Okey! Dengan cerita ini, aku mau membagi sedikit pengalamku mengunjungi anak-anak SLB. Enjoy reading :)
Helen Keller, siapa yang tidak kenal dengan sosok
inspiratif yang satu ini? Wanita buta-tuli-bisu asal Alabama ini berhasil
menginspirasi jutaan jiwa di dunia dengan perjuangan hidupnya yang tentu tidak
semudah yang kita bayangkan. Kehilangan tiga fungsi panca indera membuatnya
kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bersama dengan Annie Sullivan,
Helen belajar mengenali orang yang berkomunikasi dengannya dan kata-kata
melalui perabaan.
Berbicara
tentang Annie Sullivan yang bisa dikatakan sebagai pelita dalam hidup Helen
Keller, ingatanku melayang pada sosok salah satu anggota keluargaku, Bulik
Esti. Bulik Esti tinggal di Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara bersama
suaminya, Om Iqbal dan putri pertamanya, Dik Hasna. Sama seperti Annie
Sullivan, Bulik Esti juga berprofesi sebagai seorang tokoh pendidikan. Ya, Bulik
Esti berprofesi sebagai seorang guru. Tetapi, Bulik Esti tidak mengajar di
sekolah umum melainkan mengajar di Sekolah Luar Biasa atau SLB.
Guru
memang profesi yang sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat. Namun,
bagaimana dengan guru SLB? Ada rasa penasaran dalam diriku mengapa Bulik Esti
lebih memilih menjadi guru di SLB dibandingkan guru di sekolah umum. Karena
penasaran, aku memutuskan untuk menanyakan hal itu kepadanya.
“Apa yang membuat Bulik Esti
ingin menjadi guru di SLB?” tanyaku penasaran.
“Pertamanya senang banget
kalau lihat anak-anak yang seperti itu, akhirnya ingin kuliah di PLB sekalian,”
jawab Bulik Esti. Mendengar jawaban Bulik Esti, aku menjadi semakin penasaran.
Semakin banyak pertanyaan-pertanyaan tentang profesinya sebagai guru di SLB
dalam benaku.
“PLB itu apa, Bulik?”
“PLB itu Pendidikan Luar
Biasa,”
“Apa
saja yang bulik pelajari disana?”
“Ya
banyak, Dik. Mulai dari cara mengajar umum sampai cara mengajar anak
berkebutuhan khusus,”
“Berarti, memang dari dulu
Bulik Esti ingin menjadi guru SLB?”
“Pengalaman mengajar waktu
kuliah yang membuat bulik tertarik untuk mengajar anak-anak di SLB,” jawab
Bulik Esti. “Dibalik kekurangan anak-anak itu, ternyata mereka menyanangkan,
Dik. Kita jadi belajar dari mereka terutama belajar tentang bersyukur karena
sudah dikasih kesempurnaan oleh Allah. Kalau lagi sebal, lihat anak-anak itu jadi terhibur dan
rasanya tidak ada beban,”
“Bulik mengajar murid
tunarungu atau tunanetra?”
“Bulik mengajar anak-anak
tunarungu. Bulik salut sama mereka yang jujur-jujur dan persahabatan antar
sesama anak seperti mereka bisa akrab banget, beda dengan anak-anak normal,”
“Gimana caranya bulik
mengajar anak-anak tunarungu?” tanyaku penasaran.
“Mereka menggunakan bahasa
isyarat untuk berkomunikasi dengan teman-temannya,”
“Terus… bagaimana dengan
mereka yang belum bisa bahasa isyarat?”
“Yang belum bisa bahasa
isyarat tetap bisa berkomunikasi dengan teman-teman menggunankan bahasa yang
orang lain kadang tidak paham tentang apa yang mereka obrolkan. Anak tunarungu
biasanya mainnya itu akur dan menggerombol tetapi mereka juga punya sifat
pilih-pilih dan biasanya tidak mau bermain dengan anak yang keterbelakangan
mental,”
“Pasti susah, ya Bulik
menjadi guru SLB,” ucapku sembari menghembuskan nafas berat.
“Kalau anak yang baru
sekolah kadang-kadnag bikin kesal, Dik. Rasanya seperti mengajari anak-anak
yang tidak tau apa-apa dan tidak mau diatur. Kadang ada yang ngiler dan
ingusnya diusap-usapin ke gurunya, main lempar, gigit, nyakar, lari-lari
semaunya sendiri dan ngajar 2 jam aja capainya minta ampun. Itu kalau anak yang
keterbelakangan mental,” ucap Bulik Esti bercerita. “Kalau anak tunarungu
umumnya kalau masih permulaan, emosi dan kemauannya susah diatur,”
“Berarti, menjadi guru SLB
itu melelahkan, ya?”
“Tapi, kalau udah mulai
dewasa, mereka sudah mulai bisa diatur dan tingkah anak-anak itu juga banyak
yang menghibur,”
“Bulik mengajar di SLB
mana?”
“SLB Mandiraja,” jawabnya.
Mataku seketika membesar mendengar jawaban dari Bulik Esti. Jarak dari Madukara
ke Mandiraja tidaklah dekat, sekitar 40 kilometer dan Bulik Esti menempuh jarak
sejauh itu setiap hari!
“Anak-anak SLB berangkat
sekolah setiap hari apa saja, Bulik?”
“Setiap hari, sama seperti
sekolah umum. Pulangnya sekitar jam sebelas sampai setengah duabelas,”
“Bulik tau tidak kisah Helen
Keller?”
“Iya, waktu bulik nonton
filmnya, bulik sampai nangis. Bulik jadi tambah salut kepada orang-orang seperti
itu. Film itu juga mengajarkan bulik banyak hal, salah satunya bersyukur. Bulik
juga tambah senang dengan anak-anak seperti itu setelah menonton film Helen
Keller,”
“Bulik,
ada apa tidak kejadian lucu yang pernah bulik alami selama mengajar di SLB?” tanyaku
penuh antusias.
“Ada.
Bulik punya murid namanya Hanif. Dia itu tunagrahita,”
“Tunagrahita
itu apa?”
“Tunagrahita
itu orang yang keterbelakangan mental, Dik,”
“Terus?
Apa yang dilakukan oleh Hanif?”
“Dulu,
waktu awal-awal bulik ngajar di SLB, tiba-tiba dia bilang ‘Bu guru wis mbojo
durung? Bu guru mbojo karo inyong wae’,”
“Hahaha… Terus? Bulik Esti jawab apa?” tanyaku
penasaran, masih dengan tawa kecil.
“Terus
bulik jawab ‘Wis duwe, Nif. Bojone bu guru 5’,”
jawab Bulik Esti. Tawaku membesar mendengar jawaban Bulik Esti. Rupanya,
anak-anak SLB memang unik-unik dan kadangkala secara tidak sengaja justru
menghibur.
“Ada
cerita yang lain?”
“Ada,
ini cerita tentang Tutut,” balas Bulik Esti. “Dia itu anak tunarungu. Wajahnya
cantik banget. Dia pintar banget menari dan modelling.
Bahkan, waktu dulu bulik mendampingi ke Solo, ada yang tidak percaya kalau dia
anak tunarungu,”
“Keren banget! Ada tidak cerita unik
tentang anak autis?” Ya, anak autis memang sering menjadi buah bibir di
kalangan masyarakat karena sering dipandang sebelah mata.
“Ada,
namanya David. Setiap hari di kelas dia nyakar gurunya sampai berdarah,” jawab
Bulik Esti.
“Ih!
Kok gitu sih?” tanyaku kaget.
“Iya,
karena itulah paling susah itu mengajar anak autis,”
“Anak-anak
di SLB pintar-pintar apa tidak?”
“Pintarnya
anak seperti itu ya terbatas, Dik. Kalau tunarungu tetap kurang kalau pelajaran
verbal sedangkan kalau itung-itungan mereka pintar. Tapi kalau sudah
berhubungan dengan bahasa mereka lambat memahaminya,”
“Bagaimana
cara mengajari anak tunarungu dan tunanetra?”
“Kalau
tuli lebih ditekankan pada bahasa bibir, kalau buta memakai huruf braile,”
balasnya. Mendengar segala
cerita Bulik Esti tentang anak-anak SLB, aku menjadi penasaran untuk bertemu
secara langsung dengan mereka. Kebetulan, di daerah dekat rumahku ada SLB yang
katanya memiliki cukup banyak murid. Sayangnya, sebelum jam 12 semua murid
biasanya sudah pulang sementara jam belajar di sekolah baru saja berakhir jam
dua atau setengah tiga siang. Ada rasa bimbang di hatiku, antara kewajiban dan
keinginan.
Kebetulan, minggu ini kelas
X dan XI memulai jam belajar jam setengah sembilan. Pagi-pagi, aku sudah bangun
dan bersiap-siap dengan seragam identitas sekolahku. Mama akan mengantarku ke
SLB pagi ini. Rasanya deg-degan dan tak sabar ingin cepat sampai dan bertemu
dengan mereka.
Sesampainya di SLB, rupanya
belum ada guru yang datang. Mama memarkirkan sepeda motornya di samping pohon
pinus sementara aku berjalan masuk dan mulai melihat-lihat bangunan-bangunan yang
ada disana. Bangunan-bangunan sederhana dan terkesan tua yang berjejer
mengelilingi lapangan inilah tempat mereka menuntut ilmu dan mempelajari banyak
hal.
Saat aku sedang
melihat-lihat dengan asyiknya, tiba-tiba seorang gadis berbaju batik dengan rok
selutut berwarna cokelat menghampiriku. Wajahnya menatapku dengan tatapan
bingung dan takut. Pada pandangan pertama, kukira dia adalah salah satu guru di
sini.
“Mbake
siapa ya?” tanya gadis itu.
“Saya Sinar Kasih Mentari
dari SMAN 1 Banjarnegara mau melihat-lihat keadaan disini,” ucapku sekenanya.
Tatapannya masih bingung dan dia masih memandangku. Dia mengulurkan tangannya
seolah mengajakku berkenalan.
“Fitri,” ucapnya.
“Kasih,” balasku seraya
menerima uluran tangannya.
“Mari, melihat-lihat dulu,”
ucapnya sambil mempersilakan aku untuk berjalan terlebih dahulu. Fitri
menjelaskan segala bangunan yang kulewati. Bangunan pertama yang kulewati
adalah deretan ruang kelas.
Ukuran ruang kelas disini
memang lebih kecil dibandingkan di sekolah umum, apalagi satu ruang kelas
dibagi dua dengan cara memberi batas dengan papan kayu yang besar di tengah
ruangan. Satu kelas mungkin hanya berisi enam sampai delapan murid.
Ruang kedua yang Fitri
kenalkan padaku adalah ruang perpustakaan dan keterampilan. Diasana, aku
melihat banyak sekali buku dan mesin jahit. Disana juga banyak lemari kaca yang
berisi alat dan bahan untuk menjahit dan membuat prakarya dengan bahan dasar
kain juga hasil-hasil kerajinan kain yang sudah jadi.
“Unik sekali ruangan ini,”
batinku. Setelah puas melihat-lihat, aku berjalan keluar dari ruang tersebut.
Sembari berjalan, Fitri terus bercerita tentang apa saja kepadaku. Guru-guru,
anak-anak, dan hal-hal unik yang pernah terjadi disini.
“Kamu mau duduk? Duduk aja
yuk! Nanti kamu kecapaian,” ucapnya. Aku hanya mengangguk lalu duduk di
sampingnya. Kini, kami berdua duduk di atas bangku kayu di depan kamar mandi
puteri. Saat aku dan Fitri sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba seorang
anak perempuan bertubuh tinggi dan berambut keriting berjalan dengan mantap di
depanku dengan tatapan takut.
“Siapa itu!?” teriaknnya
sambil masuk ke dalam salah satu ruang kelas. “Siapa itu!?” teriaknya lagi. Fitri hanya menyeringai dengan tatapan tak
enak hati kepadaku lalu mengejar gadis itu.
“Kuwe kancane dhewek,”
jawab Fitri. Gadis bertubuh jangkung itu keluar dari kelasnya namun tetap saja
tidak mau menatapku. Aku menjadi takut, tetapi aku belum mau pergi dari sini.
“Ayo kenalan!” ucap Fitri pada gadis itu. Aku berjalan menuju ke arah Fitri dan
berdiri di samping gadis berambut keriting itu. Perlahan, dia mengulurkan
tangannya.
“Fara,” ucapnya.
“Kasih,” jawabku sembari
tersenyum.
“Situ, diajak main,” ucap
Fitri.
“Yuk, main yuk!” ucap Fara
sembari berlari kecil ke arah taman belakang. “Mau main di depan atau disini?”
tanyanya padaku sambil menunjuk arah depan dan belakang secara bergantian
dengan telunjuknya.
“Terserah kamu,” balasku.
“Main disini aja yuk!”
balasnya lalu duduk di atas bangku di dekat ayunan. Aku duduk di samping
kanannya lalu Fitri duduk di samping kananku. “Sebentar lagi cowok-cowoknya
datang kok,” ucapnya riang.
“Kamu dari mana?” tanya
Fitri.
“Dari SMAN 1 Banjarnegara,”
balasku.
“Fara, dia dari SMA!” ucap
Fitri pada Fara. Fara hanya tertawa. Wajahnya terlihat sangat senang saat Fitri
mengucapkan kata ‘SMA’.
“Besok aku ke SMA, pakai
baju putih-abu-abu. Ngemben,”
ucapnya lagi sambil memainkan rambut keritingnya. Aku hanya tersenyum dan
terkadang tertawa mendengar setiap cerita yang dilontarkan olehnya. Satu per
satu murid SLB berdatangan. Beberapa diantara mereka adalah murid SDLB dan
TKLB.
“Hei! Sini main!” teriak
Fitri pada salah satu anak laki-laki berseragam kotak-kotak cokelat.
“Kalian kenal sama anak SD
dan TK disini?” tanyaku penasaran.
“Iya, disini kami semua
main-main. Disini kami berteman dengan siapa saja,” jawab Fitri. Semakin lama,
aku menjadi agak tidak paham dengan apa yang Fitri ucapkan karena dia
mengucapkan beberapa kata dengan tidak jelas. Kurasa, Fitri ini tunawicara.
“Kalau di sekolahku beda.
Yang kelas X takut sama kelas XI. Terus yang kelas XI takut sama kelas XII.
Padahal, sebenarnya mereka semua sama,” ucapku bercerita.
“Kalau disini beda, semuanya
teman,” ucap Fara. Aku terharu mendengar jawabannya. Ternyata, apa yang
diceritakan Bulik Esti padaku memang benar. Pertemanan anak-anak SLB memang
patut diacungi jempol!
“Disini cowokku banyak,”
ucap Fara bercerita. Aku yang mendengar ceritanya menjadi penasaran. “Iya,
sebenatar lagi cowok-cowokku datang,” Mungkin, yang dia maksud dengan
‘cowok-cowokku’ adalah para teman laki-lakinya.
“Kalau aku udah pernah
pacaran,” ucap Fitri. Pandanganku yang sedari tadi tertuju pada Fara kini
beralih ke arah Fitri.
“Iya, dia itu udah pernah
pacaran sama anak SLB Mandiraja,” ucap Fara.
“Kok bisa sih?” tanyaku
setengah tertawa.
“Waktu itu, dia pernah sekolah
disini. Terus aku suka sama dia. Tapi terus dia ninggalin aku gitu aja,” ucap
Fitri. “Dia maunya apa, sih?” ucapnya lagi.
“Mungkin… dia ingin
hatimuuu…,” balas Farah dengan muka konyolnya dan rambut keritingnya yang
bergoyang-goyang. Tawaku meledak mendengar celoteh Fara yang benar-benar konyol
sementara Fitri hanya tertawa kecil.
Satu per satu murid
laki-laki mulai berdatangan. Fara dan Fitri menyambut mereka dengan penuh
kegirangan. Ya, itulah salah satu hal yang tidak mungkin kutemui di sekolahku.
“Sini! Sini! Kamu aku
kenalin sama cowokku,” ucap Fara. Aku mengikuti langkahnya menuju gedung SMP
dan memperkenalkanku dengan Pak Rohman, salah satu guru disini dan beberapa
temannya.
“Ini namanya Oki dan Suya,”
ucap Fara. Aku menjabat tangan mereka satu-satu lalu memberitau mereka namaku.
“Kalau yang ini Evin,” ucap
Fitri.
“Kasih,” ucapku pada Evin
yang menatapku dengan malu-malu.
“Ih… malu-malu,” ledek
Fitri.
“Iya, itu sukanya
malu-malu!” ucap Fara dengan suaranya yang seketika bisa melengking kemudian
melangkah gontai menuju bangku lalu duduk lagi.
Fitri dan Fara
bertanya-tanya tentang teman-temanku di sekolah. Aku menceritakan segala hal
tentang teman-temanku di sekolah, termasuk kenyataan bahwa aku sering menjadi
tempat curhat bagi teman-temanku yang suka sama teman sekelas. Aku juga
menceritakan tentang beberapa temanku yang tinggal di daerah Bantarwaru
barangkali Fara dan Fitri yang tinggal di Bantarwaru mengenal mereka.
“Hei, disini ada murid yang
sukanya kejang-kejang,” ucap Fitri.
“Kok bisa?” tanyaku
penasaran setengah terkejut.
“Iya, dia itu sukanya main
HP, terus nanti kejang-kejang dan langsung dikasih obat 10 butir,” jawab Fitri.
“Memang dosisnya segitu?”
“Iya, dianya tidak boleh
kecapaian, jadi diberi obat terus. Kemarin dia juga pingsan,”
“Berarti dia anaknya
hiperaktif?”
“Iya, sukanya kesana kemari,
main-main, sukanya kalau pelajaran malah duduk-duduk disini,” ucap Fitri
menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk.
“Jalan-jalan lagi yuk!” ajak
Fara sembari beranjak dari bangku lalu melangkah ke arah lapangan diikuti
dengan langkahku dan Fitri.
“Hobi kamu apa?” tanya Fara.
“Kalau aku suka nyanyi. Aku bisa nyanyi,”
“Kalau aku tidak bisa
nyanyi,” jawabku. Fara hanya menatapku bingung. “Aku suka menulis. Aku ingin
menceritakan tentang kalian ditulisanku,” jelasku.
“Boleh kok, boleh,” jawab
Fitri sambil memandangku dengan tatapan bingung. Ya, mungkin menulis bukanlah
hal yang biasa bagi mereka.
“Kalian sering main di lapangan itu?” tanyaku
sambil menunjuk ke arah lapangan yang cukup luas dengan dua tiang ring yang
tidak terlalu tinggi di kedua sisinya.
“Kalau main disini sering,
sering banget main disini,” jawab Fara sambil melipat kedua tangannya. Ya,
mereka memang suka sekali mengulangi ucapan mereka dengan susunan yang berbeda.
Saat melewati kelas mereka, Fitri dan Fara mengajakku untuk masuk.
“Sini masuk,” ucap Fitri lalu
memberitau nama-nama murid yang sekelas dengannya kepadaku lengkap dengan letak
tempat duduknya. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil sesekali memasang
tampang bingung karena kadang-kadang mereka tertawa terbahak-bahak tanpa aku
tau hal lucu apa yang mereka tertawakan.
Setelah puas melihat-lihat
isi kelas mereka lengkap dengan karya-karya mereka yang ditempel di papan kayu,
aku, Fara, dan Fitri duduk di koridor depan kelas. “Nanti kamu aku kenalkan
dengan Laili. Sebentar lagi dia datang kok,” ucap Fara. Benar saja! Seorang
gadis berkerudung cokelat dan bertubuh gemuk datang dengan wajah yang ramah.
“Laili, ini Kasih, anak
baru!” ucap Fitri senang. Apa? Anak baru? Aku tidak salah dengar, kan? Ya
Allah, apa harus menjelaskan kepada
mereka bahwa aku kesini hanya untuk melihat-lihat? Tapi, bagaimana kalau mereka
sampai kecewa?
“Laili,” ucap Laili
memperkenalkan diri.
“Kasih,” balasku.
“Sini, kamu duduk aja, nanti
kamu kecapaian,” ucap Fitri mengajakku duduk bersamanya lagi. Aku duduk
diantara Fitri dan Fara. Setiap ada murid yang memasuki gerbang sekolah, dengan
cekatan Fitri dan Fara menceritakan segala yang mereka tau tentang murid itu.
Sungguh, mereka benar-benar akrab satu sama lain!
“Kamu mau aku kenalin dengan
Evin?” tanya Fitri.
“Aku udah kenal dengan
Evin,” ucapku.
“Bukan Evin yang itu! Tapi
Evin kelasnya aku. Yang tadi itu Evin kelas sebelah,” ucap Fitri menerangkan.
“Mau?” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Fitri berlari menuju ke arah
depan kantor dan menyeret seorang murid laki-laki berperawakan tinggi besar
sambil tertawa. Aku yang melihatnya pun ikut tertawa.
“Ini nih yang namanya Evin,”
ucap Fitri. Aku mengulurkan tangan kananku ke arah Evin namun dia hanya diam.
“Kok diam saja?”
“Evin,” jawabnya sambil
menerima uluran tanganku lalu berlari menuju kelas. Evin Kelas Sebelah muncul
dari gedung sebelah lalu bergabung bersama kami. Dia masih saja menatapku
dengan malu-malu, tetapi kubiarkan saja.
Aku melihat ke arah jam
tanganku. Waktu hampir menunjukkan pukul delapan. “Fitri, antarkan aku ke
kantor yuk!” pintaku.
“Yuk!” balasnya. Sesampainya
di depan kantor, aku mulai mencari kepala sekolah SLB yang ternyata belum
hadir. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang.
“Fitri, aku pamit dulu ya.
Aku senang banget bisa mengenal kalian,” ucapku sambil menggenggam kedua
tangannya dan menatap kedua matanya. “Maaf kalau dalam berbicara aku kadang
menyakiti hati kalian,”
“Tidak kok,” balasnya.
“Salam untuk semua, ya,” ucapku
sambil berlari menuju ke tempat parkir untuk menemui Mamaku. Setelah aku duduk
diatas jok motor, Mama mulai menjalankan motor menuju ke arah sekolah.
“Dadah…,” ucap Laili, Fara,
dan Fitri dari depan sekolah sembari melambaikan tangan. Aku membalas lambaian
tangan mereka dengan butiran air mata di ujung kelopak mataku. Ya, mereka
mengajariku banyak hal tentang persahabatan dan pertemanan yang mungkin tidak
akan kuketahui seandainya aku tidak bertemu mereka…