Hujan
Kulangkahkan kakiku ke luar kafe,
meninggalkan bunyi lonceng yang digantung di atas pintu masuk. Baru saja aku
berjalan beberapa langkah, air mata sang langit malam jatuh, semakin lama
semakin deras. Buru-buru aku berbalik, namun tidak masuk ke dalam kafe. Begitu
konyol bukan jika aku duduk di salah satu bangku pelanggan hanya untuk berteduh
dari hujan? Apa yang harus kukatakan jika salah satu temanku yang bekerja
sebagai pelayan menawariku sesuatu sementara tidak ada barang satu sen pun di
dalam saku celanaku?
Setengah jam berlalu dan hujan masih
terus membagi air matanya. Kulirik arlojiku, sudah terlalu malam. Kulepas jaket
tebalku lalu kuangkat ke atas, menjadikannya pengganti payung. Perlahan aku
melangkah, menerebos hujan yang kian deras.
Tiba-tiba, sosok Yumi terlintas di
pikiranku. Yumi, gadis yang kusukai sejak dua tahun lalu, saat kami memulai
tahun pertama kami di SMA yang sama. Selama dua tahun kami selalu sekelas.
Kurasa, itu adalah suatu kebetulan yang luar biasa, atau takdir, atau Tuhan
hanya kasihan padaku yang belum cukup berani mengungkapkan perasaanku pada
Yumi.
“Moto?” Kutolehkan kepalaku
perlahan… Ya Tuhan, sedang apa bidadari di halte bis saat hujan seperti
sekarang ini? “Baru pulang kerja dari kafe?” Aku menepi, lalu berdiri di
sampingnya.
“Iya,” jawabku singkat dengan kepala
tertunduk. Kulihat tetes-tetes air hujan turun dari ujung rambutku. Ya, jaket
tidak cukup untuk berlindung dari hujan. “Kenapa… Yumi-chan ada disini?”
“Sedang menunggu hujan reda,” jawabnya
sembari tersenyum. Sungguh, aku merasa hangat saat melihat senyumnya.
“Ayo jalan,” Yumi mengangguk dengan
tatapan bingung ke arahku yang sudah siap melindunginya dari hujan dengan
jaketku, lalu melangkah menerobos hujan yang semakin mengamuk.
Baru beberapa langkah, bahu kiri Yumi
mulai basah, tubuhnya mulai gemetar. Kugeser tubuhku ke kanan, membiarkan
tubuhku merasakan dinginnya hujan malam ini. “Aku akan melindungimu,
Yumi-chan.”
“Eh?”
“Aku berjanji!” Yumi terkekeh, lalu
menarik lengan kiriku dengan cepat, membiarkan jaketku jatuh, membiarkan
dirinya disiram hujan. Betapa terkejutnya aku saat ia mendaratkan kepalanya di
bahu kiriku dan sebelah tangannya menggenggam erat tanganku, lalu ia tersenyum.
“Aku percaya,”
Terinspirasi dari lagu : Diana Ross-When You Tell Me That You Love Me