak ada jam tangan miliknya di sana. Ternyata, barang yang baru saja hilang belum dimasukkan ke dalam lemari dan masih didata oleh petugas kantor, karena itu barang-barang yang baru saja hilang masih ada di atas meja. Sayangnya, jam tangan yang kami cari tidak ada diantara barang-barang yang kehilangan pemiliknya itu. Jam tangan A benar-benar hilang!
A bingung, dia masih tidak percaya jam tangannya hilang begitu saja. Kenapa harus jam tangannya, begitu pikirnya. Karena penasaran, akhirnya aku bertanya, berapa harga jam tangan itu karena sepertinya begitu berat baginya kehilangan benda mungil itu. “Bukan masalah harganya, Sih,” ucapnya. “Tapi historinya.” Dia bercerita bahwa kakak laki-laki satu-satunya waktu itu mendapatkan kesempatan training di Jepang. Dari situ kakaknya mendapatkan uang bonus yang kemudian digunakan untuk membeli jam tangan yang sangat berharga itu. Aku meng-oh. Beberapa kali A memang pernah menceritakan tentang kakaknya. Sebagian besar tentang bagaimana mereka tidak pernah akur karena kepribadian mereka yang sangat bertolak belakang. Meskipun begitu, aku selalu berpikir bahwa kakaknya pastilah orang yang sangat baik dan begitu sayang kepada adik perempuan satu-satunya, dan ternyata memang benar adanya. Sebuah cerita yang sangat manis dan romantis, menurutku. Pantas saja A benar-benar tidak bisa dengan mudah merelakan jam tangannya. Aku menyarankan padanya untuk kembali lagi ke kantor barang hilang besok, siapa tau ada seseorang yang menemukan jam tangannya dan karena tidak tau harus dikemanakan akhirnya dibawa pergi. Ya, selalu ada banyak kemungkinan. Dan tidak ada salahnya juga terus mencoba.
**
Beberapa hari sejak kejadian itu, aku dan A, juga beberapa teman yang lain makan siang di kantin sembari menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Dia duduk di sampingku dan seperti menyembunyikan sesuatu di dalam tasnya. Beberapa hari sebelumnya dia menceritakan padaku bahwa dia tetap tidak menemukan jam tangannya dan dia mengatakan pergelangan tangannya terasa sangat aneh karena biasanya jam tangan mungil itu ada di sana, dan sekarang tidak.
Ketika teman-teman yang lain sibuk dengan makan siang mereka, aku yang hanya memesan beberapa potong buah menyadari gerak geriknya. Sebuah kotak yang cukup besar, dibungkus rapi dan sepertinya baru saja diantarkan pak pos pagi ini. A sadar aku memperhatikannya, tapi dia tetap membuka kotak itu diam-diam. Sebuah kotak jam, berisi jam digital berbandul kotak dengan stripe biru muda. Satu per satu temanku yang lain mulai sadar dengan keanehan itu.
Awalnya kupikir jam tangan itu dari kakaknya, kupikir dia menceritakan kehilangan itu dan kakaknya membelikannya jam baru. “Tidak lah, bahaya kalau dia sampai tau jam tangan itu hilang,” ujarnya. Setelah didesak oleh kami untuk menceritakan darimana jam tangan itu akhirnya A mau cerita.
Sejak kehilangan itu, A ngechat temannya di Surabaya bahwa dia menginginkan sesuatu kemudian mengirimkan foto jam tangan yang kini menghiasi pergelangan tangan kirinya. A pun tidak percaya bahwa temannya itu akan benar-benar membelikannya jam tangan yang diinginkannya dan mengirimnya jauh-jauh ke Bandung.
Jam tangan, benda mungil yang menyimpan sesuatu yang besar. Cinta, sejarah, kenangan, dan harapan. Ada orang yang mengungkapkan cintanya dengan sekotak jam tangan, ada yang memberi sekotak jam tangan sebagai hadiah perpisahan dengan harapan akan bertemu lagi, ada yang bertahun-tahun menyimpan jam tangan yang sudah rusak demi menjaga histori yang tersimpan di dalamnya, dan ada pula yang memberi sekotak jam tangan kepada orang terkasih dengan harapan akan selalu dikenang. Tidak perlu dicintai, dikenang saja sudah cukup.

Kepada siapapun yang pernah mendapat hadiah sekotak jam tangan,
Terimalah sekalipun kamu tak suka, barangkali seseorang membeli jam tangan itu dengan mengorbankan segala yang ia punya

Kepada siapapun yang pernah menemukan jam tangan yang hilang,
Carilah pemiliknya sekalipun itu sama sekali bukan urusanmu, barangkali jam tangan itu satu-satunya harta berharga pemiliknya

Kepada siapapun yang membaca cerita ini,
Pandangilah jam tanganmu yang sudah usang, barangkali sesekali ia meronta minta dibersihkan disela-sela kesunyian malam


Share:

Minggu, 10 September 2017

BERITA BESAR: PENEMUAN VIRUS TERBARU YANG MENYERANG HAMPIR SETIAP MANUSIA MASA KINI!


Pernah sakit flu? Apa patogen penyebab penyakitnya? Virus.
Pernah sakit cacar? Apa patogen penyebab penyakitnya? Virus.
Pernah sakit herpes? Apa patogen penyebab penyakitnya? Virus.
Kalau penyakit yang ditandai dengan gejala susah bangun dari tempat tidur, lebih suka berdiam diri di suatu tempat dan tidak melakukan apa-apa, kira-kira penyebabnya apa ya? Virus, kah?
Ya, uraian diatas merupakan gejala dari penyakit yang disebabkan oleh virus, virus M namanya, atau virus MAGER! Fenomena ke-mager-an seolah menjadi sesuatu yang sangat biasa, saking banyaknya orang pernah mengalami hal ini. Awalnya aku merasa biasa aja, menganggap mager hal yang wajar. Sampai aku sendiri merasakan penyakit yang disebabkan oleh virus ganas satu ini, sampai pusing memikirkan apa penawar tepat yang bisa menyembuhkanku dari penyakit ini.
Sejak dulu, aku bukan tipe orang yang aktif dikegiatan non-akademik. Bisa dibilang hal langka bagiku untuk punya teman di sekolah selain teman sekelas. Hal ini terus berlanjut sampai saat ini, sampai pada detik aku menulis cerita ini. Aku selalu merasa ragu untuk terlalu terlibat dalam hal apapun yang berbau non-akademik, yang berpotensi membuatku harus memilih salah satu, dan pasti aku memilih hal terkait akademik. Itu pasti. Seperti sudah otomatis.
Menginjak masa kuliah, ada keinginan dalam diri untuk berubah. Ada rasa, masa iya aku mau gini-gini aja? Masa iya udah kuliah tapi kualitas diri masih segitu-segitu aja? Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti beberapa kegiatan non akademik. Yang pertama adalah kuputuskan mengikuti komunitas mengajar di kampus, sebab aku suka mengajar. Namun kemudian semakin hari aku semakin merasa komitmenku melemah, tidak sekuat dahulu ketika aku berusaha untuk bisa menjadi bagian dari komunitas itu. Aku menjadi sering menghilang, berusaha untuk tidak bertemu orang-orang komunitas itu di kampus, dan tidak membalas pesan-pesan dari mereka. Benar-benar seperti aku menghilang dari peradaban.
Kedua, aku memutuskan ikut unit sastra, sebab aku suka menulis dan membaca, bukan karena selera sastraku tinggi, karena seleraku standar-standar saja. Awalnya aku antusias, namun karena beberapa hal salah satunya kegiatan unit yang mulai hidup menjelang malam, akhirnya aku menjadi anggota yang sangat pasif. Kegiatan unit yang kuikuti hanya submisi karya, dan aku hanya tiga kali mengunjungi sekre unit itu: pada pertemuan pertama, pada saat wawancara dengan ketua unit, dan pada malam penghargaan karena Alhamdulillah aku dianugerahi penghargaan Karya Puisi Terbaik. Setelahnya? Aku menghilang lagi.
Ketiga, aku menjadi koordinator salah satu divisi pada acara pengabdian masyarakat yang berlangsung selama satu semester. Aku benar-benar ikut serta dalam kegiatan itu, dan aku akui fokusku dalam kuliah menjadi benar-benar kacau. Aku mulai berani buka hp di kelas untuk bales chat, aku selalu tidur setelah lewat tengah malam dan akhirnya selalu mengantuk di kelas. Nilaiku? Jangan ditanya lagi, sudah pasti turun. Akan tetapi, jujur dalam hatiku yang terdalam, aku tidak menyesal.
Keempat, aku pernah hendak mengikuti kepanitiaan terpusat, salah satu kepanitiaan terbesar di kampus. Anehnya, setiap waktu diklat panlap, aku selalu sakit. Akhirnya, aku memutuskan mengundurkan diri.
Dan dekat-dekat ini, sebenarnya aku terlibat dua hal, terkait komunitas mengajar dan unit sastra yang kuikuti. Kebetulan, ada teman satu jurusan yang juga mengikuti keduanya dan sangat aktif. Sekitar dua hari yang lalu, temanku sebut saja X mengajakku bicara tentang keterlibatanku. Dia memberiku nasihat, tentang aku yang tiba-tiba menghilang. Aku pun cukup kaget karena dia membahas hal ini. Diakhir, dia mengajakku untuk ikut acara penerimaan anggota baru unit. Sudah aku niatkan untuk datang, tapi akhirnya aku tidak datang. Sampai aku tidak membalas chat dari X pada siang hari menjelang acara dimulai. Bahkan beberapa hari sebelumnya aku tiba-tiba tidak jadi mengikuti wawancara dan microteaching untuk menjadi pengajar anak SMP, SMA. Berbeda dengan cerita sebelumnya, semua terjadi bukan karena aku sibuk, tapi karena aku MAGER! Dan selalu, diakhir aku merasa menyesal dan baru sadar bahwa hanya karena mager, aku kehilangan semua kesempatan itu, dan berujung pada penyesalan.
Aku cerita pada Mama, dan Mama memberiku beberapa nasihat. 
Satu yang terpenting adalah motivasi, sebab pendirian seseorang tidak akan mudah goyah jika ada pilar motivasi dibalik semua itu. 
Bahkan Mama sampai bercerita bahwa waktu SMA, Mama sampai rela pulang sekolah jalan kaki demi bisa beli es dawet durian. Sederhana memang, tapi motivasi yang kuat itu yang utama.
Maka, kawan-kawanku semua, jika kalian sama sepertiku, masih sering terserang mager, yuk coba bangkit! Mulai coba banyak hal, cari apa yang kamu suka, kembangkan hobi yang dimiliki, karena masa muda yang kita miliki benar-benar sangat berharga.
Apabila kamu sama sepertiku, yang lebih cenderung pada hal akademik dibandingkan non-akademik, menurutku tidak masalah. 
Jangan terlalu bandingkan dirimu dengan mereka yang bisa aktif berorganisasi dan melibatkan diri dalam kegiatan non-akademik namun kualitas akademiknya juga bagus. Itu potensi yang dia miliki, dan kamu punya potensimu sendiri. 
Akan tetapi, jika kamu ingin mencoba untuk bisa menyeimbangkan keduanya, selamat berjuang! Semoga sukses!
Intinya adalah, setiap diri dari kita itu berpotensi. Dan virus mager bila terus dipelihara bisa menurunkan potensi yang kita miliki. Nah, pilihan ada pada kita: mau berdiam diri membiarkan potensi terus terkikis atau berjuang menjadi versi terbaik dari diri sendiri? Tentukan pilihanmu…. Sekarang!



Share: