Minggu, 22 April 2018

Bocah Berkacamata di Pojok Ruang Kelas

Bandung, 20 April 2018

Kelas terakhirku berakhir pukul setengah sebelas. Setelah menyelesaikan tugas kelompok, sekitar jam dua belas aku menghubungi temanku, I. Kami berencana mengunjungi salah satu SD dekat kampus kami, SDN Pelesiran. Setahun yang lalu, kami mengadakan program pengabdian masyarakat dengan mengajar anak-anak kelas 6 yang akan menghadapi ujian nasional. Tahun ini, program kami dilanjutkan oleh angkatan 2017. Meksipun sudah bukan kewajiban kami lagi untuk mengajar, tapi aku dan I ingin berkunjung ke sana untuk melihat seperti apa adik-adik yang diajar oleh teman-teman angkatan 2017. Karena suatu hal, aku dan I sempat ragu untuk berkunjung. Akan tetapi, minggu depan ujian akan dimulai dan aku takut sudah tidak ada waktu lagi untuk kami bisa berkunjung. Akhirnya, pukul setengah satu kami menuju ke sana, dan kami bertemu L dan R, teman seangkatan kami yang rupanya juga berniat untuk melihat-lihat.

Karena beberapa teman-teman angkatan 2017 ada yang perlu mengikuti perwalian, akhirnya hanya lima orang yang bisa datang untuk mengajar. Adik-adik sangat antusias untuk belajar meskipun beberapa merengek ingin pulang. Kurasa mereka hanya mencari perhatian, sebab kenyataannya mereka rela menunggu dari jam sebelas hingga jam satu, menunggu kakak-kakak pengajar datang. Saking antusiasnya, kelas menjadi kurang kondusif sehingga aku, I, R, dan L harus ikut turun tangan. Kami yang awalnya hanya berkunjung untuk mengawasi, akhirnya mengajar lagi. Aku pribadi, merasa sangat senang bisa kembali mengajar setelah sekian lama.

Ketika aku masuk kelas, ada satu murid yang menarik perhatianku. Murid laki-laki, dengan kacamata dan duduk di bangku paling belakang dekat pojok kelas. Dia duduk sendiri, tengah sibuk menyantap bekal makan siangnya. Tidak seperti kebanyakan murid laki-laki lain yang suka berlari ke sana kemari sambil menjaili teman lain, dia menghabiskan waktu istirahatnya dengan duduk seorang diri sembari menyantap makan siang dan bermain ponsel. Aku pernah dengar tentang anak itu dari teman-teman 2017. Katanya, bocah itu sangat pintar, seperti Einstein. Namanya Z. Hasil tryout nya lumayan bagus, salah delapan soal dari total tiga puluh enam soal. Kupikir dia yang mendapat nilai tertinggi, rupanya ada tiga murid lain yang berhasil mengerjakan dengan kesalahan hanya pada enam soal.

Awalnya, aku ingin mengajar bocah itu, sekaligus mencoba mengenalnya. Akan tetapi, rupanya dia sudah ditangani oleh L sehingga aku memutuskan mengajari dua siswi yang duduk paling depan. Setelah dua siswi itu diambil alih, aku berpindah mengajari tiga siswa yang duduk bergerombol di depan Z. Aku mengajari beberapa soal matematika dan dasar perhitungan pembagian. Ketika aku sedang mengajari ketiga siswa itu, kudapati Z sedang memainkan ponselnya. Beberapa siswa jadi tertarik untuk tau apa yang sedang dia mainkan sehingga kukatakan padanya “Simpan dulu ya ponselnya, kan masih belajar. Ada soal yang kamu tidak bisa?” Dia menunjuk pada satu soal matematika yang dia jawab dengan salah. “Sebentar ya, aku ajari temanmu dulu.” Selesai mengajari K soal KPK dan faktorisasi, aku mundurkan kursiku dan mulai fokus pada Z. “Coba sini aku baca soalnya.” Menurutku, soal yang dia jawab dengan salah punya level kesulitan yang sangat tinggi untuk diberikan pada anak kelas 6 SD. “Kamu tau cara menghitungnya?”

“Tau.”

“Terus kenapa bingung? Bisa perkalian kan?”

“Bisa.”

“Bisa pembagian?”

“Bisa.”

“Terus bingung kenapa?”

“Pusing, Kaaakkk...”

“Pusing dimananya?”

“Pusingnya di kepala.” Z mengatakannya sambil menunjuk kepalanya. Belum sempat aku memberinya petunjuk cara mengerjakan soal itu, dia mengambil pensil dari genggamanku dan langsung mengerjakannya dengan sangat cepat. Dari langkah-langkahnya mengerjakan soal itu dia benar-benar paham. Aku semakin penasaran, dimana letak kesalahannya. “Tuh, Kak, tidak ada jawabannya.” Jawaban yang dia dapat tidak ada dipilihan manapun. Aku koreksi langkah pengerjaannya dan kutemukan suatu kesalahan yang cukup... sepele.

“Tujuh kali tiga berapa?”

“Dua puluh empat.”

“Yakin...?”

“Yakin.”

“Kalau delapan kali tiga?”

“Dua puluh empat.”

“Kok sama?”

“Iya, sama karena aku pengennya begitu,” ujarnya sambil tertawa.

“Ya tidak bisa lah, pantas saja ndak ada jawabannya.”

“Ada kok.” Dia tulis pada bagian kosong antara pilihan C dan D pilihan baru yang berisi jawaban sesuai perhitungannya. Cerdas sekali. “Tuh ada.”

“Tidak, tidak. Coba kerjakan lagi dengan benar.” Setelah menghitung lagi, akhirnya didapat jawaban benar yang rupanya ada dipiluhan A. “Tuh, ada kan jawabannya.”

“Tidak ada.” Hm, masih ngeles aja kamu, Dik... Dik.

“Hm... kamu jago matematika, ya, tuh salahnya cuma satu.”

“Tidak, itu normal.” Aku tidak habis pikir dengan jawabannya. Biasanya anak kecil akan mengatakan ‘Tidak ah biasa aja’, tapi dia menggunakan diksi yang tidak biasa. Lucu sekali.

“Terus, orang yang jago Matematika itu yang seperti apa?”

“Yang bisa menghitung soal pangkat tiga dalam waktu satu detik.” Lagi-lagi jawaban yang tidak kusangka-sangka. Kupikir dia akan menjawab ‘Orang yang bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar.’ Aku jadi merasa malu karena pernah menganggap diriku jago Matematika pada waktu SD dulu. Bocah ini sudah pasti jelas sangat suka Matematika. Sewaktu kubuka bagian soal Bahasa Indonesia, ada banyak coretan merah di sana. Rupanya, lima dari delapan soal yang dia jawab dengan salah adalah soal Bahasa Indonesia.

“Kamu tidak suka Bahasa Indonesia ya?” Aku bertanya demikian karena biasanya, sebagian besar anak-anak yang pernah kuajar tidak bisa mengerjakan soal suatu mata pelajaran bukan karena mereka bodoh, tapi karena dasar mereka tidak menyukai mata pelajaran itu.

“Tidak bakal pernah suka.” Lagi-lagi jawaban yang mencengangkan.

“Kenapa?”

“Bahasa Indonesia itu tidak seru.”

“Kamu lebih suka angka daripada huruf ya?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Karena tulisan saya jelek.”

“Coba tulis namamu.” Tidak kusangka dia menurut dan akhirnya mau menuliskan namanya pada bagian bawah kertas yang kosong. “Tidak ah, itu normal.”

“Tidak, itu tidak normal.”

“Kalau IPA, suka tidak?”

“Suka hanya materi planet-planet.”

“Oke, kita belajar planet-planet.” Ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi sangat antusias. “Coba, ada berapa planet dalam tata surya kita?”

“Delapan.”

“Sebutkan.”

“Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus.”

“Planet terpanas?”

“Venus.”

“Planet terjauh?”

“Neptunus.”

“Planet terdekat dari matahari?”

“Merkurius.”

“Planet terpanas?”

“Venus.” Ada sedikit penekanan pada saat dia menjawab untuk yang kedua kali. Sepertinya dia sadar aku sudah menanyakan pertanyaan itu sebelumnya.

“Kalau yang terdekat dengan matahari itu Merkurius, kenapa Venus justru yang terpanas?”

“Karena di langit venus itu ada banyak gas CO2 yang menyebabkan efek rumah kaca sehingga menyebabkan Venus jadi panas.” Aku dan R yang duduk di depanku saling bertatapan, kami terpana dengan jawabannya.

“Kamu tau Pluto?”

“Tau.”

“Kenapa Pluto tidak dianggap planet lagi?”

“Karena ada beberapa syarat untuk bisa disebut planet. Pertama bentuknya harus bulat. Kedua harus memutari bintang (mungkin maksudnya pusat tata surya(?)). Ketiga di sekelilingnya tidak boleh ada asteroid.”

“Emang kenapa kalau ada asteroid?”

“Nanti tabrakan.”

“Kamu tau kan sabuk astroid diantara planet Mars dan Jupiter?” Dia mengangguk. “Tapi kenapa Mars tetap dianggap planet padahal ada asteroid di sekelilingnya?”

“Karena asteroidnya tidak bergerak pada orbitnya Mars.” Jujur, aku bahkan belum pernah tau tentang alasan itu.

“Oke, kamu tau tidak asteroid terbesar?” Dia terdiam cukup lama. Mungkin soalnya terlalu sulit.

“Asteroid Ceres.”

“Bahkan aku sendiri tidak tau weh,” ujar R.

“Kalau planet yang punya cincin?”

“Saturnus.”

“Planet dengan masa revolusi terlama?” Dia terdiam. Ekspresi wajahnya menunjukan dia sedang berpikir keras. “Revolusi ya bukan rotasi.”

“Tau revolusi, kan?” tanya R. “Revolusi tuh gerak planet mengelilingi pusat tata surya.” Ekspresi wajah Z tidak berubah. Aku yakin dia berpikir keras. Untuk beberapa anak, ketika ditanyai soal sulit, mereka akan terdiam seolah sedang berpikir, ketika kenyataannya mereka hanya terdiam dan mengulur waktu untuk menjawab. Akan tetapi, Z sepertinya benar-benar memikirkan soal itu.

“Neptunus.” Aku dan R tidak menanyakan alasannya. Tapi, entah kenapa kami yakin bahwa Z menjawabnya dengan logika, atau barangkali dia menghapal masa revolusi tiap planet yang tertulis dalam buku. (Neptunus punya masa revolusi paling lama karena jawaknya paling jauh dari matahari.)

“Kamu tau hujan meteor tidak?” Z terdiam. “Kamu tau meteor kan?” Dia mengangguk. “Oke, apa bedanya meteor dan meteorit?”

“Meteor itu batu yang kecil masuk ke bumi jadi habis terbakar. Kalau meteorit dia lebih besar jadi bushh sampai nabrak bumi (mungkin maksudnya mendarat di permukaan bumi haha...).”

“Jadi, kenapa ada kawah meteor?”

“Ya karena ada yang nabrak bumi.”

“Eh, kenapa sih kalau meteor masuk ke bumi bisa terbakar?”

“Karena gesekan udara.”

“Kamu tau tidak, di bumi ada musim apa aja?”

“Musim dingin, semi, panas, hujan.”

“Jangan dicampur-campur. Kalau negara empat musim ada musim dingin, semi, gugur, panas. Kalau di Indonesia hanya musim hujan dan panas.” R berusaha menjelaskan.

“Kenapa?” tanyaku. “Kenapa di Indonesia musimnya cuma dua?”

“Karena letaknya di daerah khatulistiwa.”

“Kamu tau aurora?” Dia mengangguk. “Aurora ada di kutub utara atau kutub selatan?”

“Kutub utara,” jawabnya setelah berpikir keras. (Maaf ya Z sebenarnya aurora itu ada di kutub utara maupun kutub selatan tapi jenisnya berbeda. Semoga kita bertemu lagi, jadi aku punya kesempatan memberitaumu kebenarannya)

“Kamu tau pelangi?” Z mengangguk. “Kenapa bisa ada pelangi?”

“Jadi... kalau habis hujan kan masih ada butir-butir air di langit, nah terus ada cahaya. Sama air cahayanya dibiaskan terus jadi pelangi.”

“Kenapa di Indonesia tidak ada hujan salju?”

“Ya, kan tadi udah, sih yang karena di daerah khatulistiwa,” ujar R.

“Bukan, maksudnya kenapa hujan yang turun di Indonesia hujan air bukan hujan salju padahal turunnya sama-sama dari atas.”

“Karena pas diatas bentuknya es terus turun kena panas jadi mencair.” (Jujur, waktu itu aku tidak tau jawabannya yang benar apa. Ketika aku menulis ini aku mencari tau lagi dan ternyata jawaban dia benar)

“Kamu tau fenomena halo matahari?” Z diam. “Oke, tidak apa-apa kalau tidak tau.” (Kalau kita bertemu lagi, aku akan menceritakan padamu apa itu halo matahari, tentunya setelah mencari tau dari internet) “Kenapa bisa terjadi gerhana?”

“Gerhana apa?”

“Gerhana... bulan.”

“Karena bumi berada di antara matahari dan bulan.”

“Memangnya kenapa kalau bumi berada di antara matahari dan bulan?”

“Nanti buminya menghalangi cahaya matahari yang akan dipantulkan bulan.”

 “Jenis gerhana ada berapa?”

“Ada gerhana cincin, gerhana total, gerhana sebagian, gerhana separuh.”

“Gerhana sebagian sama gerhana separuh itu sama.”

“Tidak, itu beda.”

“Karena kamu maunya begitu?” tebakku sembari tersenyum padanya yang sudah lebih dulu tertawa.

“Iya.”

Sungguh sangat menyenangkan mengobrol dengannya. Tampak jelas dia sangat menyukai hal-hal tentang planet-planet dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Aku senang mengetahui bahwa dia menyukai Matematika karena sebagian besar anak yang kuajar sangat menghindari Matematika. Aku senang mengetahui anak sekecil Z sudah tau betul apa yang dia sukai. Kurasa itu poin plus untuknya. Ketika kuberbincang-bincang dan berusaha mencaritau, rupanya selama masanya di SD dia sudah berpindah sekolah sebanyak empat kali. Dia pindah dari Depok ke Bandung pada awal masa kelas enam. Aku mengalami hal serupa. Aku pribadi menganggap menjadi murid baru sekali saja sudah sangat berat rasanya, dan dia harus mengalaminya sebanyak empat kali.

Satu hal lain pada dirinya yang menarik perhatianku yaitu ketika salah seorang temannya menghampiri kami dan mengatakan “Dia ini paling pintar di kelas, Kak.” Sebelumnya, karena penasaran, aku menanyakan pada Z tentang siapa yang paling pintar di kelas, dan dia menjawab tidak tau. Kutanya dia peringkat berapa di kelas, dia juga menjawab tidak tau. Kurasa dia tidak suka membicarakan hal seperti itu.

“Tidak, F lebih pintar,” jawab Z dengan ekspresi wajah datar.

“Iya, F lebih pintar kalau Matematika. Kalau IPA, kamu paling pintar.” Dan Z tidak membalas lagi. Beberapa orang yang menyaksikan mungkin berpikir bahwa Z sangat rendah hati dan tidak sombong. Aku akan senang bila memang seperti itu kenyataannya. Akan tetapi, bila dia justru merasa tidak percaya diri dengan kelebihan yang dimiliki, kurasa itu bukan hal baik.

Teruntuk Z, kuharap kita bertemu lagi suatu saat nanti. Ketika kita bertemu, kuharap kamu menceritakan banyak hal tentang apa yang kamu tau tentang luar angkasa. Bila aku mendapat satu kesempatan untuk menjelajahi masa depan dengan mesin waktu, aku akan menggunakan kesempatan itu untuk mengintip masa depanmu.

Teruntuk Z yang menyukai rasi bintang Libra, selamat berjuang. Aku tak sabar melihatmu beranjak dewasa.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar