Nilai Suara Gilang
Debat pamungkas capres cawapres malam
kemarin membuat Gilang terdiam dengan tatapan kosong menatap layar televisi
kubus yang sudah jadul dan usang. Ia memikirkan sesuatu, namun bukan memikirkan
siapa yang pantas ia pilih atau pilihan yang memaksanya untuk golput, melainkan
teringat dengan cerita Ibu dan Ayahnya yang sudah meninggal dengan terhormat,
yaitu cerita perjuangan mereka membesarkan Gilang yang baru lahir di tengah
krisis moneter. Meninggal dengan terhormat, itu pendapat pribadi Gilang. “Ayahku
meninggal saat sedang mencari nafkah. Saat itu ia mendapati Peristiwa Trisakti
dan terkena peluru nyasar,” ujarnya tanpa rasa malu saat ditanya teman-temannya
yang justru semakin mengolok-olok dirinya di belakang.
Hati Gilang bergejolak. Ia tidak
ingin membuat pilihan yang salah. Meski ia tidak sempat mencicipi seragam putih
abu-abu terlebih jas almamater universitas, ia sangat mengerti segala seluk beluk
kisah hidup para capres cawapres yang wajahnya semakin banyak terpampang di
sepanjang jalan. Tentu saja, siaran berita sepanjang hari dan koran-koran bekas
sumbangan para tetangganya selalu menghiasi hari-harinya. Setelah acara debat
capres cawapres selesai, Gilang beranjak dari tikar anyaman yang tergelar di
depan televisi kemudian terlintas sebuah pertanyaan di benaknya, “Bagaimana
jika pilihanku membuatku dan Ibu merasakan krisis moneter untuk yang kedua
kali?”
Rasa
kecewa dan sedih membuatku lemas. Aku tidak tega menunjukan surat PHK yang kini
ada dalam genggamanku kepada istriku tercinta yang masih terselubung suasana
bahagia dengan kelahiran buah hati pertama kami setelah lima tahun menjalani
hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Aku merasa sangat bersalah telah
mengajaknya mencari nasib yang lebih baik di Jakarta setelah kami menikah.
“Assalamualaikum,”
Dengan wajah manisnya khas orang jawa, istriku menyambut kedatanganku dengan
begitu ramah. Ia langsung mencium punggung tanganku. “Bagaimana dengan Gilang?
Apakah ia rewel seharian?”
“Tidak,
Mas. Gilang tidur dari tadi,” jawab istriku. Ia langsung menyuguhiku segelas
air mineral segar dan sepiring singkong goreng, dua menu yang selalu
dihidangkan istriku saat aku pulang. “Silahkan, Mas.” Aku hanya menyeruput
sedikit air mineral itu. Aku tidak selera untuk memakan singkong goreng yang
begitu menggoda mengingat musibah yang baru menimpa keluargaku. “Mas,
sebenarnya ada apa? Apa ada masalah di pabrik?”
“Sebenarnya,
aku baru saja di-PHK, Dik,” jawabku tidak tega. Untuk menunjukan surat PHK-ku
saja aku tidak tega, apalagi jika harus mengatakannya secara langsung? “Maafkan
aku, Dik. Sekarang semua barang harganya naik karena krisis moneter, dan aku
justru di-PHK.” Istriku yang manis itu tidak menjawab, hanya mengulum senyum
kemudian menghembuskan nafas berat. Ya, kondisi ini memang sangat
memperihatinkan bagi kami yang harus membesarkan anak yang kini ada dalam
pelukan istriku yang semakin terliha kecewa.
“Tidak
apa-apa, Mas,” jawabnya. “Ini semua bukan salahmu. Kita serahkan saja semua ini
kepada Allah. Selama masa krisis ini, kita harus mencari jalan lain untuk
mencari uang. Mungkin, kita masih bisa berjualan es. Aku akan membuatnya setiap
sore dan menitipkannya ke Bu Nuri. Setiap pagi, kamu bisa memintanya lagi. Aku
yakin, Bu Nuri pasti mau membantu. Bagaimana?”
“Mau
bagaimana lagi. Kita memang harus melakukannya. Demi anak kita tercinta,”
jawabku dengan senyum yang kupaksakan agar terlihat seperti senyum bahagia. Istriku
itu akhirnya tersenyum juga. Terlintas sedikit rasa lega dalam benakku sebagai
kepala keluarga yang memegang tanggung jawab terbesar dalam keluarga.
Semakin
lama, semakin banyak masyarakat yang merasakan dampak dari krisis moneter,
termasuk pula para pengusaha yang terpaksa harus menutup perusahaannya karena
terlilit utang. Sementara itu, aku dan istriku terus berjuang memerangi krisis
itu. Jujur, aku sangat terharu melihat perjuangan istriku, disamping mengurus
Gilang yang tumbuh semakin besar dan sudah memasuki umur lima bulan juga
menyiapkan barang dagangan.
Dampak
krisis moneter semakin terasa bagi keluargaku. Terlebih saat istriku dengan
wajah khawatir memberitauku bahwa ASI-nya sudah tidak keluar. “Bagaimana, Mas?
Gilang harus tetap minum susu, Mas. Bagaimanapun juga!” desak istriku sambil
berusaha menenangkan Gilang yang nangis dalam pelukan hangatnya. “Mas, Bu Nuri
juga tidak mau membantu kita lagi. Bu Nuri meminta bayaran yang begitu besar
seandainya kita ingin meminta bantuannya.”
“Tenang
saja, Dik. Aku akan mencari pekerjaan lain. Aku janji, Gilang akan minum susu,”
hiburku sambil tersenyum. “Besok aku akan mulai mencari pekerjaan baru. Ya?” Istriku
hanya mengangguk. Aku merasa beban hidupku semakin bertambah saat itu juga.
Terlebih setelah satu minggu kemudian dan aku belum juga mendapatkan pekerjaan.
Ya, seharusnya kusadari dari awal bahwa krisis ini juga berpengaruh pada
kesempatanku mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
“Jon,
kamu sedang mencari pekerjaan, kan?” tanya Momon, salah satu sahabat
seperjuanganku di kota metropolitan yang kini memiliki usaha warung bakso.
“Gimana... kalau kamu ikut jualan bakso? Akan tetapi... jualannya pakai
gerobak. Dengan begitu, akan semakin banyak pembelinya.”
“Boleh!
Boleh! Apapaun itu asal halal, aku mau!” sahutku bersemangat. Kabar gembira ini
memunculkan kembali senyum yang merekah dan tawa bahagia istriku yang sudah
lama tidak kujumpai. Mengingat keluargaku, aku semakin bersemangat untuk
bekerja hingga aku bisa membeli susu setiap hari untuk Gilang.
Rupanya,
krisis moneter membuat sebagian para masyarakat menjadi menderita. Sebagian
tetanggaku pun merasakannya. Bahkan mereka sampai mengira keluargaku mencuri
saat mengetahui Gilang masih bisa minum
susu di tengah krisis yang menyengsarakan.
12
Mei 1998
Seperti biasa, aku keliling kota
Jakarta menjajakan bakso. Kebetulan, saat itu aku melintas di depan gedung
DPR/MPR dan melihat demonstrasi besar-besaran yang begitu mengerikan yang
menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya karena menganggap
kepemimpinan beliau yang menyebabkan kesengsaraan ini. Polisis bersenjata
dimana-mana, begitu pula para mahasiswa Universitas Trisakti yang tergeletak
lemas karena terluka. Bahkan beberapa diantara mereka sampai ada yang tewas. Dengan
cepat aku memutar gerobak dan menjauh dari pusat keramaian. Sayangnya, sebuah
ujung peluru dengan kasarnya menyentuh kulitku kemudian menerobos paksa tulang
bajiku. Beberapa orang buru-buru berusaha menyelamatkanku dari maut. Namun,
apalah arti usaha mereka jika Tuhan berkehendak bahwa aku harus menghadap-Nya?
“Kamu
kenapa, Gilang?” tanya Ibu lembut. Gilang duduk di samping Ibunya kemudian
menatap beliau. “Kenapa, sih? Kamu bingung mau milih siapa dalam pemilu?”
Gilang mengangguk pelan kemudian Ibu tersenyum. “Ikutilah kata hatimu. Jangan
takut pilihanmu salah. Ibu juga awalnya takut memilih. Akan tetapi, coba
bayangkan. Seandainya suara kita berdua bisa memenangkan calon yang benar namun
kita justru golput, bukankah kita lebih bersalah karena calon yang salah
menang?” Lagi-lagi Gilang hanya mengangguk. “Manusia tidak ada yang sempurna,
Gilang. Jadi, jangan ragu untuk memilih, ya?” Kali ini anggukan Gilang diiringi
dengan senyuman.
999 kata, ditambah 3 kata dari judul, inilah persembahanku untuk #DramatisasiPolitik :)
0 komentar:
Posting Komentar