“Jangan rindu. Berat. Kamu gak akan kuat. Biar aku saja.” — Dilan, 1990
Rindu
memang berat. Sangat berat, sampai-sampai tidak satu pun hal—tidak terkecuali
kata-kata romantis Dilan—bisa menyelamatkanmu dari perangkap mematikan itu.
Awalnya, kau rasakan tunas bunga tumbuh dalam hatimu, lalu kupu-kupu berdatangan
menyemarakkan suasana dan kau pun semakin terlena hingga berakhir kehilangan
jati diri—sesuatu yang selama bertahun-tahun kau yakini sebagai
sebenar-benarnya dirimu, warnamu,
gambaran bagaimana orang-orang menilaimu, identitas yang melekat pada ruhmu, dan
tidak akan bisa diubah oleh apa pun dan siapa pun sampai kapan pun.
Pikirkanlah.
Kau—seseorang yang terlalu nyaman dalam ketenangan yang bagi sebagian orang
begitu membosankan dan kesendirian yang bagi sebagian orang terasa
menyedihkan—tiba-tiba saja memutuskan untuk meninggalkan sarang yang hangat,
bepergian sejauh puluhan kilometer menuju suatu tempat yang asing, sendirian,
dengan berbekal barang bawaan yang beratnya sepertiga bobot badanmu. Jika kau
tidak kehilangan jati dirimu malam itu, sudah pasti kau akan menghabiskan waktu
dengan menonton ulang film-film lama yang sudah kau tonton ratusan kali (sampai
kau bisa ikut berdialog) sambil memikirkan bagaimana kau akan menghabiskan
akhir pekan yang berharga dengan sederet aktivitas paling membosankan di dunia.
Saat
sebagian langit di horizon barat sudah gelap, kau tiba di halte bus depan
daerah pertokoan. Pikiranmu fokus pada satu hal: kombinasi kode bus yang kau
percaya akan membawamu menuju tempat di mana teman kuliahmu menetap selama dua
bulan untuk meniti karir. Kau percaya semuanya akan berjalan seperti apa yang
dikatakan aplikasi penunjuk rute perjalanan dan kau akan tiba di depan pintu
kos temanmu paling lambat dua jam sebelum tengah malam. Menit demi menit
berlalu masih dengan keyakinan penuh, sampai pada akhirnya benteng keyakinan
itu runtuh dan digantikan rentetan pohon berduri yang mengembuskan napas
keraguan. Seruan adzan terdengar dari kejauhan menjadi pertanda bahwa kau sudah
menunggu selama hampir empat puluh lima menit—setengah jam lebih lama dari
perkiraan—dan bis yang kau tunggu tidak sekali pun terlihat di antara barisan truk
pengangkut barang yang berkonvoi di jalanan. Temanmu khawatir dengan situasimu
dan fakta bahwa kau sendirian, sementara kau khawatir gagal mengunjunginya
malam itu. Dalam hati kau berucap berkali-kali bahwa apa pun yang terjadi, kau
tetap harus pergi. Bagaimanapun caranya, malam itu, kau harus menemui temanmu.
Kau
yang tidak biasa dengan kejutan dan ketidakpastian pada akhirnya dipaksa untuk
menerima kenyataan bahwa rencana perjalananmu telah kandas. Beruntung temanmu
tidak menyerah dan segera menyusun rencana
B yang langsung kau eksekusi tanpa pikir panjang. Kau pergi meninggalkan halte
menuju stasiun yang jaraknya sembilan kilometer. Sepanjang jalan, kau terus
memikirkan seandainya kau tiba di stasiun saat kereta terakhir sudah berangkat.
Jika kau tidak kehilangan jati dirimu, pada waktu kau sadar bahwa kau telah
menunggu selama empat puluh lima menit untuk sesuatu yang sia-sia, kau tidak
akan ragu untuk bertolak kembali ke sarang dan temanmu tidak akan keberatan.
Akan tetapi, malam itu, kau benar-benar
sudah kehilangan jati dirimu
sampai-sampai bertekad menghabiskan malam di stasiun seandainya ketinggalan
kereta dan akan melanjutkan perjalanan esok pagi. Apa pun yang terjadi, kau
pantang kembali ke sarang.
Untuk
pertama kali, kau pergi ke stasiun yang berada tidak jauh dari daerah pusat
perbelanjaan kota yang semakin hidup bersama gelapnya malam. Untuk pertama
kali, kau melewati pintu masuk peron kereta yang otomatis terbuka oleh sebuah
kartu serbaguna. Untuk pertama kali, kau naik kereta yang lintasannya berada di
bawah tanah. Untuk pertama kali, kau merasakan banyak hal yang sebelumnya hanya
pernah kau saksikan di internet.
Kau
berpindah dari satu peron ke peron lain sebab setiap petugas yang kau tanyai
memberikan jawaban berbeda sampai akhirnya kau berkesempatan merasakan sensasi
mendebarkan tiba di depan pintu kereta tepat saat akan bertolak meninggalkan
stasiun. Drama ketinggalan kereta yang anehnya
tidak membuatmu kesal sama sekali, mengantarkanmu pada perpotongan takdir dengan
seorang wanita tua berusia enam puluh tahun yang bernasib sama denganmu. Kau
penasaran setengah mati tentang bagaimana wanita tua itu melihat dan menilaimu,
sebab dia tidak sedikit pun ragu untuk berbagi cerita tentang kejadian buruk
yang baru saja menimpanya, bahwa dia ketinggalan kereta terakhir yang biasa dia
naiki untuk pulang ke rumah sementara daya ponselnya tinggal sedikit sehingga
dia khawatir tidak bisa menghubungi sang anak untuk datang menjemputnya di
stasiun. Kau berharap bisa membantu, tetapi kau pun sedang dalam krisis daya
ponsel yang tinggal sisa setengah padahal perjalanan baru saja dimulai.
Sementara
wanita tua itu sempat tertidur dengan begitu pulasnya, kau berusaha sekuat
tenaga agar tetap terjaga. Kau tidak mau mengambil risiko kebablasan hingga stasiun antah berantah dan kau tidak punya
pilihan lain selain menghubungi temanmu dengan daya ponsel yang kian menipis
dan bisa saja menyentuh angka nol pada saat yang tidak tepat.
Stasiun
Manggarai, itulah tujuanmu, seperti yang diinstruksikan oleh temanmu. Akan
tetapi, lagi-lagi rencana perjalananmu terpaksa diubah, kali ini oleh pengumuman
yang mengatakan bahwa kereta yang kau naiki akan melanjutkan perjalanan melewati
Stasiun Sudirman. Sungguh sebuah kejutan menyenangkan yang berhasil mengubah sedikit
penilaianmu, bahwa tidak semua kejutan itu buruk.
Atas
saran seorang pria berkacamata yang duduk di kursi deretan seberang, wanita tua
itu mengubah rencana—dia tidak jadi transit di Stasiun Manggarai dan memilih ikut
turun di Stasiun Sudirman. Ditemani langit ibukota yang cerah dan kelap-kelip
lampu dari gedung-gedung pencakar langit, kau dan wanita tua itu berjalan kaki
sejauh setengah kilometer menuju halte bus. Sebuah kebetulan yang menyenangkan
karena kalian naik armada yang sama. Wanita tua itu bahkan dengan cekatan men-tag kursi di depannya untukmu. Terlambat
sedikit saja, kau harus menerima konsekuensi berdiri dengan kedua kaki yang
mulai loyo sepanjang belasan stop.
Canggung
tidak pernah mengisi ruang antara kau dan wanita tua itu, sebab dia selalu
punya topik untuk dibicarakan. Mulai dari cerita perjalanan karir anak-anaknya
sampai fakta bahwa dia baru saja pergi mengunjungi ibunya yang sedang sakit.
Cerita-cerita itu diselingi dengan ungkapan syukur tak berujung karena dipertemukan
denganmu sehingga dia tidak perlu melalui perjalanan yang melelahkan dan
membingungkan sendirian, dan kau pun bersyukur untuk alasan yang sama. Halte
Mampang menjadi saksi perpisahanmu dengan wanita tua itu—dia turun lebih dulu
sementara kau melanjutkan perjalanan sepanjang 8 stop lagi.
Setengah
jam menjelang tengah malam, kau baru tiba di depan pagar kos temanmu dengan
perasaan campur aduk: terharu, lega, dan bahagia. Lupakan soal rasa mengantuk
dan lelah yang menggantung di kelopak kedua mata—kau bahkan tidak menyadari hari
telah berganti sementara kau dan temanmu tenggelam dalam agenda temu kangen, saling
bertukar cerita tentang apa yang kalian lakukan selama beberapa bulan terakhir,
kegelisahan di masa-masa yang orang-orang sebut quarter life crisis, dan rencana petualangan esok hari. Satu aturan
soal bertemu teman lama setelah terpisah selama bertahun-tahun berlaku malam
itu: dini hari adalah waktu paling tepat untuk beranjak ke alam mimpi.
Petualangan
mengunjungi museum baru dimulai saat matahari sudah cukup tinggi di ufuk timur.
Untuk pertama kali kau naik transjakarta dari pemberhentian di pinggir jalan
sehingga kau harus masuk dari pintu depan, menempelkan kartu pada mesin di
dekat kemudi supir dan melewati pintu darurat menuju ke area penumpang. Selanjutnya,
kau dan temanmu melanjutkan perjalanan menuju stasiun MRT. Pada waktu itu, kau
yang tidak biasa mendokumentasikan jejak perjalanan, menjadi terlampau sibuk
mengabadikan setiap momen: saat melewati pintu masuk stasiun, naik eskalator,
sampai saat kereta tujuan Bundaran HI melintas tepat di depan matamu. Pengalaman
pertama kali yang biasanya membuatmu khawatir dan takut, seketika terasa begitu
menyenangkan dan membuatmu ketagihan.
Perjalanan
menuju museum pertama membutuhkan waktu lebih lama dan jauh lebih melelahkan dari
yang kau dan temenmu kira. Berpindah dari satu halte ke halte lain, dari satu
bus ke bus lain, melawan arus lautan manusia yang tidak pernah kau inginkan
menjadi bagian dari duniamu dan kau
melalui semua itu dengan senyum bahagia yang tidak sedikit pun memudar.
Kembali
mengunjungi museum setelah terakhir kali melakukannya saat masih mengenakan
seragam putih-abu, kau merasa seperti baru saja mengendarai mesin waktu dan
kembali ke masa di mana segala sesuatunya terasa asing dan memikat. Pikiranmu
dipenuhi imajinasi-imajinasi liar sepanjang matamu menangkap pemadangan
benda-benda ajaib dari balik kaca raksasa. Satu hal yang paling menarik
perhatianmu adalah peta Indonesia raksasa dikelilingi gambaran wanita dan pria
perwakilan suku bangsa dari Sabang hingga Merauke. Gambaran itu membuatmu
membayangkan seandainya waktu bergerak mundur dan manusia hidup menyambung hari
demi hari dengan bergantung pada segala bentuk kesederhanaan yang disajikan
oleh alam. Sebaliknya, temanmu justru membayangkan seandainya waktu bergerak
maju, ratusan tahun yang akan datang, ketika segala yang dimiliki dan dibanggakan manusia
saat ini akan menggantikan apa yang kalian lihat dalam kotak kaca, menggantikan
lukisan yang terbingkai oleh pigura antik dan menempel di dinding lorong.
Di
luar dugaan, satu hari tidak cukup untuk mengelilingi beberapa museum dalam
daftar rencana kalian. Lebih pagi dari hari sebelumnya, kau dan temanmu dibawa
pergi kereta yang melaju cepat menuju Stasiun Jakarta Kota. Perjalanan yang cukup
jauh, usaha melawan kantuk yang masih sesekali usil menggantung di kelopak
mata, ditambah keramaian sepanjang jalan dari stasiun menuju kawasan museum, dibayar
tunai begitu melihat pemandangan Kota Tua berikut bangunan megah putih nan
ikonik yang biasanya kau lihat di acara jalan-jalan pagi di televisi. Anak-anak,
para remaja, pasangan suami-istri, semuanya bersuka cita mengelilingi lapangan
sambil mengendarai sepeda warna-warni. Pemandangan menyenangkan itu seperti
magnet yang menarik langkahmu, matamu—semuanya—untuk berpaling dari deretan
bangunan museum bernuansa tempo dulu dan berpindah haluan ke arah lapangan
taman yang diguyur teriknya matahari ibukota.
Kau
duduk di bangku belakang dengan kedua tangan terbentang menampar hembusan angin
panas, sementara temanmu mengayuh sekuat tenaga, membawa sepeda putih mengkilap
itu menjelajahi taman yang semakin ramai seiring matahari bergerak semakin
tinggi. Seketika kau teringat pada momen diboncengi oleh ayah berkeliling desa
naik sepeda tua kakek pada waktu liburan sekolah bertahun-tahun yang lalu.
Untuk sesaat kau melupakan segala sesuatu soal kehidupan yang kau jalani saat
itu dan menjelma seorang bocah tanpa satu pun permasalahan hidup, kecuali paksaan
tidur siang yang kau benci setengah mati.
Dua
hari yang menyenangkan berlalu begitu cepat. Kau berpisah dengan temanmu di
atas gerbong kereta yang melaju kencang ke arah Bogor. Awan kelabu kian dekat
dan hujan rintik-rintik turun saat kau singgah sesaat di Stasiun Jatinegara,
menunggu kereta—yang akan membawamu pulang—datang melewati rel dekat peron
nomor dua. Bersamamu, sepasang suami-istri berusia senja saling menjaga seperti
sepasang sepatu—tidak pernah terpisah lebih jauh dari jarak setengah lengan.
Nyaris satu jam kalian menunggu dan kereta yang dinanti-nantikan tidak kunjung
datang, sampai seorang petugas mengabarkan bahwa selama ini kalian menunggu di
peron yang salah. Bersama rombongan yang lain, kau dan pasangan senja itu
berebut antrian naik lift menuju lantai dua untuk berpindah peron, sebab
terlambat satu detik saja, kalian harus menunggu setidaknya satu jam lagi
sampai kereta selanjutnya datang.
Begitu
banyak hal terjadi di luar dugaan selama dua hari terakhir: bis yang
ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, perubahan rute KRL sampai rute
transjakarta, dipermainkan informasi menyesatkan dari aplikasi penunjuk jalan,
membuat berita soal peron kereta tidak berarti apa-apa bagimu. Tanpa disadari,
kau mulai terbiasa dengan keadaan yang jarang bisa sejalan dengan yang
direncanakan dan diharapkan.
Dan
pada waktu menginjakkan kaki di eskalator stasiun, kau sudah merindukan
petualangan bersama temanmu yang baru saja resmi berakhir.
Dan
oh, tidak.... Aku ragu telah salah lihat—sungguh, betapa konyol dirimu. Baru
seminggu berlalu sejak kau berlagak seperti singa betina dan kini kau kembali
menjadi anak kucing rumahan.
Pikiranmu sibuk mempertanyakan bagaimana bisa pada waktu itu kau bersikap tidak seperti dirimu yang biasanya, sementara batinmu sibuk bergelut dengan ketakutan akan perubahan yang selama ini menjadi salah satu musuh terbesarmu. Kau takut bahwa kau akan berubah, kau takut pada suatu ketika tidak bisa lagi mengenali sosok yang balas menatapmu tiap kali bercermin. Rindu—kau menyalahkannya atas segala hal yang kau anggap perbuatan dosa. Ingin rasanya aku menamparmu dengan segelas air dingin agar kau sadar bahwa rindu bukanlah penjahat dan kau bukanlah korban. Kau mungkin memvonis rindu sebagai pencuri yang sudah merenggut salah satu harta berharga yang selama ini kau jaga dengan taruhan nyawa, tetapi tanpa kau sadari, rindu memberimu dua—oh tidak, tiga hal berharga—yang tidak pernah kau bayangkan bisa kau miliki: keberanian, kenekatan, dan pengalaman. Dan biar kuberitahu kau satu hal: tidak pernah kutahu pencuri yang memberi lebih dari yang dia ambil.
Ayolah.
Tidak perlu merasa membohongi diri sendiri.
Tidak
ada yang salah dengan melakukan sesuatu di luar yang biasa kau lakukan. Tidak
ada yang salah dengan bersikap spontan dan sedikit nekat, asalkan kau masih
menyatu dengan akal sehat. Bepergian dua hari keluar kota seorang diri tidak
akan semerta-merta mengubah siapa dirimu. Kau adalah kau. Kau tidak akan
menjadi aku atau dia atau salah satu di antara mereka hanya karena menghabiskan
dua malam di bawah atap ibukota, atau karena pengalaman naik MRT atau
transjakarta.
Kalaupun
suatu ketika kau berubah, apa yang salah dengan itu? Percayalah, sebesar apa pun
perubahan yang terjadi padamu, pada waktu kau melihat ke dalam pantulan kedua
matamu sendiri, kau tetap akan menemukan dirimu.
Lagipula, tidakkah kau penasaran kupu-kupu seperti apakah dirimu di masa
depan begitu berhasil keluar dari cangkang
itu? Tidakkah kau penasaran seperti apa bentuk dan pesona kelopak yang
menyelimutimu pada waktu kau mekar? Tidakkah kau ingin tahu?
Kau
ingin tahu, kan? Iya, kan? Karena aku pun begitu.