Minggu, 06 Juli 2014

Menjawab Tantangan #DramatisasiPolitik dari @KampusFiksi

Oke, setelah sekian lama akhirnya buka blog lagi karena tantangan #DramatisasiPolitik dari @KampusFiksi :) Untuk kakak-kakak dari Kampus Fiksi dan pengunjung blog tercinta, selamat membaca, selamat menilai, dan selamat mengomentari :)

Nilai Suara Gilang

            Debat pamungkas capres cawapres malam kemarin membuat Gilang terdiam dengan tatapan kosong menatap layar televisi kubus yang sudah jadul dan usang. Ia memikirkan sesuatu, namun bukan memikirkan siapa yang pantas ia pilih atau pilihan yang memaksanya untuk golput, melainkan teringat dengan cerita Ibu dan Ayahnya yang sudah meninggal dengan terhormat, yaitu cerita perjuangan mereka membesarkan Gilang yang baru lahir di tengah krisis moneter. Meninggal dengan terhormat, itu pendapat pribadi Gilang. “Ayahku meninggal saat sedang mencari nafkah. Saat itu ia mendapati Peristiwa Trisakti dan terkena peluru nyasar,” ujarnya tanpa rasa malu saat ditanya teman-temannya yang justru semakin mengolok-olok dirinya di belakang.
Hati Gilang bergejolak. Ia tidak ingin membuat pilihan yang salah. Meski ia tidak sempat mencicipi seragam putih abu-abu terlebih jas almamater universitas, ia sangat mengerti segala seluk beluk kisah hidup para capres cawapres yang wajahnya semakin banyak terpampang di sepanjang jalan. Tentu saja, siaran berita sepanjang hari dan koran-koran bekas sumbangan para tetangganya selalu menghiasi hari-harinya. Setelah acara debat capres cawapres selesai, Gilang beranjak dari tikar anyaman yang tergelar di depan televisi kemudian terlintas sebuah pertanyaan di benaknya, “Bagaimana jika pilihanku membuatku dan Ibu merasakan krisis moneter untuk yang kedua kali?”
Rasa kecewa dan sedih membuatku lemas. Aku tidak tega menunjukan surat PHK yang kini ada dalam genggamanku kepada istriku tercinta yang masih terselubung suasana bahagia dengan kelahiran buah hati pertama kami setelah lima tahun menjalani hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Aku merasa sangat bersalah telah mengajaknya mencari nasib yang lebih baik di Jakarta setelah kami menikah.
“Assalamualaikum,” Dengan wajah manisnya khas orang jawa, istriku menyambut kedatanganku dengan begitu ramah. Ia langsung mencium punggung tanganku. “Bagaimana dengan Gilang? Apakah ia rewel seharian?”
“Tidak, Mas. Gilang tidur dari tadi,” jawab istriku. Ia langsung menyuguhiku segelas air mineral segar dan sepiring singkong goreng, dua menu yang selalu dihidangkan istriku saat aku pulang. “Silahkan, Mas.” Aku hanya menyeruput sedikit air mineral itu. Aku tidak selera untuk memakan singkong goreng yang begitu menggoda mengingat musibah yang baru menimpa keluargaku. “Mas, sebenarnya ada apa? Apa ada masalah di pabrik?”
“Sebenarnya, aku baru saja di-PHK, Dik,” jawabku tidak tega. Untuk menunjukan surat PHK-ku saja aku tidak tega, apalagi jika harus mengatakannya secara langsung? “Maafkan aku, Dik. Sekarang semua barang harganya naik karena krisis moneter, dan aku justru di-PHK.” Istriku yang manis itu tidak menjawab, hanya mengulum senyum kemudian menghembuskan nafas berat. Ya, kondisi ini memang sangat memperihatinkan bagi kami yang harus membesarkan anak yang kini ada dalam pelukan istriku yang semakin terliha kecewa.
“Tidak apa-apa, Mas,” jawabnya. “Ini semua bukan salahmu. Kita serahkan saja semua ini kepada Allah. Selama masa krisis ini, kita harus mencari jalan lain untuk mencari uang. Mungkin, kita masih bisa berjualan es. Aku akan membuatnya setiap sore dan menitipkannya ke Bu Nuri. Setiap pagi, kamu bisa memintanya lagi. Aku yakin, Bu Nuri pasti mau membantu. Bagaimana?”
“Mau bagaimana lagi. Kita memang harus melakukannya. Demi anak kita tercinta,” jawabku dengan senyum yang kupaksakan agar terlihat seperti senyum bahagia. Istriku itu akhirnya tersenyum juga. Terlintas sedikit rasa lega dalam benakku sebagai kepala keluarga yang memegang tanggung jawab terbesar dalam keluarga.
Semakin lama, semakin banyak masyarakat yang merasakan dampak dari krisis moneter, termasuk pula para pengusaha yang terpaksa harus menutup perusahaannya karena terlilit utang. Sementara itu, aku dan istriku terus berjuang memerangi krisis itu. Jujur, aku sangat terharu melihat perjuangan istriku, disamping mengurus Gilang yang tumbuh semakin besar dan sudah memasuki umur lima bulan juga menyiapkan barang dagangan.
Dampak krisis moneter semakin terasa bagi keluargaku. Terlebih saat istriku dengan wajah khawatir memberitauku bahwa ASI-nya sudah tidak keluar. “Bagaimana, Mas? Gilang harus tetap minum susu, Mas. Bagaimanapun juga!” desak istriku sambil berusaha menenangkan Gilang yang nangis dalam pelukan hangatnya. “Mas, Bu Nuri juga tidak mau membantu kita lagi. Bu Nuri meminta bayaran yang begitu besar seandainya kita ingin meminta bantuannya.”
“Tenang saja, Dik. Aku akan mencari pekerjaan lain. Aku janji, Gilang akan minum susu,” hiburku sambil tersenyum. “Besok aku akan mulai mencari pekerjaan baru. Ya?” Istriku hanya mengangguk. Aku merasa beban hidupku semakin bertambah saat itu juga. Terlebih setelah satu minggu kemudian dan aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Ya, seharusnya kusadari dari awal bahwa krisis ini juga berpengaruh pada kesempatanku mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
“Jon, kamu sedang mencari pekerjaan, kan?” tanya Momon, salah satu sahabat seperjuanganku di kota metropolitan yang kini memiliki usaha warung bakso. “Gimana... kalau kamu ikut jualan bakso? Akan tetapi... jualannya pakai gerobak. Dengan begitu, akan semakin banyak pembelinya.”
“Boleh! Boleh! Apapaun itu asal halal, aku mau!” sahutku bersemangat. Kabar gembira ini memunculkan kembali senyum yang merekah dan tawa bahagia istriku yang sudah lama tidak kujumpai. Mengingat keluargaku, aku semakin bersemangat untuk bekerja hingga aku bisa membeli susu setiap hari untuk Gilang.
Rupanya, krisis moneter membuat sebagian para masyarakat menjadi menderita. Sebagian tetanggaku pun merasakannya. Bahkan mereka sampai mengira keluargaku mencuri saat mengetahui  Gilang masih bisa minum susu di tengah krisis yang menyengsarakan.
12 Mei 1998
Seperti biasa, aku keliling kota Jakarta menjajakan bakso. Kebetulan, saat itu aku melintas di depan gedung DPR/MPR dan melihat demonstrasi besar-besaran yang begitu mengerikan yang menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya karena menganggap kepemimpinan beliau yang menyebabkan kesengsaraan ini. Polisis bersenjata dimana-mana, begitu pula para mahasiswa Universitas Trisakti yang tergeletak lemas karena terluka. Bahkan beberapa diantara mereka sampai ada yang tewas. Dengan cepat aku memutar gerobak dan menjauh dari pusat keramaian. Sayangnya, sebuah ujung peluru dengan kasarnya menyentuh kulitku kemudian menerobos paksa tulang bajiku. Beberapa orang buru-buru berusaha menyelamatkanku dari maut. Namun, apalah arti usaha mereka jika Tuhan berkehendak bahwa aku harus menghadap-Nya?
“Kamu kenapa, Gilang?” tanya Ibu lembut. Gilang duduk di samping Ibunya kemudian menatap beliau. “Kenapa, sih? Kamu bingung mau milih siapa dalam pemilu?” Gilang mengangguk pelan kemudian Ibu tersenyum. “Ikutilah kata hatimu. Jangan takut pilihanmu salah. Ibu juga awalnya takut memilih. Akan tetapi, coba bayangkan. Seandainya suara kita berdua bisa memenangkan calon yang benar namun kita justru golput, bukankah kita lebih bersalah karena calon yang salah menang?” Lagi-lagi Gilang hanya mengangguk. “Manusia tidak ada yang sempurna, Gilang. Jadi, jangan ragu untuk memilih, ya?” Kali ini anggukan Gilang diiringi dengan senyuman. 

999 kata, ditambah 3 kata dari judul, inilah persembahanku untuk #DramatisasiPolitik :)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar