Senin, 20 Juni 2022

Pencuri Itu Bernama Rindu

“Jangan rindu. Berat. Kamu gak akan kuat. Biar aku saja.”  — Dilan, 1990

Rindu memang berat. Sangat berat, sampai-sampai tidak satu pun hal—tidak terkecuali kata-kata romantis Dilan—bisa menyelamatkanmu dari perangkap mematikan itu. Awalnya, kau rasakan tunas bunga tumbuh dalam hatimu, lalu kupu-kupu berdatangan menyemarakkan suasana dan kau pun semakin terlena hingga berakhir kehilangan jati diri—sesuatu yang selama bertahun-tahun kau yakini sebagai sebenar-benarnya dirimu, warnamu, gambaran bagaimana orang-orang menilaimu, identitas yang melekat pada ruhmu, dan tidak akan bisa diubah oleh apa pun dan siapa pun sampai kapan pun.

Pikirkanlah. Kau—seseorang yang terlalu nyaman dalam ketenangan yang bagi sebagian orang begitu membosankan dan kesendirian yang bagi sebagian orang terasa menyedihkan—tiba-tiba saja memutuskan untuk meninggalkan sarang yang hangat, bepergian sejauh puluhan kilometer menuju suatu tempat yang asing, sendirian, dengan berbekal barang bawaan yang beratnya sepertiga bobot badanmu. Jika kau tidak kehilangan jati dirimu malam itu, sudah pasti kau akan menghabiskan waktu dengan menonton ulang film-film lama yang sudah kau tonton ratusan kali (sampai kau bisa ikut berdialog) sambil memikirkan bagaimana kau akan menghabiskan akhir pekan yang berharga dengan sederet aktivitas paling membosankan di dunia.

Saat sebagian langit di horizon barat sudah gelap, kau tiba di halte bus depan daerah pertokoan. Pikiranmu fokus pada satu hal: kombinasi kode bus yang kau percaya akan membawamu menuju tempat di mana teman kuliahmu menetap selama dua bulan untuk meniti karir. Kau percaya semuanya akan berjalan seperti apa yang dikatakan aplikasi penunjuk rute perjalanan dan kau akan tiba di depan pintu kos temanmu paling lambat dua jam sebelum tengah malam. Menit demi menit berlalu masih dengan keyakinan penuh, sampai pada akhirnya benteng keyakinan itu runtuh dan digantikan rentetan pohon berduri yang mengembuskan napas keraguan. Seruan adzan terdengar dari kejauhan menjadi pertanda bahwa kau sudah menunggu selama hampir empat puluh lima menit—setengah jam lebih lama dari perkiraan—dan bis yang kau tunggu tidak sekali pun terlihat di antara barisan truk pengangkut barang yang berkonvoi di jalanan. Temanmu khawatir dengan situasimu dan fakta bahwa kau sendirian, sementara kau khawatir gagal mengunjunginya malam itu. Dalam hati kau berucap berkali-kali bahwa apa pun yang terjadi, kau tetap harus pergi. Bagaimanapun caranya, malam itu, kau harus menemui temanmu.

Kau yang tidak biasa dengan kejutan dan ketidakpastian pada akhirnya dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa rencana perjalananmu telah kandas. Beruntung temanmu tidak menyerah dan segera menyusun rencana B yang langsung kau eksekusi tanpa pikir panjang. Kau pergi meninggalkan halte menuju stasiun yang jaraknya sembilan kilometer. Sepanjang jalan, kau terus memikirkan seandainya kau tiba di stasiun saat kereta terakhir sudah berangkat. Jika kau tidak kehilangan jati dirimu, pada waktu kau sadar bahwa kau telah menunggu selama empat puluh lima menit untuk sesuatu yang sia-sia, kau tidak akan ragu untuk bertolak kembali ke sarang dan temanmu tidak akan keberatan. Akan tetapi, malam itu, kau benar-benar sudah kehilangan jati dirimu sampai-sampai bertekad menghabiskan malam di stasiun seandainya ketinggalan kereta dan akan melanjutkan perjalanan esok pagi. Apa pun yang terjadi, kau pantang kembali ke sarang.

Untuk pertama kali, kau pergi ke stasiun yang berada tidak jauh dari daerah pusat perbelanjaan kota yang semakin hidup bersama gelapnya malam. Untuk pertama kali, kau melewati pintu masuk peron kereta yang otomatis terbuka oleh sebuah kartu serbaguna. Untuk pertama kali, kau naik kereta yang lintasannya berada di bawah tanah. Untuk pertama kali, kau merasakan banyak hal yang sebelumnya hanya pernah kau saksikan di internet.

Kau berpindah dari satu peron ke peron lain sebab setiap petugas yang kau tanyai memberikan jawaban berbeda sampai akhirnya kau berkesempatan merasakan sensasi mendebarkan tiba di depan pintu kereta tepat saat akan bertolak meninggalkan stasiun. Drama ketinggalan kereta yang anehnya tidak membuatmu kesal sama sekali, mengantarkanmu pada perpotongan takdir dengan seorang wanita tua berusia enam puluh tahun yang bernasib sama denganmu. Kau penasaran setengah mati tentang bagaimana wanita tua itu melihat dan menilaimu, sebab dia tidak sedikit pun ragu untuk berbagi cerita tentang kejadian buruk yang baru saja menimpanya, bahwa dia ketinggalan kereta terakhir yang biasa dia naiki untuk pulang ke rumah sementara daya ponselnya tinggal sedikit sehingga dia khawatir tidak bisa menghubungi sang anak untuk datang menjemputnya di stasiun. Kau berharap bisa membantu, tetapi kau pun sedang dalam krisis daya ponsel yang tinggal sisa setengah padahal perjalanan baru saja dimulai.

Sementara wanita tua itu sempat tertidur dengan begitu pulasnya, kau berusaha sekuat tenaga agar tetap terjaga. Kau tidak mau mengambil risiko kebablasan hingga stasiun antah berantah dan kau tidak punya pilihan lain selain menghubungi temanmu dengan daya ponsel yang kian menipis dan bisa saja menyentuh angka nol pada saat yang tidak tepat.

Stasiun Manggarai, itulah tujuanmu, seperti yang diinstruksikan oleh temanmu. Akan tetapi, lagi-lagi rencana perjalananmu terpaksa diubah, kali ini oleh pengumuman yang mengatakan bahwa kereta yang kau naiki akan melanjutkan perjalanan melewati Stasiun Sudirman. Sungguh sebuah kejutan menyenangkan yang berhasil mengubah sedikit penilaianmu, bahwa tidak semua kejutan itu buruk.

Atas saran seorang pria berkacamata yang duduk di kursi deretan seberang, wanita tua itu mengubah rencana—dia tidak jadi transit di Stasiun Manggarai dan memilih ikut turun di Stasiun Sudirman. Ditemani langit ibukota yang cerah dan kelap-kelip lampu dari gedung-gedung pencakar langit, kau dan wanita tua itu berjalan kaki sejauh setengah kilometer menuju halte bus. Sebuah kebetulan yang menyenangkan karena kalian naik armada yang sama. Wanita tua itu bahkan dengan cekatan men­-tag kursi di depannya untukmu. Terlambat sedikit saja, kau harus menerima konsekuensi berdiri dengan kedua kaki yang mulai loyo sepanjang belasan stop.

Canggung tidak pernah mengisi ruang antara kau dan wanita tua itu, sebab dia selalu punya topik untuk dibicarakan. Mulai dari cerita perjalanan karir anak-anaknya sampai fakta bahwa dia baru saja pergi mengunjungi ibunya yang sedang sakit. Cerita-cerita itu diselingi dengan ungkapan syukur tak berujung karena dipertemukan denganmu sehingga dia tidak perlu melalui perjalanan yang melelahkan dan membingungkan sendirian, dan kau pun bersyukur untuk alasan yang sama. Halte Mampang menjadi saksi perpisahanmu dengan wanita tua itu—dia turun lebih dulu sementara kau melanjutkan perjalanan sepanjang 8 stop lagi.

Setengah jam menjelang tengah malam, kau baru tiba di depan pagar kos temanmu dengan perasaan campur aduk: terharu, lega, dan bahagia. Lupakan soal rasa mengantuk dan lelah yang menggantung di kelopak kedua mata—kau bahkan tidak menyadari hari telah berganti sementara kau dan temanmu tenggelam dalam agenda temu kangen, saling bertukar cerita tentang apa yang kalian lakukan selama beberapa bulan terakhir, kegelisahan di masa-masa yang orang-orang sebut quarter life crisis, dan rencana petualangan esok hari. Satu aturan soal bertemu teman lama setelah terpisah selama bertahun-tahun berlaku malam itu: dini hari adalah waktu paling tepat untuk beranjak ke alam mimpi.

Petualangan mengunjungi museum baru dimulai saat matahari sudah cukup tinggi di ufuk timur. Untuk pertama kali kau naik transjakarta dari pemberhentian di pinggir jalan sehingga kau harus masuk dari pintu depan, menempelkan kartu pada mesin di dekat kemudi supir dan melewati pintu darurat menuju ke area penumpang. Selanjutnya, kau dan temanmu melanjutkan perjalanan menuju stasiun MRT. Pada waktu itu, kau yang tidak biasa mendokumentasikan jejak perjalanan, menjadi terlampau sibuk mengabadikan setiap momen: saat melewati pintu masuk stasiun, naik eskalator, sampai saat kereta tujuan Bundaran HI melintas tepat di depan matamu. Pengalaman pertama kali yang biasanya membuatmu khawatir dan takut, seketika terasa begitu menyenangkan dan membuatmu ketagihan.

Perjalanan menuju museum pertama membutuhkan waktu lebih lama dan jauh lebih melelahkan dari yang kau dan temenmu kira. Berpindah dari satu halte ke halte lain, dari satu bus ke bus lain, melawan arus lautan manusia yang tidak pernah kau inginkan menjadi bagian dari duniamu dan kau melalui semua itu dengan senyum bahagia yang tidak sedikit pun memudar.

Kembali mengunjungi museum setelah terakhir kali melakukannya saat masih mengenakan seragam putih-abu, kau merasa seperti baru saja mengendarai mesin waktu dan kembali ke masa di mana segala sesuatunya terasa asing dan memikat. Pikiranmu dipenuhi imajinasi-imajinasi liar sepanjang matamu menangkap pemadangan benda-benda ajaib dari balik kaca raksasa. Satu hal yang paling menarik perhatianmu adalah peta Indonesia raksasa dikelilingi gambaran wanita dan pria perwakilan suku bangsa dari Sabang hingga Merauke. Gambaran itu membuatmu membayangkan seandainya waktu bergerak mundur dan manusia hidup menyambung hari demi hari dengan bergantung pada segala bentuk kesederhanaan yang disajikan oleh alam. Sebaliknya, temanmu justru membayangkan seandainya waktu bergerak maju, ratusan tahun yang akan datang, ketika  segala yang dimiliki dan dibanggakan manusia saat ini akan menggantikan apa yang kalian lihat dalam kotak kaca, menggantikan lukisan yang terbingkai oleh pigura antik dan menempel di dinding lorong.

Di luar dugaan, satu hari tidak cukup untuk mengelilingi beberapa museum dalam daftar rencana kalian. Lebih pagi dari hari sebelumnya, kau dan temanmu dibawa pergi kereta yang melaju cepat menuju Stasiun Jakarta Kota. Perjalanan yang cukup jauh, usaha melawan kantuk yang masih sesekali usil menggantung di kelopak mata, ditambah keramaian sepanjang jalan dari stasiun menuju kawasan museum, dibayar tunai begitu melihat pemandangan Kota Tua berikut bangunan megah putih nan ikonik yang biasanya kau lihat di acara jalan-jalan pagi di televisi. Anak-anak, para remaja, pasangan suami-istri, semuanya bersuka cita mengelilingi lapangan sambil mengendarai sepeda warna-warni. Pemandangan menyenangkan itu seperti magnet yang menarik langkahmu, matamu—semuanya—untuk berpaling dari deretan bangunan museum bernuansa tempo dulu dan berpindah haluan ke arah lapangan taman yang diguyur teriknya matahari ibukota.

Kau duduk di bangku belakang dengan kedua tangan terbentang menampar hembusan angin panas, sementara temanmu mengayuh sekuat tenaga, membawa sepeda putih mengkilap itu menjelajahi taman yang semakin ramai seiring matahari bergerak semakin tinggi. Seketika kau teringat pada momen diboncengi oleh ayah berkeliling desa naik sepeda tua kakek pada waktu liburan sekolah bertahun-tahun yang lalu. Untuk sesaat kau melupakan segala sesuatu soal kehidupan yang kau jalani saat itu dan menjelma seorang bocah tanpa satu pun permasalahan hidup, kecuali paksaan tidur siang yang kau benci setengah mati.

Dua hari yang menyenangkan berlalu begitu cepat. Kau berpisah dengan temanmu di atas gerbong kereta yang melaju kencang ke arah Bogor. Awan kelabu kian dekat dan hujan rintik-rintik turun saat kau singgah sesaat di Stasiun Jatinegara, menunggu kereta—yang akan membawamu pulang—datang melewati rel dekat peron nomor dua. Bersamamu, sepasang suami-istri berusia senja saling menjaga seperti sepasang sepatu—tidak pernah terpisah lebih jauh dari jarak setengah lengan. Nyaris satu jam kalian menunggu dan kereta yang dinanti-nantikan tidak kunjung datang, sampai seorang petugas mengabarkan bahwa selama ini kalian menunggu di peron yang salah. Bersama rombongan yang lain, kau dan pasangan senja itu berebut antrian naik lift menuju lantai dua untuk berpindah peron, sebab terlambat satu detik saja, kalian harus menunggu setidaknya satu jam lagi sampai kereta selanjutnya datang.

Begitu banyak hal terjadi di luar dugaan selama dua hari terakhir: bis yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, perubahan rute KRL sampai rute transjakarta, dipermainkan informasi menyesatkan dari aplikasi penunjuk jalan, membuat berita soal peron kereta tidak berarti apa-apa bagimu. Tanpa disadari, kau mulai terbiasa dengan keadaan yang jarang bisa sejalan dengan yang direncanakan dan diharapkan.

Dan pada waktu menginjakkan kaki di eskalator stasiun, kau sudah merindukan petualangan bersama temanmu yang baru saja resmi berakhir.

Dan oh, tidak.... Aku ragu telah salah lihat—sungguh, betapa konyol dirimu. Baru seminggu berlalu sejak kau berlagak seperti singa betina dan kini kau kembali menjadi anak kucing rumahan.

Pikiranmu sibuk mempertanyakan bagaimana bisa pada waktu itu kau bersikap tidak seperti dirimu yang biasanya, sementara batinmu sibuk bergelut dengan ketakutan akan perubahan yang selama ini menjadi salah satu musuh terbesarmu. Kau takut bahwa kau akan berubah, kau takut pada suatu ketika tidak bisa lagi mengenali sosok yang balas menatapmu tiap kali bercermin. Rindu—kau menyalahkannya atas segala hal yang kau anggap perbuatan dosa. Ingin rasanya aku menamparmu dengan segelas air dingin agar kau sadar bahwa rindu bukanlah penjahat dan kau bukanlah korban. Kau mungkin memvonis rindu sebagai pencuri yang sudah merenggut salah satu harta berharga yang selama ini kau jaga dengan taruhan nyawa, tetapi tanpa kau sadari, rindu memberimu dua—oh tidak, tiga hal berharga—yang tidak pernah kau bayangkan bisa kau miliki: keberanian, kenekatan, dan pengalaman. Dan biar kuberitahu kau satu hal: tidak pernah kutahu pencuri yang memberi lebih dari yang dia ambil.

Ayolah. Tidak perlu merasa membohongi diri sendiri.

Tidak ada yang salah dengan melakukan sesuatu di luar yang biasa kau lakukan. Tidak ada yang salah dengan bersikap spontan dan sedikit nekat, asalkan kau masih menyatu dengan akal sehat. Bepergian dua hari keluar kota seorang diri tidak akan semerta-merta mengubah siapa dirimu. Kau adalah kau. Kau tidak akan menjadi aku atau dia atau salah satu di antara mereka hanya karena menghabiskan dua malam di bawah atap ibukota, atau karena pengalaman naik MRT atau transjakarta.

Kalaupun suatu ketika kau berubah, apa yang salah dengan itu? Percayalah, sebesar apa pun perubahan yang terjadi padamu, pada waktu kau melihat ke dalam pantulan kedua matamu sendiri, kau tetap akan menemukan dirimu. Lagipula, tidakkah kau penasaran kupu-kupu seperti apakah dirimu di masa depan begitu berhasil keluar dari cangkang itu? Tidakkah kau penasaran seperti apa bentuk dan pesona kelopak yang menyelimutimu pada waktu kau mekar? Tidakkah kau ingin tahu?

Kau ingin tahu, kan? Iya, kan? Karena aku pun begitu.

 

 

 

Share: