Senin, 05 November 2018

Selamat 4 Tahun!

Tepat empat tahun yang lalu, salah satu hal terbaik dalam hidup kudapatkan. Salah satu mimpi terbesarku, atas kehendak Allah, akhirnya bisa terwujud. Pada umur 15 tahun, novel pertamaku yang berjudul “A Dreamer And The Hard Life” terbit.
Masih bisa kuingat dengan jelas apa yang terjadi pada malam itu. Aku sedang memainkan ponsel, membuka akun Facebook (dulu aku bisa online facebook berjam-jam dalam sehari), lalu aku melihat unggahan pada halaman Pink Berry Club muncul di beranda. Mereka mengunggah foto cover novelku dan memberitaukan bahwa novelku akan segera terbit. Aku langsung loncat dari kursi, berteriak, dan memberitau Mama, Papa, dan saudaraku tentang kabar baik itu. Ah... begitu bahagianya aku pada masa itu.
Darimana datangnya ide untuk menulis kisah “A Dreamer And The Hard Life”?
Jadi... Aku sangat suka badminton, meskipun tidak jago dalam bermain (bahkan bisa dibilang aku tidak bisa bermain badminton). Kalau aku tidak salah ingat, aku mengenal badminton sejak SD, mungkin saat kelas 2 atau kelas 3, dan pertandingan badminton menjadi satu-satunya pertandingan olahraga yang kutonton di televisi. Pada masa itu, aku tidak tau siapa saja atlet yang bertanding, aku tidak peduli siapa yang bertanding. Asalkan dia bertanding atas nama Indonesia, asalkan dia memakai kaos dengan bendera merah putih dan tulisan “Indonesia”, aku akan mendukungnya.
Selain karena menurutku badminton adalah olahraga dengan peraturan yang mudah dipahami, salah satu faktor yang membuatku sangat menyukai badminton adalah karena atlet badminton Indonesia bermain dengan sangat sangat sangat baik! Aksi para atlet badminton Indonesia sangat memesona, tidak pernah absen membuatku berseru kegirangan karena mereka terus memanen kemenangan. Kalau ditanya apakah aku ingat pertandingan apa saja yang kutonton sejak kecil, jujur saja, aku tidak ingat. Satu hal yang paling jelas kuingat adalah layar televisi yang menampilkan bendera merah putih berdampingan dengan bendera Jerman dengan skor 5-0 untuk kemenangan telak Indonesia atas Jerman.
Berawal dari suka menonton pertandingan badminton, aku mulai tertarik untuk mencoba, meskipun pada akhirnya tetap saja tidak jago. Aku mulai membayangkan, seperti apa rasanya menjadi atlet? Seperti apa perjuangan yang harus mereka lalui untuk bisa menjadi jawara, untuk bisa mendapat medali emas, untuk bisa membuat Indonesia bangga? Ketika sedang melamun sembari memikirkan hal itu, ide menulis kisah seorang gadis yang dengan gigih berjuang menjadi seorang atlet badminton muncul dan terciptalah karya berjudul “A Dreamer And The Hard Life” ini!
Pada awalnya, aku tidak percaya novelku benar-benar terbit. Aku bahkan masih tidak mempercayai hal itu sampai detik ini, setelah 4 tahun berlalu. Dan hal yang paling tidak kupercaya adalah pesan- pesan dari para pembaca yang mereka kirim lewat roomchat facebook maupun lewat email, pesan-pesan yang sangat manis dan menyulut semangat.
--
A: Bukunya keren banget. Temen aku, namanya X, pernah ikut seleksi Djarum, dia juga kepengen baca buku kakak.
B: Wahhh... Keren! Terima kasih udah baca bukuku, dan semangat untuk X, semoga bisa lolos seleksi hehehe... Dia udah punya bukuku lom?
A: Belom....katanya dia mau nitip atau apa gitu. Aku pernah nawarin, tapi dia bilang dia belum ada kesempatan buat bacanya, soalnya jadwalnya penuh banget. Dia istirahat cuma hari Selasa, jd dia bilang dia mau nitip aja, kapan-kapan. 😋
--
A: Hai,kak Mentari!Namaku XY,panggil saja X.Aku sudah beli buku kakak,lho,yang Pink Berry Club judulnya "A Dreamer And The Hard Life".Keren dan inspiratif banget ceritanya!Two thumbs up for Kak Mentari!
B: Waahh... Terima kasih banyak X sudah beli bukuku 😊seneng deh kalau kamu suka 🙂Tunggu bukuku selanjutnya yaa...
A: Jgn lupa Tag ya kak kalau ada buku baru,kayaknya keren keren
--
A: Ceritanya bagus kak menghibur n menginspirasi. Gambarnya jga bagus mendukung cerita , cuman aku penen tau kalau nheila sma bento kya apa? Hehe ... Pokoknya ceritanya bgus deh
--
A: Kakak, buku kakak bagus banget. Yah, walaupun aku belum punya ... tapi, aku sempet baca sinopsisnya, dan kereeen sekaaliii
Beberapa hari kemudian...
A: Buku Kakak yang A Dreamer And The Hard Life itu seru... aku minjam di perpus sekolah 😀
--
A: konfirmasi pertemanan aku ya, Kak! aku sudah baca buku PBC kakak yang A Dreamer and The Hard Life 😃ceritanya mengharukan
--
A: Haii kak mentari. Aku udh selesai baca buku kakak.. sebnrnya udh dr beberapa hari yg lalu. Minggu lalu deh. Seru bgt kak ceritnya.. tp percakapannya itu terlalu banyak. Ceritanya cocok aja gitu buat remaja.
B: terima kasih sudah membaca dan mengapresiasi 😊
A: aku punya teman cowo.. dia itu susah suruh baca novel.. cm novel tertentu aja yang dia anggap seru.. dan novel kk temasuk.. waktu itu dia yang bilang mau minjam.. aku pinjamin deh.. eh kata dia ceritanya seru kak. 😀
--
Setelah novelku resmi terbit, aku mendapat 5 eksemplar dari penerbit, dan salah satunya kuberikan pada guru Biologi-ku saat SMA, Pak M. Beliau sangat baik, ramah, dan asyik. Beliau merupakan guru di SMA XX yang pertama kali tau bahwa aku suka menulis dan punya mimpi menjadi seorang penulis, dan menjadi yang paling excited ketika tau novel pertamaku telah terbit.
Pada suatu pagi, beliau memanggilku dari depan kelas. Beliau mengatakan bahwa anaknya sangat menyukai novelku, saking sukanya sampai membaca novel itu berkali-kali. Bahkan beliau berujar kalau sejak membaca novelku, sang anak selalu mengajaknya bermain badminton SETIAP PAGI! Aku benar-benar tidak menyangka bahwa novel yang ditulis oleh seorang penulis amatir sepertiku, novel yang butuh waktu 3 tahun untuk bisa terbit, bisa memberi pengaruh sebesar itu. Karena kejadian itu, beliau memintaku menuliskan cerita untuk anaknya, kisah tentang anak yang sehat karena rajin makan sayur, agar anaknya mau makan sayur. Pada saat itu aku menyanggupi, tapi sayang, bahkan sampai aku lulus pun aku tidak sempat menulis kisah itu. Maaf ya Pak L
Tahun 2014 menjadi salah satu tahun terbaik dalam hidupku. Meskipun aku harus pindah sekolah ke salah satu sekolah di kota besar, meskipun aku harus meninggalkan teman-temanku dan beradaptasi di lingkungan baru, ada banyak hal luar biasa yang mengiringinya. Bila aku bisa menghentikan waktu, aku ingin terus hidup pada masa itu. Masa ketika aku benar-benar merasakan betapa indahnya memiliki mimpi dan betapa lengkap hidup yang kumiliki.
Akan tetapi, tentu saja, waktu terus bergulir, detik demi detik, bahkan saat aku menulis tulisan ini. Tentu aku tidak bisa terus hidup pada masa itu, tentu aku tidak bisa kembali ke masa itu untuk merasakan segala kebahagiaan itu sekali lagi, tapi aku punya kesempatan untuk mengulangi ‘masa emas’ itu. Tahun ini, tahun depan, dua tahun lagi, tiga tahun lagi, empat tahun lagi, aku tidak tau. Hanya Allah yang tau, maka aku hanya akan melakukan yang terbaik dan terus percaya bahwa bermimpi memang seindah itu.
Sekali lagi, selamat empat tahun novel pertamaku! Yuk kita doakan bersama agar novel pertamaku segera punya saudara!
--
Kenapa merayakan 4 tahun novel pertama terbit?
Sebenarnya bisa dibilang, ini tuh niat yang muncul secara spontan. Jadi, sekitar beberapa minggu yang lalu, pas lagi minggu-minggu Asian Games, pas lagi rame-ramenya orang se-Indonesia membicarakan badminton, ada akun instagram yang mempromosikan sebuah novel bertema badminton dan berlatar Asian Games 2018. Ketika melihat snapgram berisi promosi itu seketika aku ingat dengan novel pertamaku ini, yang juga menceritakan hal berbau badminton. Senang rasanya ada yang menulis tentang badminton, ditambah semakin hari semakin banyak orang Indonesia yang suka badminton (kurasa efek dari apiknya permainan atlet badminton pada Asian Games tahun ini). Karena kebetulan mendekati Oktober (meskipun ujung-ujungnya tulisan ini diunggah November awal karena... kesibukan kuliah), akhirnya kuputuskan untuk membuat sedikit perayaan untuk novel pertamaku!
Share:

Minggu, 22 April 2018

Bocah Berkacamata di Pojok Ruang Kelas

Bandung, 20 April 2018

Kelas terakhirku berakhir pukul setengah sebelas. Setelah menyelesaikan tugas kelompok, sekitar jam dua belas aku menghubungi temanku, I. Kami berencana mengunjungi salah satu SD dekat kampus kami, SDN Pelesiran. Setahun yang lalu, kami mengadakan program pengabdian masyarakat dengan mengajar anak-anak kelas 6 yang akan menghadapi ujian nasional. Tahun ini, program kami dilanjutkan oleh angkatan 2017. Meksipun sudah bukan kewajiban kami lagi untuk mengajar, tapi aku dan I ingin berkunjung ke sana untuk melihat seperti apa adik-adik yang diajar oleh teman-teman angkatan 2017. Karena suatu hal, aku dan I sempat ragu untuk berkunjung. Akan tetapi, minggu depan ujian akan dimulai dan aku takut sudah tidak ada waktu lagi untuk kami bisa berkunjung. Akhirnya, pukul setengah satu kami menuju ke sana, dan kami bertemu L dan R, teman seangkatan kami yang rupanya juga berniat untuk melihat-lihat.

Karena beberapa teman-teman angkatan 2017 ada yang perlu mengikuti perwalian, akhirnya hanya lima orang yang bisa datang untuk mengajar. Adik-adik sangat antusias untuk belajar meskipun beberapa merengek ingin pulang. Kurasa mereka hanya mencari perhatian, sebab kenyataannya mereka rela menunggu dari jam sebelas hingga jam satu, menunggu kakak-kakak pengajar datang. Saking antusiasnya, kelas menjadi kurang kondusif sehingga aku, I, R, dan L harus ikut turun tangan. Kami yang awalnya hanya berkunjung untuk mengawasi, akhirnya mengajar lagi. Aku pribadi, merasa sangat senang bisa kembali mengajar setelah sekian lama.

Ketika aku masuk kelas, ada satu murid yang menarik perhatianku. Murid laki-laki, dengan kacamata dan duduk di bangku paling belakang dekat pojok kelas. Dia duduk sendiri, tengah sibuk menyantap bekal makan siangnya. Tidak seperti kebanyakan murid laki-laki lain yang suka berlari ke sana kemari sambil menjaili teman lain, dia menghabiskan waktu istirahatnya dengan duduk seorang diri sembari menyantap makan siang dan bermain ponsel. Aku pernah dengar tentang anak itu dari teman-teman 2017. Katanya, bocah itu sangat pintar, seperti Einstein. Namanya Z. Hasil tryout nya lumayan bagus, salah delapan soal dari total tiga puluh enam soal. Kupikir dia yang mendapat nilai tertinggi, rupanya ada tiga murid lain yang berhasil mengerjakan dengan kesalahan hanya pada enam soal.

Awalnya, aku ingin mengajar bocah itu, sekaligus mencoba mengenalnya. Akan tetapi, rupanya dia sudah ditangani oleh L sehingga aku memutuskan mengajari dua siswi yang duduk paling depan. Setelah dua siswi itu diambil alih, aku berpindah mengajari tiga siswa yang duduk bergerombol di depan Z. Aku mengajari beberapa soal matematika dan dasar perhitungan pembagian. Ketika aku sedang mengajari ketiga siswa itu, kudapati Z sedang memainkan ponselnya. Beberapa siswa jadi tertarik untuk tau apa yang sedang dia mainkan sehingga kukatakan padanya “Simpan dulu ya ponselnya, kan masih belajar. Ada soal yang kamu tidak bisa?” Dia menunjuk pada satu soal matematika yang dia jawab dengan salah. “Sebentar ya, aku ajari temanmu dulu.” Selesai mengajari K soal KPK dan faktorisasi, aku mundurkan kursiku dan mulai fokus pada Z. “Coba sini aku baca soalnya.” Menurutku, soal yang dia jawab dengan salah punya level kesulitan yang sangat tinggi untuk diberikan pada anak kelas 6 SD. “Kamu tau cara menghitungnya?”

“Tau.”

“Terus kenapa bingung? Bisa perkalian kan?”

“Bisa.”

“Bisa pembagian?”

“Bisa.”

“Terus bingung kenapa?”

“Pusing, Kaaakkk...”

“Pusing dimananya?”

“Pusingnya di kepala.” Z mengatakannya sambil menunjuk kepalanya. Belum sempat aku memberinya petunjuk cara mengerjakan soal itu, dia mengambil pensil dari genggamanku dan langsung mengerjakannya dengan sangat cepat. Dari langkah-langkahnya mengerjakan soal itu dia benar-benar paham. Aku semakin penasaran, dimana letak kesalahannya. “Tuh, Kak, tidak ada jawabannya.” Jawaban yang dia dapat tidak ada dipilihan manapun. Aku koreksi langkah pengerjaannya dan kutemukan suatu kesalahan yang cukup... sepele.

“Tujuh kali tiga berapa?”

“Dua puluh empat.”

“Yakin...?”

“Yakin.”

“Kalau delapan kali tiga?”

“Dua puluh empat.”

“Kok sama?”

“Iya, sama karena aku pengennya begitu,” ujarnya sambil tertawa.

“Ya tidak bisa lah, pantas saja ndak ada jawabannya.”

“Ada kok.” Dia tulis pada bagian kosong antara pilihan C dan D pilihan baru yang berisi jawaban sesuai perhitungannya. Cerdas sekali. “Tuh ada.”

“Tidak, tidak. Coba kerjakan lagi dengan benar.” Setelah menghitung lagi, akhirnya didapat jawaban benar yang rupanya ada dipiluhan A. “Tuh, ada kan jawabannya.”

“Tidak ada.” Hm, masih ngeles aja kamu, Dik... Dik.

“Hm... kamu jago matematika, ya, tuh salahnya cuma satu.”

“Tidak, itu normal.” Aku tidak habis pikir dengan jawabannya. Biasanya anak kecil akan mengatakan ‘Tidak ah biasa aja’, tapi dia menggunakan diksi yang tidak biasa. Lucu sekali.

“Terus, orang yang jago Matematika itu yang seperti apa?”

“Yang bisa menghitung soal pangkat tiga dalam waktu satu detik.” Lagi-lagi jawaban yang tidak kusangka-sangka. Kupikir dia akan menjawab ‘Orang yang bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar.’ Aku jadi merasa malu karena pernah menganggap diriku jago Matematika pada waktu SD dulu. Bocah ini sudah pasti jelas sangat suka Matematika. Sewaktu kubuka bagian soal Bahasa Indonesia, ada banyak coretan merah di sana. Rupanya, lima dari delapan soal yang dia jawab dengan salah adalah soal Bahasa Indonesia.

“Kamu tidak suka Bahasa Indonesia ya?” Aku bertanya demikian karena biasanya, sebagian besar anak-anak yang pernah kuajar tidak bisa mengerjakan soal suatu mata pelajaran bukan karena mereka bodoh, tapi karena dasar mereka tidak menyukai mata pelajaran itu.

“Tidak bakal pernah suka.” Lagi-lagi jawaban yang mencengangkan.

“Kenapa?”

“Bahasa Indonesia itu tidak seru.”

“Kamu lebih suka angka daripada huruf ya?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Karena tulisan saya jelek.”

“Coba tulis namamu.” Tidak kusangka dia menurut dan akhirnya mau menuliskan namanya pada bagian bawah kertas yang kosong. “Tidak ah, itu normal.”

“Tidak, itu tidak normal.”

“Kalau IPA, suka tidak?”

“Suka hanya materi planet-planet.”

“Oke, kita belajar planet-planet.” Ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi sangat antusias. “Coba, ada berapa planet dalam tata surya kita?”

“Delapan.”

“Sebutkan.”

“Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus.”

“Planet terpanas?”

“Venus.”

“Planet terjauh?”

“Neptunus.”

“Planet terdekat dari matahari?”

“Merkurius.”

“Planet terpanas?”

“Venus.” Ada sedikit penekanan pada saat dia menjawab untuk yang kedua kali. Sepertinya dia sadar aku sudah menanyakan pertanyaan itu sebelumnya.

“Kalau yang terdekat dengan matahari itu Merkurius, kenapa Venus justru yang terpanas?”

“Karena di langit venus itu ada banyak gas CO2 yang menyebabkan efek rumah kaca sehingga menyebabkan Venus jadi panas.” Aku dan R yang duduk di depanku saling bertatapan, kami terpana dengan jawabannya.

“Kamu tau Pluto?”

“Tau.”

“Kenapa Pluto tidak dianggap planet lagi?”

“Karena ada beberapa syarat untuk bisa disebut planet. Pertama bentuknya harus bulat. Kedua harus memutari bintang (mungkin maksudnya pusat tata surya(?)). Ketiga di sekelilingnya tidak boleh ada asteroid.”

“Emang kenapa kalau ada asteroid?”

“Nanti tabrakan.”

“Kamu tau kan sabuk astroid diantara planet Mars dan Jupiter?” Dia mengangguk. “Tapi kenapa Mars tetap dianggap planet padahal ada asteroid di sekelilingnya?”

“Karena asteroidnya tidak bergerak pada orbitnya Mars.” Jujur, aku bahkan belum pernah tau tentang alasan itu.

“Oke, kamu tau tidak asteroid terbesar?” Dia terdiam cukup lama. Mungkin soalnya terlalu sulit.

“Asteroid Ceres.”

“Bahkan aku sendiri tidak tau weh,” ujar R.

“Kalau planet yang punya cincin?”

“Saturnus.”

“Planet dengan masa revolusi terlama?” Dia terdiam. Ekspresi wajahnya menunjukan dia sedang berpikir keras. “Revolusi ya bukan rotasi.”

“Tau revolusi, kan?” tanya R. “Revolusi tuh gerak planet mengelilingi pusat tata surya.” Ekspresi wajah Z tidak berubah. Aku yakin dia berpikir keras. Untuk beberapa anak, ketika ditanyai soal sulit, mereka akan terdiam seolah sedang berpikir, ketika kenyataannya mereka hanya terdiam dan mengulur waktu untuk menjawab. Akan tetapi, Z sepertinya benar-benar memikirkan soal itu.

“Neptunus.” Aku dan R tidak menanyakan alasannya. Tapi, entah kenapa kami yakin bahwa Z menjawabnya dengan logika, atau barangkali dia menghapal masa revolusi tiap planet yang tertulis dalam buku. (Neptunus punya masa revolusi paling lama karena jawaknya paling jauh dari matahari.)

“Kamu tau hujan meteor tidak?” Z terdiam. “Kamu tau meteor kan?” Dia mengangguk. “Oke, apa bedanya meteor dan meteorit?”

“Meteor itu batu yang kecil masuk ke bumi jadi habis terbakar. Kalau meteorit dia lebih besar jadi bushh sampai nabrak bumi (mungkin maksudnya mendarat di permukaan bumi haha...).”

“Jadi, kenapa ada kawah meteor?”

“Ya karena ada yang nabrak bumi.”

“Eh, kenapa sih kalau meteor masuk ke bumi bisa terbakar?”

“Karena gesekan udara.”

“Kamu tau tidak, di bumi ada musim apa aja?”

“Musim dingin, semi, panas, hujan.”

“Jangan dicampur-campur. Kalau negara empat musim ada musim dingin, semi, gugur, panas. Kalau di Indonesia hanya musim hujan dan panas.” R berusaha menjelaskan.

“Kenapa?” tanyaku. “Kenapa di Indonesia musimnya cuma dua?”

“Karena letaknya di daerah khatulistiwa.”

“Kamu tau aurora?” Dia mengangguk. “Aurora ada di kutub utara atau kutub selatan?”

“Kutub utara,” jawabnya setelah berpikir keras. (Maaf ya Z sebenarnya aurora itu ada di kutub utara maupun kutub selatan tapi jenisnya berbeda. Semoga kita bertemu lagi, jadi aku punya kesempatan memberitaumu kebenarannya)

“Kamu tau pelangi?” Z mengangguk. “Kenapa bisa ada pelangi?”

“Jadi... kalau habis hujan kan masih ada butir-butir air di langit, nah terus ada cahaya. Sama air cahayanya dibiaskan terus jadi pelangi.”

“Kenapa di Indonesia tidak ada hujan salju?”

“Ya, kan tadi udah, sih yang karena di daerah khatulistiwa,” ujar R.

“Bukan, maksudnya kenapa hujan yang turun di Indonesia hujan air bukan hujan salju padahal turunnya sama-sama dari atas.”

“Karena pas diatas bentuknya es terus turun kena panas jadi mencair.” (Jujur, waktu itu aku tidak tau jawabannya yang benar apa. Ketika aku menulis ini aku mencari tau lagi dan ternyata jawaban dia benar)

“Kamu tau fenomena halo matahari?” Z diam. “Oke, tidak apa-apa kalau tidak tau.” (Kalau kita bertemu lagi, aku akan menceritakan padamu apa itu halo matahari, tentunya setelah mencari tau dari internet) “Kenapa bisa terjadi gerhana?”

“Gerhana apa?”

“Gerhana... bulan.”

“Karena bumi berada di antara matahari dan bulan.”

“Memangnya kenapa kalau bumi berada di antara matahari dan bulan?”

“Nanti buminya menghalangi cahaya matahari yang akan dipantulkan bulan.”

 “Jenis gerhana ada berapa?”

“Ada gerhana cincin, gerhana total, gerhana sebagian, gerhana separuh.”

“Gerhana sebagian sama gerhana separuh itu sama.”

“Tidak, itu beda.”

“Karena kamu maunya begitu?” tebakku sembari tersenyum padanya yang sudah lebih dulu tertawa.

“Iya.”

Sungguh sangat menyenangkan mengobrol dengannya. Tampak jelas dia sangat menyukai hal-hal tentang planet-planet dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Aku senang mengetahui bahwa dia menyukai Matematika karena sebagian besar anak yang kuajar sangat menghindari Matematika. Aku senang mengetahui anak sekecil Z sudah tau betul apa yang dia sukai. Kurasa itu poin plus untuknya. Ketika kuberbincang-bincang dan berusaha mencaritau, rupanya selama masanya di SD dia sudah berpindah sekolah sebanyak empat kali. Dia pindah dari Depok ke Bandung pada awal masa kelas enam. Aku mengalami hal serupa. Aku pribadi menganggap menjadi murid baru sekali saja sudah sangat berat rasanya, dan dia harus mengalaminya sebanyak empat kali.

Satu hal lain pada dirinya yang menarik perhatianku yaitu ketika salah seorang temannya menghampiri kami dan mengatakan “Dia ini paling pintar di kelas, Kak.” Sebelumnya, karena penasaran, aku menanyakan pada Z tentang siapa yang paling pintar di kelas, dan dia menjawab tidak tau. Kutanya dia peringkat berapa di kelas, dia juga menjawab tidak tau. Kurasa dia tidak suka membicarakan hal seperti itu.

“Tidak, F lebih pintar,” jawab Z dengan ekspresi wajah datar.

“Iya, F lebih pintar kalau Matematika. Kalau IPA, kamu paling pintar.” Dan Z tidak membalas lagi. Beberapa orang yang menyaksikan mungkin berpikir bahwa Z sangat rendah hati dan tidak sombong. Aku akan senang bila memang seperti itu kenyataannya. Akan tetapi, bila dia justru merasa tidak percaya diri dengan kelebihan yang dimiliki, kurasa itu bukan hal baik.

Teruntuk Z, kuharap kita bertemu lagi suatu saat nanti. Ketika kita bertemu, kuharap kamu menceritakan banyak hal tentang apa yang kamu tau tentang luar angkasa. Bila aku mendapat satu kesempatan untuk menjelajahi masa depan dengan mesin waktu, aku akan menggunakan kesempatan itu untuk mengintip masa depanmu.

Teruntuk Z yang menyukai rasi bintang Libra, selamat berjuang. Aku tak sabar melihatmu beranjak dewasa.
Share:

Rabu, 28 Februari 2018

Ungkapan dan Makna

Cinta itu abstrak. Cinta itu tak tampak, tapi ia bisa menjelma, menjadi apa saja
Kenangan, angan-angan, selamanya tersimpan, tak lekang oleh zaman.

Aku punya teman kuliah, inisialnya A. Aku pertama kali bertemu dengannya ketika selepas solat Dzuhur di Masjid Salman. Satu hal pada dirinya yang menarik perhatianku adalah jam tangan yang dikenakan di pergelangan tangan kirinya. Berbandul bulat mungil berwarna keemasan dengan stripe kulit berwarna cokelat nan elegan. Jam tangan itu sangat pas dengan kepribadiannya yang anggun dan santun. Sempat aku meminjam jam itu kemudian mencobanya di pergelangan tangan kiriku, bagus sekali. Aku pun menyukainya.
Belum lama ini, aku dan A mengikuti suatu kegiatan di Kampus Ganesha hingga larut sore. Jam itu dipakai olehnya, seperti biasanya. Ketika langit semakin gelap dan waktu hampir menunjukkan pukul enam, kami memutuskan menunggu adzan Maghrib di Masjid Salman. Ketika adzan berkumandang, kami bergegas wudhu dan menempati saf yang masih kosong. Ketika A meletakkan tasnya di samping tasku, dia baru ingat bahwa jam tangannya tertinggal di tempat wudhu. Buru-buru dia kembali ke tempat wudhu untuk mengambilnya. Padahal belum sampai lima menit dia pergi dari tempat itu, jam tangannya sudah tidak ada di tempat dia meletakannya. Aku menyarankannya untuk mencari lagi, dan ternyata memang tidak ada. Anehnya, di samping tempat A meletakkan kacamatanya, ada kacamata yang tertinggal dan belum juga diambil oleh pemiliknya, dan kacamata itu masih di sana. Sementara jam tangan A? Entah sudah dimana.
Seusai solat, kami memutuskan untuk pergi ke kantor barang hilang dekat kantin masjid. Kami memeriksa setiap barang dalam lemari kaca. Begitu banyak jam tangan yang tertinggal tersimpan di sana. Ada juga beberapa jam yang mirip dengan jam tangannya, namun tidak ada jam tangan miliknya di sana. Ternyata, barang yang baru saja hilang belum dimasukkan ke dalam lemari dan masih didata oleh petugas kantor, karena itu barang-barang yang baru saja hilang masih ada di atas meja. Sayangnya, jam tangan yang kami cari tidak ada diantara barang-barang yang kehilangan pemiliknya itu. Jam tangan A benar-benar hilang!
A bingung, dia masih tidak percaya jam tangannya hilang begitu saja. Kenapa harus jam tangannya, begitu pikirnya. Karena penasaran, akhirnya aku bertanya, berapa harga jam tangan itu karena sepertinya begitu berat baginya kehilangan benda mungil itu. “Bukan masalah harganya, Sih,” ucapnya. “Tapi historinya.” Dia bercerita bahwa kakak laki-laki satu-satunya waktu itu mendapatkan kesempatan training di Jepang. Dari situ kakaknya mendapatkan uang bonus yang kemudian digunakan untuk membeli jam tangan yang sangat berharga itu. Aku meng-oh. Beberapa kali A memang pernah menceritakan tentang kakaknya. Sebagian besar tentang bagaimana mereka tidak pernah akur karena kepribadian mereka yang sangat bertolak belakang. Meskipun begitu, aku selalu berpikir bahwa kakaknya pastilah orang yang sangat baik dan begitu sayang kepada adik perempuan satu-satunya, dan ternyata memang benar adanya. Sebuah cerita yang sangat manis dan romantis, menurutku. Pantas saja A benar-benar tidak bisa dengan mudah merelakan jam tangannya. Aku menyarankan padanya untuk kembali lagi ke kantor barang hilang besok, siapa tau ada seseorang yang menemukan jam tangannya dan karena tidak tau harus dikemanakan akhirnya dibawa pergi. Ya, selalu ada banyak kemungkinan. Dan tidak ada salahnya juga terus mencoba.
**
Beberapa hari sejak kejadian itu, aku dan A, juga beberapa teman yang lain makan siang di kantin sembari menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Dia duduk di sampingku dan seperti menyembunyikan sesuatu di dalam tasnya. Beberapa hari sebelumnya dia menceritakan padaku bahwa dia tetap tidak menemukan jam tangannya dan dia mengatakan pergelangan tangannya terasa sangat aneh karena biasanya jam tangan mungil itu ada di sana, dan sekarang tidak.
Ketika teman-teman yang lain sibuk dengan makan siang mereka, aku yang hanya memesan beberapa potong buah menyadari gerak geriknya. Sebuah kotak yang cukup besar, dibungkus rapi dan sepertinya baru saja diantarkan pak pos pagi ini. A sadar aku memperhatikannya, tapi dia tetap membuka kotak itu diam-diam. Sebuah kotak jam, berisi jam digital berbandul kotak dengan stripe biru muda. Satu per satu temanku yang lain mulai sadar dengan keanehan itu.
Awalnya kupikir jam tangan itu dari kakaknya, kupikir dia menceritakan kehilangan itu dan kakaknya membelikannya jam baru. “Tidak lah, bahaya kalau dia sampai tau jam tangan itu hilang,” ujarnya. Setelah didesak oleh kami untuk menceritakan darimana jam tangan itu akhirnya A mau cerita.
Sejak kehilangan itu, A ngechat temannya di Surabaya bahwa dia menginginkan sesuatu kemudian mengirimkan foto jam tangan yang kini menghiasi pergelangan tangan kirinya. A pun tidak percaya bahwa temannya itu akan benar-benar membelikannya jam tangan yang diinginkannya dan mengirimnya jauh-jauh ke Bandung.
Jam tangan, benda mungil yang menyimpan sesuatu yang besar. Cinta, sejarah, kenangan, dan harapan. Ada orang yang mengungkapkan cintanya dengan sekotak jam tangan, ada yang memberi sekotak jam tangan sebagai hadiah perpisahan dengan harapan akan bertemu lagi, ada yang bertahun-tahun menyimpan jam tangan yang sudah rusak demi menjaga histori yang tersimpan di dalamnya, dan ada pula yang memberi sekotak jam tangan kepada orang terkasih dengan harapan akan selalu dikenang. Tidak perlu dicintai, dikenang saja sudah cukup.

Kepada siapapun yang pernah mendapat hadiah sekotak jam tangan,
Terimalah sekalipun kamu tak suka, barangkali seseorang membeli jam tangan itu dengan mengorbankan segala yang ia punya

Kepada siapapun yang pernah menemukan jam tangan yang hilang,
Carilah pemiliknya sekalipun itu sama sekali bukan urusanmu, barangkali jam tangan itu satu-satunya harta berharga pemiliknya

Kepada siapapun yang membaca cerita ini,
Pandangilah jam tanganmu yang sudah usang, barangkali sesekali ia meronta minta dibersihkan disela-sela kesunyian malam


Share: