Bandung, 20
April 2018
Kelas terakhirku
berakhir pukul setengah sebelas. Setelah menyelesaikan tugas kelompok, sekitar
jam dua belas aku menghubungi temanku, I. Kami berencana mengunjungi salah satu
SD dekat kampus kami, SDN Pelesiran. Setahun yang lalu, kami mengadakan program
pengabdian masyarakat dengan mengajar anak-anak kelas 6 yang akan menghadapi
ujian nasional. Tahun ini, program kami dilanjutkan oleh angkatan 2017.
Meksipun sudah bukan kewajiban kami lagi untuk mengajar, tapi aku dan I ingin
berkunjung ke sana untuk melihat seperti apa adik-adik yang diajar oleh
teman-teman angkatan 2017. Karena suatu hal, aku dan I sempat ragu untuk
berkunjung. Akan tetapi, minggu depan ujian akan dimulai dan aku takut sudah
tidak ada waktu lagi untuk kami bisa berkunjung. Akhirnya, pukul setengah satu
kami menuju ke sana, dan kami bertemu L dan R, teman seangkatan kami yang
rupanya juga berniat untuk melihat-lihat.
Karena beberapa
teman-teman angkatan 2017 ada yang perlu mengikuti perwalian, akhirnya hanya
lima orang yang bisa datang untuk mengajar. Adik-adik sangat antusias untuk
belajar meskipun beberapa merengek ingin pulang. Kurasa mereka hanya mencari
perhatian, sebab kenyataannya mereka rela menunggu dari jam sebelas hingga jam
satu, menunggu kakak-kakak pengajar datang. Saking antusiasnya, kelas menjadi
kurang kondusif sehingga aku, I, R, dan L harus ikut turun tangan. Kami yang
awalnya hanya berkunjung untuk mengawasi, akhirnya mengajar lagi. Aku pribadi,
merasa sangat senang bisa kembali mengajar setelah sekian lama.
Ketika aku masuk
kelas, ada satu murid yang menarik perhatianku. Murid laki-laki, dengan
kacamata dan duduk di bangku paling belakang dekat pojok kelas. Dia duduk
sendiri, tengah sibuk menyantap bekal makan siangnya. Tidak seperti kebanyakan
murid laki-laki lain yang suka berlari ke sana kemari sambil menjaili teman
lain, dia menghabiskan waktu istirahatnya dengan duduk seorang diri sembari
menyantap makan siang dan bermain ponsel. Aku pernah dengar tentang anak itu
dari teman-teman 2017. Katanya, bocah itu sangat pintar, seperti Einstein.
Namanya Z. Hasil tryout nya lumayan
bagus, salah delapan soal dari total tiga puluh enam soal. Kupikir dia yang
mendapat nilai tertinggi, rupanya ada tiga murid lain yang berhasil mengerjakan
dengan kesalahan hanya pada enam soal.
Awalnya, aku
ingin mengajar bocah itu, sekaligus mencoba mengenalnya. Akan tetapi, rupanya
dia sudah ditangani oleh L sehingga aku memutuskan mengajari dua siswi yang
duduk paling depan. Setelah dua siswi itu diambil alih, aku berpindah mengajari
tiga siswa yang duduk bergerombol di depan Z. Aku mengajari beberapa soal matematika
dan dasar perhitungan pembagian. Ketika aku sedang mengajari ketiga siswa itu,
kudapati Z sedang memainkan ponselnya. Beberapa siswa jadi tertarik untuk tau
apa yang sedang dia mainkan sehingga kukatakan padanya “Simpan dulu ya
ponselnya, kan masih belajar. Ada soal yang kamu tidak bisa?” Dia menunjuk pada
satu soal matematika yang dia jawab dengan salah. “Sebentar ya, aku ajari
temanmu dulu.” Selesai mengajari K soal KPK dan faktorisasi, aku mundurkan
kursiku dan mulai fokus pada Z. “Coba sini aku baca soalnya.” Menurutku, soal
yang dia jawab dengan salah punya level kesulitan yang sangat tinggi untuk
diberikan pada anak kelas 6 SD. “Kamu tau cara menghitungnya?”
“Tau.”
“Terus kenapa
bingung? Bisa perkalian kan?”
“Bisa.”
“Bisa
pembagian?”
“Bisa.”
“Terus bingung
kenapa?”
“Pusing,
Kaaakkk...”
“Pusing
dimananya?”
“Pusingnya di
kepala.” Z mengatakannya sambil menunjuk kepalanya. Belum sempat aku memberinya
petunjuk cara mengerjakan soal itu, dia mengambil pensil dari genggamanku dan
langsung mengerjakannya dengan sangat cepat. Dari langkah-langkahnya
mengerjakan soal itu dia benar-benar paham. Aku semakin penasaran, dimana letak
kesalahannya. “Tuh, Kak, tidak ada jawabannya.” Jawaban yang dia dapat tidak
ada dipilihan manapun. Aku koreksi langkah pengerjaannya dan kutemukan suatu
kesalahan yang cukup... sepele.
“Tujuh kali tiga
berapa?”
“Dua puluh
empat.”
“Yakin...?”
“Yakin.”
“Kalau delapan
kali tiga?”
“Dua puluh
empat.”
“Kok sama?”
“Iya, sama
karena aku pengennya begitu,” ujarnya sambil tertawa.
“Ya tidak bisa
lah, pantas saja ndak ada jawabannya.”
“Ada kok.” Dia
tulis pada bagian kosong antara pilihan C dan D pilihan baru yang berisi
jawaban sesuai perhitungannya. Cerdas sekali. “Tuh ada.”
“Tidak, tidak.
Coba kerjakan lagi dengan benar.” Setelah menghitung lagi, akhirnya didapat
jawaban benar yang rupanya ada dipiluhan A. “Tuh, ada kan jawabannya.”
“Tidak ada.” Hm,
masih ngeles aja kamu, Dik... Dik.
“Hm... kamu jago
matematika, ya, tuh salahnya cuma satu.”
“Tidak, itu
normal.” Aku tidak habis pikir dengan jawabannya. Biasanya anak kecil akan
mengatakan ‘Tidak ah biasa aja’, tapi dia menggunakan diksi yang tidak biasa.
Lucu sekali.
“Terus, orang
yang jago Matematika itu yang seperti apa?”
“Yang bisa
menghitung soal pangkat tiga dalam waktu satu detik.” Lagi-lagi jawaban yang tidak
kusangka-sangka. Kupikir dia akan menjawab ‘Orang yang bisa menjawab semua
pertanyaan dengan benar.’ Aku jadi merasa malu karena pernah menganggap diriku
jago Matematika pada waktu SD dulu. Bocah ini sudah pasti jelas sangat suka
Matematika. Sewaktu kubuka bagian soal Bahasa Indonesia, ada banyak coretan merah
di sana. Rupanya, lima dari delapan soal yang dia jawab dengan salah adalah
soal Bahasa Indonesia.
“Kamu tidak suka
Bahasa Indonesia ya?” Aku bertanya demikian karena biasanya, sebagian besar
anak-anak yang pernah kuajar tidak bisa mengerjakan soal suatu mata pelajaran
bukan karena mereka bodoh, tapi karena dasar mereka tidak menyukai mata
pelajaran itu.
“Tidak bakal
pernah suka.” Lagi-lagi jawaban yang mencengangkan.
“Kenapa?”
“Bahasa Indonesia
itu tidak seru.”
“Kamu lebih suka
angka daripada huruf ya?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Karena tulisan
saya jelek.”
“Coba tulis
namamu.” Tidak kusangka dia menurut dan akhirnya mau menuliskan namanya pada
bagian bawah kertas yang kosong. “Tidak ah, itu normal.”
“Tidak, itu
tidak normal.”
“Kalau IPA, suka
tidak?”
“Suka hanya
materi planet-planet.”
“Oke, kita
belajar planet-planet.” Ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi sangat
antusias. “Coba, ada berapa planet dalam tata surya kita?”
“Delapan.”
“Sebutkan.”
“Merkurius,
Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus.”
“Planet
terpanas?”
“Venus.”
“Planet
terjauh?”
“Neptunus.”
“Planet terdekat
dari matahari?”
“Merkurius.”
“Planet
terpanas?”
“Venus.” Ada
sedikit penekanan pada saat dia menjawab untuk yang kedua kali. Sepertinya dia
sadar aku sudah menanyakan pertanyaan itu sebelumnya.
“Kalau yang
terdekat dengan matahari itu Merkurius, kenapa Venus justru yang terpanas?”
“Karena di
langit venus itu ada banyak gas CO2 yang menyebabkan efek rumah kaca sehingga
menyebabkan Venus jadi panas.” Aku dan R yang duduk di depanku saling
bertatapan, kami terpana dengan jawabannya.
“Kamu tau
Pluto?”
“Tau.”
“Kenapa Pluto
tidak dianggap planet lagi?”
“Karena ada
beberapa syarat untuk bisa disebut planet. Pertama bentuknya harus bulat. Kedua
harus memutari bintang (mungkin maksudnya pusat tata surya(?)). Ketiga di
sekelilingnya tidak boleh ada asteroid.”
“Emang kenapa
kalau ada asteroid?”
“Nanti tabrakan.”
“Kamu tau kan
sabuk astroid diantara planet Mars dan Jupiter?” Dia mengangguk. “Tapi kenapa
Mars tetap dianggap planet padahal ada asteroid di sekelilingnya?”
“Karena
asteroidnya tidak bergerak pada orbitnya Mars.” Jujur, aku bahkan belum pernah
tau tentang alasan itu.
“Oke, kamu tau
tidak asteroid terbesar?” Dia terdiam cukup lama. Mungkin soalnya terlalu
sulit.
“Asteroid
Ceres.”
“Bahkan aku
sendiri tidak tau weh,” ujar R.
“Kalau planet
yang punya cincin?”
“Saturnus.”
“Planet dengan
masa revolusi terlama?” Dia terdiam. Ekspresi wajahnya menunjukan dia sedang
berpikir keras. “Revolusi ya bukan rotasi.”
“Tau revolusi,
kan?” tanya R. “Revolusi tuh gerak planet mengelilingi pusat tata surya.”
Ekspresi wajah Z tidak berubah. Aku yakin dia berpikir keras. Untuk beberapa
anak, ketika ditanyai soal sulit, mereka akan terdiam seolah sedang berpikir,
ketika kenyataannya mereka hanya terdiam dan mengulur waktu untuk menjawab.
Akan tetapi, Z sepertinya benar-benar memikirkan soal itu.
“Neptunus.” Aku
dan R tidak menanyakan alasannya. Tapi, entah kenapa kami yakin bahwa Z
menjawabnya dengan logika, atau barangkali dia menghapal masa revolusi tiap
planet yang tertulis dalam buku. (Neptunus punya masa revolusi paling lama
karena jawaknya paling jauh dari matahari.)
“Kamu tau hujan
meteor tidak?” Z terdiam. “Kamu tau meteor kan?” Dia mengangguk. “Oke, apa
bedanya meteor dan meteorit?”
“Meteor itu batu
yang kecil masuk ke bumi jadi habis terbakar. Kalau meteorit dia lebih besar
jadi bushh sampai nabrak bumi (mungkin maksudnya mendarat di permukaan bumi
haha...).”
“Jadi, kenapa
ada kawah meteor?”
“Ya karena ada
yang nabrak bumi.”
“Eh, kenapa sih
kalau meteor masuk ke bumi bisa terbakar?”
“Karena gesekan
udara.”
“Kamu tau tidak,
di bumi ada musim apa aja?”
“Musim dingin,
semi, panas, hujan.”
“Jangan dicampur-campur.
Kalau negara empat musim ada musim dingin, semi, gugur, panas. Kalau di
Indonesia hanya musim hujan dan panas.” R berusaha menjelaskan.
“Kenapa?”
tanyaku. “Kenapa di Indonesia musimnya cuma dua?”
“Karena letaknya
di daerah khatulistiwa.”
“Kamu tau
aurora?” Dia mengangguk. “Aurora ada di kutub utara atau kutub selatan?”
“Kutub utara,”
jawabnya setelah berpikir keras. (Maaf ya Z sebenarnya aurora itu ada di kutub
utara maupun kutub selatan tapi jenisnya berbeda. Semoga kita bertemu lagi,
jadi aku punya kesempatan memberitaumu kebenarannya)
“Kamu tau
pelangi?” Z mengangguk. “Kenapa bisa ada pelangi?”
“Jadi... kalau
habis hujan kan masih ada butir-butir air di langit, nah terus ada cahaya. Sama
air cahayanya dibiaskan terus jadi pelangi.”
“Kenapa di
Indonesia tidak ada hujan salju?”
“Ya, kan tadi udah,
sih yang karena di daerah khatulistiwa,” ujar R.
“Bukan,
maksudnya kenapa hujan yang turun di Indonesia hujan air bukan hujan salju
padahal turunnya sama-sama dari atas.”
“Karena pas
diatas bentuknya es terus turun kena panas jadi mencair.” (Jujur, waktu itu aku
tidak tau jawabannya yang benar apa. Ketika aku menulis ini aku mencari tau
lagi dan ternyata jawaban dia benar)
“Kamu tau
fenomena halo matahari?” Z diam. “Oke, tidak apa-apa kalau tidak tau.” (Kalau
kita bertemu lagi, aku akan menceritakan padamu apa itu halo matahari, tentunya
setelah mencari tau dari internet) “Kenapa bisa terjadi gerhana?”
“Gerhana apa?”
“Gerhana...
bulan.”
“Karena bumi
berada di antara matahari dan bulan.”
“Memangnya
kenapa kalau bumi berada di antara matahari dan bulan?”
“Nanti buminya
menghalangi cahaya matahari yang akan dipantulkan bulan.”
“Jenis gerhana ada berapa?”
“Ada gerhana
cincin, gerhana total, gerhana sebagian, gerhana separuh.”
“Gerhana
sebagian sama gerhana separuh itu sama.”
“Tidak, itu
beda.”
“Karena kamu
maunya begitu?” tebakku sembari tersenyum padanya yang sudah lebih dulu
tertawa.
“Iya.”
Sungguh sangat
menyenangkan mengobrol dengannya. Tampak jelas dia sangat menyukai hal-hal tentang
planet-planet dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Aku senang mengetahui
bahwa dia menyukai Matematika karena sebagian besar anak yang kuajar sangat
menghindari Matematika. Aku senang mengetahui anak sekecil Z sudah tau betul
apa yang dia sukai. Kurasa itu poin plus untuknya. Ketika kuberbincang-bincang
dan berusaha mencaritau, rupanya selama masanya di SD dia sudah berpindah
sekolah sebanyak empat kali. Dia pindah dari Depok ke Bandung pada awal masa
kelas enam. Aku mengalami hal serupa. Aku pribadi menganggap menjadi murid baru
sekali saja sudah sangat berat rasanya, dan dia harus mengalaminya sebanyak
empat kali.
Satu hal lain
pada dirinya yang menarik perhatianku yaitu ketika salah seorang temannya
menghampiri kami dan mengatakan “Dia ini paling pintar di kelas, Kak.”
Sebelumnya, karena penasaran, aku menanyakan pada Z tentang siapa yang paling
pintar di kelas, dan dia menjawab tidak tau. Kutanya dia peringkat berapa di
kelas, dia juga menjawab tidak tau. Kurasa dia tidak suka membicarakan hal
seperti itu.
“Tidak, F lebih
pintar,” jawab Z dengan ekspresi wajah datar.
“Iya, F lebih
pintar kalau Matematika. Kalau IPA, kamu paling pintar.” Dan Z tidak membalas
lagi. Beberapa orang yang menyaksikan mungkin berpikir bahwa Z sangat rendah
hati dan tidak sombong. Aku akan senang bila memang seperti itu kenyataannya. Akan
tetapi, bila dia justru merasa tidak percaya diri dengan kelebihan yang
dimiliki, kurasa itu bukan hal baik.
Teruntuk Z,
kuharap kita bertemu lagi suatu saat nanti. Ketika kita bertemu, kuharap kamu
menceritakan banyak hal tentang apa yang kamu tau tentang luar angkasa. Bila
aku mendapat satu kesempatan untuk menjelajahi masa depan dengan mesin waktu,
aku akan menggunakan kesempatan itu untuk mengintip masa depanmu.
Teruntuk Z yang
menyukai rasi bintang Libra, selamat berjuang. Aku tak sabar melihatmu beranjak
dewasa.