Rabu, 07 Juni 2017

Lelucon Tanggal Merah dan Fakta dalam Sejarah

Agama-agama yang diakui di Indonesia: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu
Pernyataan diatas, apabila saya tidak salah ingat, pertama kali saya tau saat saya masih berseragam merah-putih, spesifiknya lewat buku RPUL yang pada masa saya sedang hits-hitsnya hingga hampir semua murid sekolah dasar punya. Ketika itu saya kelas 3 SD, dan kami wajib hapal hal-hal penting terkait agama-agama tersebut seperti kitab suci, tempat ibadah, dan tidak lupa hari besar keagamaan yang juga dinyatakan sebagai hari libur nasional. Saya masih ingat betul waktu itu Bu Desi, wali kelas saya berkata, “Kita harus bersyukur lho di Indonesia ini agama yang diakui banyak.” Kemudian salah seorang murid membalas,”Kok begitu, Bu?” 
“Ketika umat muslim dapat libur lebaran, umat beragama lain juga libur. Ketika umat Katolik dan Protestan libur Natal dan Paskah, umat bergama lain juga libur. Coba kalau agama yang diakui hanya satu, hari libur nasionalnya jadi sedikit, kan.”
Karena saat itu saya dan teman-teman masih kecil dan sangat menyukai hari libur, kami serempak mengiyakan, meng-oh-kan, sembari mengangguk-angguk. Sejak saat itu saya memandang kelebihan keberagaman hanya sebatas menambah hari libur.
Beranjak dewasa, saya mengenal pelajaran Sejarah. Sejak SMP materi Sejarah yang diberikan sangat banyak, dan saya berpikir bahwa sejarah itu untuk dihafal, dihafal agar nilai ujian bagus dan dapat peringkat satu di kelas. Pemikiran itu terus berlanjut hingga saya SMA. Saya anak IPA ketika SMA, dan saya heran setengah mati ketika tau saya masih harus belajar Sejarah selama tiga tahun dan materi yang diberikan bisa dibilang ‘itu-itu’ lagi. Tentang manusia purba, sejarah kerajaan Hindu-Buddha-Islam di Indonesia, penjajahan, dan kemerdekaan, mungkin dengan materi yang lebih dalam, namun intinya sama saja. Teori bahwa ‘sejarah itu untuk dihafal, dihafal agar nilai ujian bagus dan dapat peringkat satu’ masih saya gunakan, sampai saya lulus dan bisa menjadi bagian dari institut terbaik bangsa.
Sekarang, mari tengok realita di sekitar kita. Sadarkah kalian tentang keadaan Indonesia sekarang? Sadarkah kalian bahwa Indonesia kini mulai terancam keberadaannya? Rasisme dimana-mana, rasa dan sikap toleran antar umat beragama menurun. Seperti itukah Indonesia yang diharapkan oleh kita? Seperti itukah Indonesia yang diharapkan para pahlawan bangsa yang telah memperjuangkan kemerdekaan? 
Saya tau, kalian tau, kita semua tau bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan lebih dari 17000 pulau besar dan kecil, menjadikan Indonesia negara yang begitu kaya dengan keberagaman suku, ras, bahasa, budaya, dan agama. Tidak akan ada yang tidak setuju dengan itu. Bayangkan saja, ada lebih dari 500 bahasa dan 1300 suku bangsa di Indonesia. Dan sadarkah kalian, bahwa Indonesia yang sekarang telah merdeka-katakanlah demikian-merupakan buah dari keberagaman?
Bhinneka Tunggal Ika, sebuah mantra pemersatu bangsa, semboyan kebanggaan yang ditemukan pada Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular  pada abad XV pada era Kerajaan Majapahit. Mpu Tantular sejatinya merupakan seorang penganut Buddha Tantrayana yang merasa tentram dan aman hidup dalam Kerajaan Majapahit yang bernapaskan Hindu pada masa itu. Pada Kerjaan Sriwijaya pun terjadi hal yang sama. Hal ini menjadi gambaran bahwa bahkan sebelum Indonesia merdeka, sebelum istilah ‘Indonesia’ dicetuskan, sebelum mereka mengenal persatuan pun hidup damai antar umat beragama pun sudah menjadi hal biasa.
Mari kita telusuri lagi sejarah bangsa Indonesia. Pada awal abad XVI, penjajah mulai datang. Portugis adalah yang pertama, disusul Spanyol, Belanda, kemudian Jepang. Ingatkah kalian bahwa sebelum abad XX semua perang melawan penjajah yang terjadi bersifat kedaerahan? Ingatkah kalian bahwa sebelum abad XX setiap kerajaan melawan penjajah hanya untuk melindungi dan memperjuangkan daerah kekuasaan mereka saja? Dan ingatkah kalian seperti apa akhirnya? K-A-L-A-H. Sebut saja serangan Kerajaan Demak ke Malaka yang dipimpin Adipati Unus, serangan Kerajaan Aceh ke Malaka yang dipimpin Ali Mughayat Syah dan Alaudin Ri'ayat Syah bahkan pada masa pemerintahan Iskandar Muda tahun 1629, dan perlawanan rakyat Maluku yang berakhir karena perpecahan akibat politik adu domba Belanda. 
Kekalahan yang terjadi memang tidak didasari oleh satu faktor saja, namun kita bisa tarik benang merah dari semua peristiwa kekalahan itu yaitu belum adanya persatuan dan kesatuan sehingga apabila pemimpin mereka wafat dan mengalami kekalahan, perjuangan mereka terhenti sampai di situ. 
Berbeda dengan perjuangan setelah abad XX, ketika semua perlawanan dilakukan bukan lagi atas nama daerah atau suku tertentu melainkan atas nama Indonesia, ketika semua perlawanan digencarkan atas dasar persatuan dan kesatuan, kemenangan bisa diraih hingga tercapailah kemerdekaan. Merdeka bukan jaminan kekalnya persatuan, terbukti pada masa perumusan sila pertama Pancasila, yang semula berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka mencegah separatisme masyarakat beragama Protestan dan Katolik di wilayah Indonesia bagian Timur yang merasa adanya diskriminasi terhadap kaum minoritas.
Apabila kita mundur dan menelusuri kembali asal usul persatuan di Indonesia, persatuan dan kesatuan muncul pada era kebangkitan nasional, ditandai dengan organisasi-organisasi pergerakan nasional yang dipelopori pemuda berintelek. Fakta ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita, pemuda pemudi Indonesia, orang-orang yang berintelek, katanya. Keadaan Indonesia saat ini, yang bisa saya katakan berada diambang kehancuran, apa mau kita biarkan begitu saja? Sama seperti waktu dulu, kita sebagai mahasiswa sekaligus pemuda bangsa Indonesia harus mampu mematik kembali semangat persatuan dan kesatuan. Kita harus sadar bahwa persatuan merupakan salah satu warisan dari para pahlawan bangsa, dan kita berkewajiban untuk mempertahankannya, karena untuk bisa menciptakan persatuan itu butuh perjuangan dan usaha yang begitu luar biasa dan untuk mempertahankan itu membutuhkan usaha yang jauh lebih besar.
Itulah pentingnya mengetahui sejarah. Seperti kutipan pidato terakhir Soekarno, “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.”
Dibalik peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi kita dapat mengambil sebuah pembelajaran berharga, diantaranya mengenai persatuan bangsa dan toleransi umat beragama, bahwa betapa pahlawan-pahlawan Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan, karena sejatinya itulah yang membangun Indonesia sejak dulu hingga saat ini. Dan satu hal yang pasti, kemerdekaan Indonesia bisa diraih bukan hanya karena jasa suatu suku, bangsa, atau umat suatu agama tertentu, melainkan karena jasa seluruh bangsa Indonesia.

Sekarang saya tau.
Kamu pun tau.
Maka kita harus bergerak.
Berawal dari diri sendiri, untuk Indonesia yang abadi.
Seperti pelangi yang tersusun atas warna yang berbeda-beda
Hilang satu warna saja, bukan pelangi namanya
Sama seperti bangsa Indonesia
Hilang satu saja suku, bangsa, bahasa, ras, budaya maupun agamanya
Bukan Indonesia lagi namanya.
Nah, saya akan bertanya,
Apakah sekarang kita tinggal di Indonesia?


#MozaikPergerakan
#DariKitaUntukIndonesia
#IndonesiaTetapBersatu
Share: