Rabu, 01 Oktober 2014

Hujan


Hujan

Kulangkahkan kakiku ke luar kafe, meninggalkan bunyi lonceng yang digantung di atas pintu masuk. Baru saja aku berjalan beberapa langkah, air mata sang langit malam jatuh, semakin lama semakin deras. Buru-buru aku berbalik, namun tidak masuk ke dalam kafe. Begitu konyol bukan jika aku duduk di salah satu bangku pelanggan hanya untuk berteduh dari hujan? Apa yang harus kukatakan jika salah satu temanku yang bekerja sebagai pelayan menawariku sesuatu sementara tidak ada barang satu sen pun di dalam saku celanaku?
Setengah jam berlalu dan hujan masih terus membagi air matanya. Kulirik arlojiku, sudah terlalu malam. Kulepas jaket tebalku lalu kuangkat ke atas, menjadikannya pengganti payung. Perlahan aku melangkah, menerebos hujan yang kian deras.
Tiba-tiba, sosok Yumi terlintas di pikiranku. Yumi, gadis yang kusukai sejak dua tahun lalu, saat kami memulai tahun pertama kami di SMA yang sama. Selama dua tahun kami selalu sekelas. Kurasa, itu adalah suatu kebetulan yang luar biasa, atau takdir, atau Tuhan hanya kasihan padaku yang belum cukup berani mengungkapkan perasaanku pada Yumi.
 “Moto?” Kutolehkan kepalaku perlahan… Ya Tuhan, sedang apa bidadari di halte bis saat hujan seperti sekarang ini? “Baru pulang kerja dari kafe?” Aku menepi, lalu berdiri di sampingnya.
“Iya,” jawabku singkat dengan kepala tertunduk. Kulihat tetes-tetes air hujan turun dari ujung rambutku. Ya, jaket tidak cukup untuk berlindung dari hujan. “Kenapa… Yumi-chan ada disini?”
“Sedang menunggu hujan reda,” jawabnya sembari tersenyum. Sungguh, aku merasa hangat saat melihat senyumnya.
“Ayo jalan,” Yumi mengangguk dengan tatapan bingung ke arahku yang sudah siap melindunginya dari hujan dengan jaketku, lalu melangkah menerobos hujan yang semakin mengamuk.
Baru beberapa langkah, bahu kiri Yumi mulai basah, tubuhnya mulai gemetar. Kugeser tubuhku ke kanan, membiarkan tubuhku merasakan dinginnya hujan malam ini. “Aku akan melindungimu, Yumi-chan.”
“Eh?”
“Aku berjanji!” Yumi terkekeh, lalu menarik lengan kiriku dengan cepat, membiarkan jaketku jatuh, membiarkan dirinya disiram hujan. Betapa terkejutnya aku saat ia mendaratkan kepalanya di bahu kiriku dan sebelah tangannya menggenggam erat tanganku, lalu ia tersenyum.
“Aku percaya,”


Terinspirasi dari lagu : Diana Ross-When You Tell Me That You Love Me
Share: