Rabu, 01 Oktober 2014

Hujan


Hujan

Kulangkahkan kakiku ke luar kafe, meninggalkan bunyi lonceng yang digantung di atas pintu masuk. Baru saja aku berjalan beberapa langkah, air mata sang langit malam jatuh, semakin lama semakin deras. Buru-buru aku berbalik, namun tidak masuk ke dalam kafe. Begitu konyol bukan jika aku duduk di salah satu bangku pelanggan hanya untuk berteduh dari hujan? Apa yang harus kukatakan jika salah satu temanku yang bekerja sebagai pelayan menawariku sesuatu sementara tidak ada barang satu sen pun di dalam saku celanaku?
Setengah jam berlalu dan hujan masih terus membagi air matanya. Kulirik arlojiku, sudah terlalu malam. Kulepas jaket tebalku lalu kuangkat ke atas, menjadikannya pengganti payung. Perlahan aku melangkah, menerebos hujan yang kian deras.
Tiba-tiba, sosok Yumi terlintas di pikiranku. Yumi, gadis yang kusukai sejak dua tahun lalu, saat kami memulai tahun pertama kami di SMA yang sama. Selama dua tahun kami selalu sekelas. Kurasa, itu adalah suatu kebetulan yang luar biasa, atau takdir, atau Tuhan hanya kasihan padaku yang belum cukup berani mengungkapkan perasaanku pada Yumi.
 “Moto?” Kutolehkan kepalaku perlahan… Ya Tuhan, sedang apa bidadari di halte bis saat hujan seperti sekarang ini? “Baru pulang kerja dari kafe?” Aku menepi, lalu berdiri di sampingnya.
“Iya,” jawabku singkat dengan kepala tertunduk. Kulihat tetes-tetes air hujan turun dari ujung rambutku. Ya, jaket tidak cukup untuk berlindung dari hujan. “Kenapa… Yumi-chan ada disini?”
“Sedang menunggu hujan reda,” jawabnya sembari tersenyum. Sungguh, aku merasa hangat saat melihat senyumnya.
“Ayo jalan,” Yumi mengangguk dengan tatapan bingung ke arahku yang sudah siap melindunginya dari hujan dengan jaketku, lalu melangkah menerobos hujan yang semakin mengamuk.
Baru beberapa langkah, bahu kiri Yumi mulai basah, tubuhnya mulai gemetar. Kugeser tubuhku ke kanan, membiarkan tubuhku merasakan dinginnya hujan malam ini. “Aku akan melindungimu, Yumi-chan.”
“Eh?”
“Aku berjanji!” Yumi terkekeh, lalu menarik lengan kiriku dengan cepat, membiarkan jaketku jatuh, membiarkan dirinya disiram hujan. Betapa terkejutnya aku saat ia mendaratkan kepalanya di bahu kiriku dan sebelah tangannya menggenggam erat tanganku, lalu ia tersenyum.
“Aku percaya,”


Terinspirasi dari lagu : Diana Ross-When You Tell Me That You Love Me
Share:

Minggu, 21 September 2014

Fur Alice

Setelah sekian lama menghilang finally I'm back! (Maklumlah, lagi ngejar deadline sana sini.) Dan ini karena tantangan cetar dari kakak@KampusFiksi yang kali ini memberi tantangan #FiksiLaguku . Karangan ini terisnpirasi dari lagu klasik legendaris, Fur Elise yang sekarang biasa dipakai untuk sirene tukang roti itu lho. Oke, langsung aja deh ke cerita di bawah ini! Enjoy reading everyone :)
Fur Alice
Dinginnya udara musim salju menusuk kulitku, membuat kedua tanganku semakin erat meringkuk tubuhku yang mungil. Aku masih merasa cukup nyaman di sini, ditengah kerumunan orang yang mengeluh, karena acara orkestra yang mereka tunggu-tunggu belum juga mulai.
Aula menghangat perlahan. Kurasa, aku akan menonton orchestra ini sampai selesai. Bukan karena ingin numpang menghangatkan diri, melainkan karena ada seseorang, seseorang yang begitu istimewa. Seseorang yang selalu membuat jantungku berdetak lebih cepat ketika menatapnya, seseorang yang selalu membuatku senyum-senyum sendiri saat mengingatnya.
Seseorang berjas hitam keluar dari balik panggung, berjalan pelan menghampiri piano hitam di tengah panggung, lalu mulai memainkan sebuah lagu. “Untuk Beethoven, ini Fur Elise. Tapi untukku, ini Fur Alice,” ucapnya setelah memainkan lagu itu, dengan tangan terangkat, mengarah ke arahku. “Ich liebe dich, Alice.”

M
Tepat 123 kata, ditambah judul jadi 125 kata, karya ini kupersembahkan sepenuh jiwa untuk tantangan #FiksiLaguku :)
Share:

Rabu, 16 Juli 2014

Ditipu Bakso

Ini ketiga kalinya aku ikut tantangan @KampusFiksi dan tema kali ini adalah #DeskripsiBakso . Semoga aku tidak mengulangi kesalahan untuk yang ketiga kalinya -_- Okey! Enjoy reading, Kakak :)

---

          Di tengah teriknya matahari, Boim jalan-jalan seorang diri dengan riang gembira. Bibirnya seakan tidak lelah untuk selalu tersenyum. Saking lincahnya, rambut Boim yang mirip duri landak itu bergoyang naik turun mengikuti irama hentakan kaki Boim yang juga diiringi gerakan perutnya yang buncit.
“Andi! Farel!” teriak Boim sambil berlari menghampiri kedua sahabatnya. “Kalian mau kemana, nih? Ikut dong!”
“Kami mau ke rumahmu, Im,” balas Andi bersemangat. “Seminggu lagi, kan ulang tahunmu. Bukankah biasanya kamu menyelenggarakan pesta besar-besaran setiap tahun?”
“Tentu saja,” sahut Boim sombong.
“Omong-omong, tema tahun ini apa, Im? Tema dua tahun yang lalu, kan Tropical Fruit dan teman setahun yang lalu Veggie Land. Tema tahun ini harus lebih cetar dong...” balas Farel.
“Pasti dong!” kilah Boim tidak kalah sombong dari sebelumnya. “Tema tahun ini...”
“Boim! Andi! Farel!” sapa Roni.
Boim, Andi, dan Farel yang sedang asyik mengobrol serempak menoleh ke arah Roni yang dengan semangat berlari kearah mereka.
“Hai Roni!” sapa Boim penuh semangat. “Kamu sudah tau apa belum tentang pesta ulang tahunku? Eh iya, kamu mau kemana sih? Kok sepertinya buru-buru sekali?”
“Aku belum tau nih tentang pestamu,” jawab Roni. “Sebenarnya, aku mau mencari makan siang. Soalnya, Ibu tidak sempat memasak. Omong-omong, kalian lagi ngapain nih? Kuperhatikan dari kejauhan, seperti sedang diskusi penting saja,” celetuknya.
“Kami lagi membahas ulang tahun Boim, Ron,” jawab Andi.
“Hei! Kalian lapar?” tanya Boim. Andi, Farel, dan Roni saling berpandangan kemudian mengangguk pelan. “Kalau begitu, bagaimana kalau kutraktir makan siang? Anggaplah ini sebagai permulaan dari pestaku. Dengan begini, kalian bisa tau tema pestaku tahun ini.”
“Wah... boleh juga tuh!” sahut Farel senang.
Boim melangkah mantap dengan gaya sok bos menuju jalan raya diikuti Andi, Farel, dan Roni di belakangnya. Ketiga bocah itu, Andi, Farel, dan Roni terlihat tidak sabar mengetahui kemana Boim mengajak mereka makan siang, termasuk tentang tema pesta Boim yang selalu sukses membuat mereka kekenyangan setiap tahun saking banyaknya makanan yang dihidangkan. Langkah Boim terhenti di depan tenda bakso Mang Jono yang sudah sering ia kunjungi.
“Mang Jono!” sapa Boim sambil duduk di salah satu deretan kursi kayu yang masih kosong diikui ketiga sahabatnya. “Pesan bakso empat mangkok, yang ekstra banyak ya!”
“Siap!” sahut Mang Jono bersemangat. Beliau meracik empat mangkuk bakso dengan sangat lincah, bersemangat, dan cekatan. Kedua tangannya bergerak lincah, yang kanan sibuk meramu bumbu-bumbu dan menuangkan mie kuning serta bihun ke dalam sementara tangan kirinya sibuk mengaduk-aduk kuah bakso yang mengepul semakin lebat dan membuat perut  Andi  keroncongan.
“Kalau masih kurang, tambah saja sesuka kalian!” celoteh Boim sombong.
“Kalau mau tambah, silahkan! Sekalian sama gerobaknya juga boleh!” celetuk Mang Jono sambil meracik empat mangkuk bakso yang terlihat begitu penuh. “Silahkan!”
Mang Jono meletakan empat mangkuk bakso di atas meja, begitu pula dengan empat gelas air mineral. Tanpa berpikir panjang, Boim, Andi, dan Farel langsung menyantap bakso tersebut dengan lahap. Berbeda dengan ketiga sahabatnya, Roni hanya diam mematung dengan bibir mencibir dan kedua mata yang memandang rendah semangkuk bakso yang ada di hadapannya.
“Kenapa kamu tidak makan, Ron? Katanya lapar?” tanya Boim heran dengan mulut penuh bakso dan potongan mi kuning di sekitar mulutnya yang semakin semangat mengunyah. “Tidak jadi lapar?”
“Bukannya gitu,” sanggah Roni. “Aku, kan tidak suka bakso.”
“Ha?” ujar Andi. “Bakso itu, kan enak. Masa’ kamu tidak suka. Rugi tau!”
“Ya... mau bagaimana lagi. Namanya juga tidak suka. Sudah ya. Aku cari makan dulu,” jawab Roni agak kesal dengan ucapan Andi kemudian berlari pergi meninggalkan tenda bakso Mang Jono.
“Andi sih... pake ngomong kayak begitu,” sambar Farel. “Kan, kasihan Roni. Kamu, sih tidak mengerti perasaannya.” Andi hanya mengangkat bahu sambil memasukan potongan-potongan bakso yang begitu menggoda kedalam mulutnya. “Oh iya! Boim, jangan-jangan... tema pestamu itu ada hubungannya dengan daging, ya?” tebak Farel dengan gaya sok detektif.
“Betul sekali!” balas Boim. “Temanya adalah Beef Party! Segala macam makanan olahan daging akan ada disana! Jangan lupa datang ya!”
“Tunggu!” ujar Farel. “Roni tidak suka bakso. Itu berarti dia tidak suka daging sapi yang menjadi bahan dasar bakso. Iya, kan?”
 “Siapa tau... yang membuatnya tidak suka itu bihunnya atau mi kuningnya. Kan belum tentu bakso yang membuatnya tidak suka,” bantah Andi.
“Andi, apa kamu lupa? Roni sangat suka mi ayam. Tidak mungkin dia tidak suka mi kuning. Lagipula, ibunya sering memasak bihun pedas. Kalau memang Roni tidak suka bihun, ibunya tidak mungkin memasak bihun pedas sesering itu,” sanggah Farel.
“Benar juga kamu, Rel!” balas Boim. “Yah... mau bagaimana lagi. Kalau memang Roni tidak suka daging, kita tidak bisa berbuat apa-apa.” Andi dan Farel mengangguk bersamaan.
Hari yang ditunggu-tunggu Boim telah tiba. Rumahnya yang besar nan mewah dipenuhi para tamu yang bergantian mengucapkan selamat dan curahan doa-doa baik kepadanya. Andi dan Farel sudah datang dengan kedua orang tua mereka yang kini sedang berbincang-bincang dengan kedua orang tua Boim sementara Andi dan Farel sibuk mencicipi berbagai macam hidangan yang mengundang nafsu mereka.
Setelah menunggu selama satu setengah jam, akhirna Roni datang dengan sekotak hadiah besar yang langsung ia berikan kepada Boim. “Ng.. Roni... masalah bakso itu...”
“Kenapa?” tanya Roni sambil mengambil beberapa potong daging sapi panggang dan mulai menyantapnya dengan saus bawang. Boim, Andi, dan Farel sama-sama terbelak melihatnya. “Kalian kenapa, sih? Kenapa melihatku seperti itu?” Boim, Andi, dan Farel hanya menggeleng pelan sementara Roni sibuk mencicipi hidangan lain seperti sosis bakar, kornet telur goreng, dan tumis daging dengan paprika.

“Roni kok sekarang suka daging? Padahal seminggu yang lalu ia kelihatan benar-benar tidak suka dengan yang namanya bakso,” ujar Andi. Boim dan Farel hanya menggeleng pelan. 

Jumlah kata : 897 kata ditambah 2 kata dari judul, menggunakan kata 'kemudian' dua kali, dan tidak menggunakan kata 'lalu', 'lantas', dan 'terus'.
Share:

Minggu, 13 Juli 2014

Rujak Ciamplas Mang Jono

Tidak terasa kini sudah memasuki pertengahan bulan Ramadhan. Lima belas hari atau tiga minggu kurang enam hari lagi semua umat muslim di Indonesia akan bersuka cita merayakan kemenangan. Sambil kipasan, Pak Hedi duduk di kursi rotan depan rumah dengan wajah sumringah. Setiap orang yang lewat di depan rumahnya selalu disapa dengan ramah. Tentu saja, karena kini istrinya sedang mengandung anak pertama mereka. “Pak Hedi tidak bekerja hari ini?” tanya Pak Budi yang hendak pergi bekerja sambil menurunkan standar motornya. Ya, berangkat kerja. Itu sudah pasti. Terlihat dari rambut cepaknya yang disempong dan terlihat begitu klimis dan mengkilap, kemeja putih kusam tanpa kerutan sedikitpun, celana hitam yang terlihat begitu licin, dan tas kerja cokelatnya yang sudah usang namun terlihat begitu berarti. Pak Hedi beranjak dari kursi rotan lalu menghampiri Pak Budi.
“Sebenarnya, sih aku mau berangkat kerja. Akan tetapi, ibu mertuaku minta aku ambil cuti soalnya istriku lagi hamil,” jawab Pak Hedi sambil terus kipasan.
“Ohh... selamat ya. Omong-omong, sudah berapa bulan nih?” tanya Pak Budi antusias.
“Sudah hampir tiga bulan. Doakan saja ya semoga semuanya lancar,” ujar Pak Hedi. “Pak Budi ini mau kerja, kan ya?” Pak Budi mengangguk bangga kemudian teringat bahwa tidak sepantasnya ia berada disini mengingat beberapa menit lagi ia sudah harus sampai di tempat kerja.
“Oh iya iya. Aku berangkat dulu, ya. Malah keasyikan ngobrol disini,” Setelah pamitan, Pak Budi melajukan motornya sambil melambaikan tangan rendah kepada Pak Hedi. Meski masih pagi, cuaca terasa cukup panas bagi Pak Hedi yang terus kipasan dengan kipas sate yang sudah gosong di bagian sampingnya.
“Hedi! Hedi! Hedi!” Pak Hedi yang sedang adem ayem kipasan sambil duduk-duduk di atas kursi rotan tiba-tiba beranjak cepat dengan jantung yang berdetak begitu cepat karena kaget. “Hedi! Hedi!”
“Ada apa, Bu?” Ibu mertua Pak Hedi terlihat begitu cemas sambil terus meremas-remas sehelai kain serbet dengan kedua tangan keriputnya yang bergetar. “Kenapa ibu terlihat khawatir?”
“Hedi, coba kamu lihat keadaan Sinta sekarang! Cepat!” Dengan perasaan gugup setengah khawatir, Pak Hedi buru-buru masuk ke dalam kamar Sinta. Terlihat Sinta terbaring dengan kedua mata yang kelelahan dan wajah yang pucat. Meksi begitu, Sinta masih bisa tersenyum saat mengetahui kedatangan suaminya.
“Apa yang terjadi, Sinta? Apa yang terjadi?” tanya Pak Hedi sambil duduk di sisi samping ranjang lalu membelai pelan rambut Sinta. Sinta mengembangkan senyumannya kemudian mengelus rahimnya yang membesar dengan sebelah telapak tangannya. “Apakah ada yang terjadi dengan bayi kita?”
“Kang...” ujar Sinta lirih.
“Iya, ada apa?” tanya Pak Hedi lembut sambil terus mengelus rambut Sinta.
“Aku kepengen rujak nih, Kang,” jawab Sinta sambil mengedipkan matanya genit.
“Rujak?” Kening Pak Hedi berkerut hebat mendengar permintaan istri kesayangannya.
“Iya, Kang. Aku kepengen rujak yang dijual Mang Jono di Pasar Ciamplas yang biasa aku beli. Tolong belikan, ya Kang?” pinta Sinta manja.
“Aduh... Sinta ngidam nih!” batin Pak Hedi bingung. “Mana ada puasa-puasa begini orang jualan rujak? Lagian, aku kan tidak tau penjual rujak bernama Mang Jono yang biasa jualan di Pasar Ciamplas.”
“Kang Hedi bisa belikan rujak untuk aku, kan?” tanya Sinta.
“Aduh... Kalau siang-siang begini kan tidak ada yang jualan rujak, Dik. Memangnya Dik Sinta maunya sekarang, ya?” ujar Pak Hedi balik bertanya.
“Yang kepengen rujak itu bukan Sinta, tapi bayi kita, Kang,” jawab Sinta sambil menggerakan bola matanya ke arah rahimnya.
“Hedi,” Pak Hedi menoleh cepat ke belakang dan tampak ibu mertua berdiri di ambang pintu, masih dengan sehelai kain serbet yang terlihat begitu kusut dalam genggajman erat kedua tangannya. “Cobalah, kamu cari dulu di Pasar Ciamplas. Siapa tau Mang Jono jual. Namanya ngidam kan gitu, Di. Tidak bisa ditawar.”
“Iya, Bu,” jawab Pak Hedi. “Sinta, aku cari dulu ya rujaknya. Kamu tunggu sebentar. Aku pasti dapat rujak untuk bayi kita.”
“Akan tetapi, aku tidak mau sembarang rujak. Aku maunya rujak Mang Jono yang dijual di Pasar Ciamplas,” tambah Sinta. Pak Hedi mengangguk kemudian mengecup kening Sinta penuh kasih sayang dan melangkah pelan keluar kamar.
“Hedi,” panggil ibu mertua. “Kamu harus menuruti permintaan Sinta. Permintaan istri yang hamil itu harus dituruti lho!”
“Iya, Bu,” balas Pak Hedi sambil mengangguk kemudian pamit untuk pergi. Setelah mengambil helm hitam usangnya yang sudah kehilangan kacanya itu dari dalam lemari kayu, Pak Hedi langsung melesat menuju Pasar Ciamplas yang letaknya cukup jauh dari rumah. Saat sedang seriusnya menjajah setiap tempat di sekitar Pasar Ciamplas yang ia lewati, tiba-tiba... “Aduh... bensinnya hampir habis, nih! Mampir ke SPBU dulu aja deh!” Pak Hedi merasa begitu shock saat melihat antrian yang begitu panjang di SPBU. Terlebih saat mengetahui bahwa hari semakin siang. Setelah menunggu selama lima belas menit, akhirnya tiba gilian Pak Hedi untuk isi bensin. Setelah itu, Pak Hedi langsung melanjutkan perjalanan mengingat Sinta yang pasti menunggu dengan rasa tidak sabaran di rumah.
Seperti dugaan Pak Hedi, tidak terlihat barang satu gerobak rujak pun di sekitar Pasar Ciamplas. Setiap pedagang pakaian di sekitar Pasar Ciamplas yang ditanyai oleh Pak Hedi tentang penjual rujak justru tertawa sambil menyindir. “Mencari penjual rujak di sekitar Pasar Ciamplas saja susahnya setengah mati. Apalagi kalau harus penjual rujak bernama Mang Jono.” Karena lelah berkeliling kesana kemari di bawah terik matahari, Pak Hedi memutuskan untuk mampir dulu ke rumah temannya yang dekat dengan Pasar Ciamplas.
“Hei, Hedi!” sambut Pak Mar dengan wajah ramah sambil memeluk Pak Hedi. “Kamu terlihat kelelahan. Bukankah seharusnya kamu bekerja?”
“Aku ngambil cuti untuk mendampingi istriku yang sedang hamil,” jawab Pak Hedi. “Kamu lihat penjual rujak apa tidak?”
“Mana ada penjual rujak puasa-puasa begini. Kamu ini ada-ada saja,” jawab Pak Mar tertawa lepas.
“Istriku ngidam rujak, nih. Sudah kucari dimana-mana tapi tidak ada,” keluh Pak Hedi. “Apalagi, istriku hanya mau rujak Mang Jono yang biasa jualan di Pasar Ciamplas.”
“Istrimu itu... Sinta, kan?” Pak Hedi mengangguk. “Sebentar, aku masuk ke dalam dulu ya?” Pak Hedi cukup lama menunggu Pak Mar. Setelah beberapa menit, Pak Mar muncul dengan kresek hitam kecil yang ia sodorkan ke arah Pak Hedi.
“Apa ini?” tanya Pak Hedi heran.
“Rujak. Istrimu ngidam rujak, kan? Nih!”
“Akan tetapi, istriku itu hanya mau rujaknya Mang Jono. Takutnya kalau rujak dari orang lain, dia tidak mau,” keluh Pak Hedi.
“Lah aku ini Mang Jono,” Kening Pak Hedi seketika berkerut. “Namaku itu, kan Marjono. Biasanya orang-orang manggil aku Mar, tapi kalau jualan rujak namaku itu Mang Jono. Sinta biasanya ya beli rujak di aku.”
“Oh... Jadi kamu itu Mang Jono yang biasa jualan di Pasar Ciamplas?”
“Iya,” jawab Pak Mar.
“Tau gitu sih aku langsung saja kesini, tidak usah keliling Pasar Ciamplas sambil tanya ke orang-orang. Malah ditertawakan deh!” ujar Pak Hedi sambil menerima rujak pemberian Pak Mar. “Terima kasih banyak ya.”
“Berkorban sedikit lah... Namanya juga untuk bayi pertama,” balas Pak Mar. “Cepat berikan ke Sinta. Dia pasti sudah tidar sabar.”
“Iya... iya... Mang Jono... Mang Jono...”

1108 kata ditambah 4 kata dari judul, ini persembahanku untuk tantangan #EkspresiPuasa :)
Share:

Sabtu, 12 Juli 2014

Guru untuk Helen Keller

Okey! Dengan cerita ini, aku mau membagi sedikit pengalamku mengunjungi anak-anak SLB. Enjoy reading :)

Helen Keller, siapa yang tidak kenal dengan sosok inspiratif yang satu ini? Wanita buta-tuli-bisu asal Alabama ini berhasil menginspirasi jutaan jiwa di dunia dengan perjuangan hidupnya yang tentu tidak semudah yang kita bayangkan. Kehilangan tiga fungsi panca indera membuatnya kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bersama dengan Annie Sullivan, Helen belajar mengenali orang yang berkomunikasi dengannya dan kata-kata melalui perabaan.
            Berbicara tentang Annie Sullivan yang bisa dikatakan sebagai pelita dalam hidup Helen Keller, ingatanku melayang pada sosok salah satu anggota keluargaku, Bulik[1] Esti. Bulik Esti tinggal di Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara bersama suaminya, Om Iqbal dan putri pertamanya, Dik Hasna. Sama seperti Annie Sullivan, Bulik Esti juga berprofesi sebagai seorang tokoh pendidikan. Ya, Bulik Esti berprofesi sebagai seorang guru. Tetapi, Bulik Esti tidak mengajar di sekolah umum melainkan mengajar di Sekolah Luar Biasa atau SLB.
            Guru memang profesi yang sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat. Namun, bagaimana dengan guru SLB? Ada rasa penasaran dalam diriku mengapa Bulik Esti lebih memilih menjadi guru di SLB dibandingkan guru di sekolah umum. Karena penasaran, aku memutuskan untuk menanyakan hal itu kepadanya.
“Apa yang membuat Bulik Esti ingin menjadi guru di SLB?” tanyaku penasaran.
“Pertamanya senang banget kalau lihat anak-anak yang seperti itu, akhirnya ingin kuliah di PLB sekalian,” jawab Bulik Esti. Mendengar jawaban Bulik Esti, aku menjadi semakin penasaran. Semakin banyak pertanyaan-pertanyaan tentang profesinya sebagai guru di SLB dalam benaku.
“PLB itu apa, Bulik?”
“PLB itu Pendidikan Luar Biasa,”
“Apa saja yang bulik pelajari disana?”
“Ya banyak, Dik. Mulai dari cara mengajar umum sampai cara mengajar anak berkebutuhan khusus,”
“Berarti, memang dari dulu Bulik Esti ingin menjadi guru SLB?”
“Pengalaman mengajar waktu kuliah yang membuat bulik tertarik untuk mengajar anak-anak di SLB,” jawab Bulik Esti. “Dibalik kekurangan anak-anak itu, ternyata mereka menyanangkan, Dik. Kita jadi belajar dari mereka terutama belajar tentang bersyukur karena sudah dikasih kesempurnaan oleh Allah. Kalau lagi sebal, lihat anak-anak itu jadi terhibur dan rasanya tidak ada beban,”
“Bulik mengajar murid tunarungu atau tunanetra?”
“Bulik mengajar anak-anak tunarungu. Bulik salut sama mereka yang jujur-jujur dan persahabatan antar sesama anak seperti mereka bisa akrab banget, beda dengan anak-anak normal,”
“Gimana caranya bulik mengajar anak-anak tunarungu?” tanyaku penasaran.
“Mereka menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan teman-temannya,”
“Terus… bagaimana dengan mereka yang belum bisa bahasa isyarat?”
“Yang belum bisa bahasa isyarat tetap bisa berkomunikasi dengan teman-teman menggunankan bahasa yang orang lain kadang tidak paham tentang apa yang mereka obrolkan. Anak tunarungu biasanya mainnya itu akur dan menggerombol tetapi mereka juga punya sifat pilih-pilih dan biasanya tidak mau bermain dengan anak yang keterbelakangan mental,”
“Pasti susah, ya Bulik menjadi guru SLB,” ucapku sembari menghembuskan nafas berat.
“Kalau anak yang baru sekolah kadang-kadnag bikin kesal, Dik. Rasanya seperti mengajari anak-anak yang tidak tau apa-apa dan tidak mau diatur. Kadang ada yang ngiler dan ingusnya diusap-usapin ke gurunya, main lempar, gigit, nyakar, lari-lari semaunya sendiri dan ngajar 2 jam aja capainya minta ampun. Itu kalau anak yang keterbelakangan mental,” ucap Bulik Esti bercerita. “Kalau anak tunarungu umumnya kalau masih permulaan, emosi dan kemauannya susah diatur,”
“Berarti, menjadi guru SLB itu melelahkan, ya?”
“Tapi, kalau udah mulai dewasa, mereka sudah mulai bisa diatur dan tingkah anak-anak itu juga banyak yang menghibur,”
“Bulik mengajar di SLB mana?”
“SLB Mandiraja,” jawabnya. Mataku seketika membesar mendengar jawaban dari Bulik Esti. Jarak dari Madukara ke Mandiraja tidaklah dekat, sekitar 40 kilometer dan Bulik Esti menempuh jarak sejauh itu setiap hari!
“Anak-anak SLB berangkat sekolah setiap hari apa saja, Bulik?”
“Setiap hari, sama seperti sekolah umum. Pulangnya sekitar jam sebelas sampai setengah duabelas,”
“Bulik tau tidak kisah Helen Keller?”
“Iya, waktu bulik nonton filmnya, bulik sampai nangis. Bulik jadi tambah salut kepada orang-orang seperti itu. Film itu juga mengajarkan bulik banyak hal, salah satunya bersyukur. Bulik juga tambah senang dengan anak-anak seperti itu setelah menonton film Helen Keller,”
 “Bulik, ada apa tidak kejadian lucu yang pernah bulik alami selama mengajar di SLB?” tanyaku penuh antusias.
“Ada. Bulik punya murid namanya Hanif. Dia itu tunagrahita,”
“Tunagrahita itu apa?”
“Tunagrahita itu orang yang keterbelakangan mental, Dik,”
“Terus? Apa yang dilakukan oleh Hanif?”
“Dulu, waktu awal-awal bulik ngajar di SLB, tiba-tiba dia bilang ‘Bu guru wis mbojo durung? Bu guru mbojo karo inyong wae’[2],”
 Hahaha… Terus? Bulik Esti jawab apa?” tanyaku penasaran, masih dengan tawa kecil.
“Terus bulik jawab ‘Wis duwe, Nif. Bojone bu guru 5’[3],” jawab Bulik Esti. Tawaku membesar mendengar jawaban Bulik Esti. Rupanya, anak-anak SLB memang unik-unik dan kadangkala secara tidak sengaja justru menghibur.
“Ada cerita yang lain?”
“Ada, ini cerita tentang Tutut,” balas Bulik Esti. “Dia itu anak tunarungu. Wajahnya cantik banget. Dia pintar banget menari dan modelling. Bahkan, waktu dulu bulik mendampingi ke Solo, ada yang tidak percaya kalau dia anak tunarungu,”
Keren banget! Ada tidak cerita unik tentang anak autis?” Ya, anak autis memang sering menjadi buah bibir di kalangan masyarakat karena sering dipandang sebelah mata.
“Ada, namanya David. Setiap hari di kelas dia nyakar gurunya sampai berdarah,” jawab Bulik Esti.
“Ih! Kok gitu sih?” tanyaku kaget.
“Iya, karena itulah paling susah itu mengajar anak autis,”
“Anak-anak di SLB pintar-pintar apa tidak?”
“Pintarnya anak seperti itu ya terbatas, Dik. Kalau tunarungu tetap kurang kalau pelajaran verbal sedangkan kalau itung-itungan mereka pintar. Tapi kalau sudah berhubungan dengan bahasa mereka lambat memahaminya,”
“Bagaimana cara mengajari anak tunarungu dan tunanetra?”
“Kalau tuli lebih ditekankan pada bahasa bibir, kalau buta memakai huruf braile,” balasnya. Mendengar segala cerita Bulik Esti tentang anak-anak SLB, aku menjadi penasaran untuk bertemu secara langsung dengan mereka. Kebetulan, di daerah dekat rumahku ada SLB yang katanya memiliki cukup banyak murid. Sayangnya, sebelum jam 12 semua murid biasanya sudah pulang sementara jam belajar di sekolah baru saja berakhir jam dua atau setengah tiga siang. Ada rasa bimbang di hatiku, antara kewajiban dan keinginan.
Kebetulan, minggu ini kelas X dan XI memulai jam belajar jam setengah sembilan. Pagi-pagi, aku sudah bangun dan bersiap-siap dengan seragam identitas sekolahku. Mama akan mengantarku ke SLB pagi ini. Rasanya deg-degan dan tak sabar ingin cepat sampai dan bertemu dengan mereka.
Sesampainya di SLB, rupanya belum ada guru yang datang. Mama memarkirkan sepeda motornya di samping pohon pinus sementara aku berjalan masuk dan mulai melihat-lihat bangunan-bangunan yang ada disana. Bangunan-bangunan sederhana dan terkesan tua yang berjejer mengelilingi lapangan inilah tempat mereka menuntut ilmu dan mempelajari banyak hal.
Saat aku sedang melihat-lihat dengan asyiknya, tiba-tiba seorang gadis berbaju batik dengan rok selutut berwarna cokelat menghampiriku. Wajahnya menatapku dengan tatapan bingung dan takut. Pada pandangan pertama, kukira dia adalah salah satu guru di sini.
“Mbake[4] siapa ya?” tanya gadis itu.
“Saya Sinar Kasih Mentari dari SMAN 1 Banjarnegara mau melihat-lihat keadaan disini,” ucapku sekenanya. Tatapannya masih bingung dan dia masih memandangku. Dia mengulurkan tangannya seolah mengajakku berkenalan.
“Fitri,” ucapnya.
“Kasih,” balasku seraya menerima uluran tangannya.
“Mari, melihat-lihat dulu,” ucapnya sambil mempersilakan aku untuk berjalan terlebih dahulu. Fitri menjelaskan segala bangunan yang kulewati. Bangunan pertama yang kulewati adalah deretan ruang kelas.
Ukuran ruang kelas disini memang lebih kecil dibandingkan di sekolah umum, apalagi satu ruang kelas dibagi dua dengan cara memberi batas dengan papan kayu yang besar di tengah ruangan. Satu kelas mungkin hanya berisi enam sampai delapan murid.
Ruang kedua yang Fitri kenalkan padaku adalah ruang perpustakaan dan keterampilan. Diasana, aku melihat banyak sekali buku dan mesin jahit. Disana juga banyak lemari kaca yang berisi alat dan bahan untuk menjahit dan membuat prakarya dengan bahan dasar kain juga hasil-hasil kerajinan kain yang sudah jadi.
“Unik sekali ruangan ini,” batinku. Setelah puas melihat-lihat, aku berjalan keluar dari ruang tersebut. Sembari berjalan, Fitri terus bercerita tentang apa saja kepadaku. Guru-guru, anak-anak, dan hal-hal unik yang pernah terjadi disini.
“Kamu mau duduk? Duduk aja yuk! Nanti kamu kecapaian,” ucapnya. Aku hanya mengangguk lalu duduk di sampingnya. Kini, kami berdua duduk di atas bangku kayu di depan kamar mandi puteri. Saat aku dan Fitri sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba seorang anak perempuan bertubuh tinggi dan berambut keriting berjalan dengan mantap di depanku dengan tatapan takut.
“Siapa itu!?” teriaknnya sambil masuk ke dalam salah satu ruang kelas. “Siapa itu!?” teriaknya lagi.  Fitri hanya menyeringai dengan tatapan tak enak hati kepadaku lalu mengejar gadis itu.
“Kuwe kancane dhewek[5],” jawab Fitri. Gadis bertubuh jangkung itu keluar dari kelasnya namun tetap saja tidak mau menatapku. Aku menjadi takut, tetapi aku belum mau pergi dari sini. “Ayo kenalan!” ucap Fitri pada gadis itu. Aku berjalan menuju ke arah Fitri dan berdiri di samping gadis berambut keriting itu. Perlahan, dia mengulurkan tangannya.
“Fara,” ucapnya.
“Kasih,” jawabku sembari tersenyum.
“Situ, diajak main,” ucap Fitri.
“Yuk, main yuk!” ucap Fara sembari berlari kecil ke arah taman belakang. “Mau main di depan atau disini?” tanyanya padaku sambil menunjuk arah depan dan belakang secara bergantian dengan telunjuknya.
“Terserah kamu,” balasku.
“Main disini aja yuk!” balasnya lalu duduk di atas bangku di dekat ayunan. Aku duduk di samping kanannya lalu Fitri duduk di samping kananku. “Sebentar lagi cowok-cowoknya datang kok,” ucapnya riang.
“Kamu dari mana?” tanya Fitri.
“Dari SMAN 1 Banjarnegara,” balasku.
“Fara, dia dari SMA!” ucap Fitri pada Fara. Fara hanya tertawa. Wajahnya terlihat sangat senang saat Fitri mengucapkan kata ‘SMA’.
“Besok aku ke SMA, pakai baju putih-abu-abu. Ngemben[6],” ucapnya lagi sambil memainkan rambut keritingnya. Aku hanya tersenyum dan terkadang tertawa mendengar setiap cerita yang dilontarkan olehnya. Satu per satu murid SLB berdatangan. Beberapa diantara mereka adalah murid SDLB dan TKLB.
“Hei! Sini main!” teriak Fitri pada salah satu anak laki-laki berseragam kotak-kotak cokelat.
“Kalian kenal sama anak SD dan TK disini?” tanyaku penasaran.
“Iya, disini kami semua main-main. Disini kami berteman dengan siapa saja,” jawab Fitri. Semakin lama, aku menjadi agak tidak paham dengan apa yang Fitri ucapkan karena dia mengucapkan beberapa kata dengan tidak jelas. Kurasa, Fitri ini tunawicara.
“Kalau di sekolahku beda. Yang kelas X takut sama kelas XI. Terus yang kelas XI takut sama kelas XII. Padahal, sebenarnya mereka semua sama,” ucapku bercerita.
“Kalau disini beda, semuanya teman,” ucap Fara. Aku terharu mendengar jawabannya. Ternyata, apa yang diceritakan Bulik Esti padaku memang benar. Pertemanan anak-anak SLB memang patut diacungi jempol!
“Disini cowokku banyak,” ucap Fara bercerita. Aku yang mendengar ceritanya menjadi penasaran. “Iya, sebenatar lagi cowok-cowokku datang,” Mungkin, yang dia maksud dengan ‘cowok-cowokku’ adalah para teman laki-lakinya.
“Kalau aku udah pernah pacaran,” ucap Fitri. Pandanganku yang sedari tadi tertuju pada Fara kini beralih ke arah Fitri.
“Iya, dia itu udah pernah pacaran sama anak SLB Mandiraja,” ucap Fara.
“Kok bisa sih?” tanyaku setengah tertawa.
“Waktu itu, dia pernah sekolah disini. Terus aku suka sama dia. Tapi terus dia ninggalin aku gitu aja,” ucap Fitri. “Dia maunya apa, sih?” ucapnya lagi.
“Mungkin… dia ingin hatimuuu…,” balas Farah dengan muka konyolnya dan rambut keritingnya yang bergoyang-goyang. Tawaku meledak mendengar celoteh Fara yang benar-benar konyol sementara Fitri hanya tertawa kecil.
Satu per satu murid laki-laki mulai berdatangan. Fara dan Fitri menyambut mereka dengan penuh kegirangan. Ya, itulah salah satu hal yang tidak mungkin kutemui di sekolahku.
“Sini! Sini! Kamu aku kenalin sama cowokku,” ucap Fara. Aku mengikuti langkahnya menuju gedung SMP dan memperkenalkanku dengan Pak Rohman, salah satu guru disini dan beberapa temannya.
“Ini namanya Oki dan Suya,” ucap Fara. Aku menjabat tangan mereka satu-satu lalu memberitau mereka namaku.
“Kalau yang ini Evin,” ucap Fitri.
“Kasih,” ucapku pada Evin yang menatapku dengan malu-malu.
“Ih… malu-malu,” ledek Fitri.
“Iya, itu sukanya malu-malu!” ucap Fara dengan suaranya yang seketika bisa melengking kemudian melangkah gontai menuju bangku lalu duduk lagi.
Fitri dan Fara bertanya-tanya tentang teman-temanku di sekolah. Aku menceritakan segala hal tentang teman-temanku di sekolah, termasuk kenyataan bahwa aku sering menjadi tempat curhat bagi teman-temanku yang suka sama teman sekelas. Aku juga menceritakan tentang beberapa temanku yang tinggal di daerah Bantarwaru barangkali Fara dan Fitri yang tinggal di Bantarwaru mengenal mereka.
“Hei, disini ada murid yang sukanya kejang-kejang,” ucap Fitri.
“Kok bisa?” tanyaku penasaran setengah terkejut.
“Iya, dia itu sukanya main HP, terus nanti kejang-kejang dan langsung dikasih obat 10 butir,” jawab Fitri.
“Memang dosisnya segitu?”
“Iya, dianya tidak boleh kecapaian, jadi diberi obat terus. Kemarin dia juga pingsan,”
“Berarti dia anaknya hiperaktif?”
“Iya, sukanya kesana kemari, main-main, sukanya kalau pelajaran malah duduk-duduk disini,” ucap Fitri menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk.
“Jalan-jalan lagi yuk!” ajak Fara sembari beranjak dari bangku lalu melangkah ke arah lapangan diikuti dengan langkahku dan Fitri.
“Hobi kamu apa?” tanya Fara. “Kalau aku suka nyanyi. Aku bisa nyanyi,”
“Kalau aku tidak bisa nyanyi,” jawabku. Fara hanya menatapku bingung. “Aku suka menulis. Aku ingin menceritakan tentang kalian ditulisanku,” jelasku.
“Boleh kok, boleh,” jawab Fitri sambil memandangku dengan tatapan bingung. Ya, mungkin menulis bukanlah hal yang biasa bagi mereka.
 “Kalian sering main di lapangan itu?” tanyaku sambil menunjuk ke arah lapangan yang cukup luas dengan dua tiang ring yang tidak terlalu tinggi di kedua sisinya.
“Kalau main disini sering, sering banget main disini,” jawab Fara sambil melipat kedua tangannya. Ya, mereka memang suka sekali mengulangi ucapan mereka dengan susunan yang berbeda. Saat melewati kelas mereka, Fitri dan Fara mengajakku untuk masuk.
“Sini masuk,” ucap Fitri lalu memberitau nama-nama murid yang sekelas dengannya kepadaku lengkap dengan letak tempat duduknya. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil sesekali memasang tampang bingung karena kadang-kadang mereka tertawa terbahak-bahak tanpa aku tau hal lucu apa yang mereka tertawakan.
Setelah puas melihat-lihat isi kelas mereka lengkap dengan karya-karya mereka yang ditempel di papan kayu, aku, Fara, dan Fitri duduk di koridor depan kelas. “Nanti kamu aku kenalkan dengan Laili. Sebentar lagi dia datang kok,” ucap Fara. Benar saja! Seorang gadis berkerudung cokelat dan bertubuh gemuk datang dengan wajah yang ramah.
“Laili, ini Kasih, anak baru!” ucap Fitri senang. Apa? Anak baru? Aku tidak salah dengar, kan? Ya Allah, apa harus menjelaskan  kepada mereka bahwa aku kesini hanya untuk melihat-lihat? Tapi, bagaimana kalau mereka sampai kecewa?
“Laili,” ucap Laili memperkenalkan diri.
“Kasih,” balasku.
“Sini, kamu duduk aja, nanti kamu kecapaian,” ucap Fitri mengajakku duduk bersamanya lagi. Aku duduk diantara Fitri dan Fara. Setiap ada murid yang memasuki gerbang sekolah, dengan cekatan Fitri dan Fara menceritakan segala yang mereka tau tentang murid itu. Sungguh, mereka benar-benar akrab satu sama lain!
“Kamu mau aku kenalin dengan Evin?” tanya Fitri.
“Aku udah kenal dengan Evin,” ucapku.
“Bukan Evin yang itu! Tapi Evin kelasnya aku. Yang tadi itu Evin kelas sebelah,” ucap Fitri menerangkan. “Mau?” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Fitri berlari menuju ke arah depan kantor dan menyeret seorang murid laki-laki berperawakan tinggi besar sambil tertawa. Aku yang melihatnya pun ikut tertawa.
“Ini nih yang namanya Evin,” ucap Fitri. Aku mengulurkan tangan kananku ke arah Evin namun dia hanya diam. “Kok diam saja?”
“Evin,” jawabnya sambil menerima uluran tanganku lalu berlari menuju kelas. Evin Kelas Sebelah muncul dari gedung sebelah lalu bergabung bersama kami. Dia masih saja menatapku dengan malu-malu, tetapi kubiarkan saja.
Aku melihat ke arah jam tanganku. Waktu hampir menunjukkan pukul delapan. “Fitri, antarkan aku ke kantor yuk!” pintaku.
“Yuk!” balasnya. Sesampainya di depan kantor, aku mulai mencari kepala sekolah SLB yang ternyata belum hadir. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang.
“Fitri, aku pamit dulu ya. Aku senang banget bisa mengenal kalian,” ucapku sambil menggenggam kedua tangannya dan menatap kedua matanya. “Maaf kalau dalam berbicara aku kadang menyakiti hati kalian,”
“Tidak kok,” balasnya.
“Salam untuk semua, ya,” ucapku sambil berlari menuju ke tempat parkir untuk menemui Mamaku. Setelah aku duduk diatas jok motor, Mama mulai menjalankan motor menuju ke arah sekolah.
“Dadah…,” ucap Laili, Fara, dan Fitri dari depan sekolah sembari melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangan mereka dengan butiran air mata di ujung kelopak mataku. Ya, mereka mengajariku banyak hal tentang persahabatan dan pertemanan yang mungkin tidak akan kuketahui seandainya aku tidak bertemu mereka…

[1] Artinya : Tante (Dalam bahasa Jawa)
[2] Artinya : ‘Bu guru sudah nikah belum? Bu guru nikah sama aku aja’ (Dalam bahasa Jawa)
[3] Artinya : ‘Sudah punya, Nif. Suaminya bu guru 5’ (Dalam bahasa Jawa)
[4] Artinya : Mbak
[5] Artinya : ‘Itu temannya kita’ (Dalam bahasa Jawa)
[6] Artinya : ‘Kapan-kapan’ (Dalam bahasa Jawa)
Share: