Tidak
terasa kini sudah memasuki pertengahan bulan Ramadhan. Lima belas hari atau
tiga minggu kurang enam hari lagi semua umat muslim di Indonesia akan bersuka
cita merayakan kemenangan. Sambil kipasan, Pak Hedi duduk di kursi rotan depan
rumah dengan wajah sumringah. Setiap orang yang lewat di depan rumahnya selalu
disapa dengan ramah. Tentu saja, karena kini istrinya sedang mengandung anak
pertama mereka. “Pak Hedi tidak bekerja hari ini?” tanya Pak Budi yang hendak
pergi bekerja sambil menurunkan standar motornya. Ya, berangkat kerja. Itu
sudah pasti. Terlihat dari rambut cepaknya yang disempong dan terlihat begitu
klimis dan mengkilap, kemeja putih kusam tanpa kerutan sedikitpun, celana hitam
yang terlihat begitu licin, dan tas kerja cokelatnya yang sudah usang namun
terlihat begitu berarti. Pak Hedi beranjak dari kursi rotan lalu menghampiri
Pak Budi.
“Sebenarnya,
sih aku mau berangkat kerja. Akan tetapi, ibu mertuaku minta aku ambil cuti
soalnya istriku lagi hamil,” jawab Pak Hedi sambil terus kipasan.
“Ohh...
selamat ya. Omong-omong, sudah berapa bulan nih?” tanya Pak Budi antusias.
“Sudah
hampir tiga bulan. Doakan saja ya semoga semuanya lancar,” ujar Pak Hedi. “Pak
Budi ini mau kerja, kan ya?” Pak Budi mengangguk bangga kemudian teringat bahwa
tidak sepantasnya ia berada disini mengingat beberapa menit lagi ia sudah harus
sampai di tempat kerja.
“Oh
iya iya. Aku berangkat dulu, ya. Malah keasyikan ngobrol disini,” Setelah
pamitan, Pak Budi melajukan motornya sambil melambaikan tangan rendah kepada
Pak Hedi. Meski masih pagi, cuaca terasa cukup panas bagi Pak Hedi yang terus
kipasan dengan kipas sate yang sudah gosong di bagian sampingnya.
“Hedi!
Hedi! Hedi!” Pak Hedi yang sedang adem ayem kipasan sambil duduk-duduk di atas
kursi rotan tiba-tiba beranjak cepat dengan jantung yang berdetak begitu cepat
karena kaget. “Hedi! Hedi!”
“Ada
apa, Bu?” Ibu mertua Pak Hedi terlihat begitu cemas sambil terus meremas-remas
sehelai kain serbet dengan kedua tangan keriputnya yang bergetar. “Kenapa ibu
terlihat khawatir?”
“Hedi,
coba kamu lihat keadaan Sinta sekarang! Cepat!” Dengan perasaan gugup setengah
khawatir, Pak Hedi buru-buru masuk ke dalam kamar Sinta. Terlihat Sinta
terbaring dengan kedua mata yang kelelahan dan wajah yang pucat. Meksi begitu,
Sinta masih bisa tersenyum saat mengetahui kedatangan suaminya.
“Apa
yang terjadi, Sinta? Apa yang terjadi?” tanya Pak Hedi sambil duduk di sisi
samping ranjang lalu membelai pelan rambut Sinta. Sinta mengembangkan senyumannya
kemudian mengelus rahimnya yang membesar dengan sebelah telapak tangannya.
“Apakah ada yang terjadi dengan bayi kita?”
“Kang...”
ujar Sinta lirih.
“Iya,
ada apa?” tanya Pak Hedi lembut sambil terus mengelus rambut Sinta.
“Aku
kepengen rujak nih, Kang,” jawab Sinta sambil mengedipkan matanya genit.
“Rujak?”
Kening Pak Hedi berkerut hebat mendengar permintaan istri kesayangannya.
“Iya,
Kang. Aku kepengen rujak yang dijual Mang Jono di Pasar Ciamplas yang biasa aku
beli. Tolong belikan, ya Kang?” pinta Sinta manja.
“Aduh... Sinta ngidam
nih!” batin Pak Hedi bingung. “Mana ada puasa-puasa begini orang jualan rujak? Lagian, aku kan tidak
tau penjual rujak bernama Mang Jono yang biasa jualan di Pasar Ciamplas.”
“Kang
Hedi bisa belikan rujak untuk aku, kan?” tanya Sinta.
“Aduh...
Kalau siang-siang begini kan tidak ada yang jualan rujak, Dik. Memangnya Dik
Sinta maunya sekarang, ya?” ujar Pak Hedi balik bertanya.
“Yang
kepengen rujak itu bukan Sinta, tapi bayi kita, Kang,” jawab Sinta sambil
menggerakan bola matanya ke arah rahimnya.
“Hedi,”
Pak Hedi menoleh cepat ke belakang dan tampak ibu mertua berdiri di ambang
pintu, masih dengan sehelai kain serbet yang terlihat begitu kusut dalam
genggajman erat kedua tangannya. “Cobalah, kamu cari dulu di Pasar Ciamplas.
Siapa tau Mang Jono jual. Namanya ngidam kan gitu, Di. Tidak bisa ditawar.”
“Iya,
Bu,” jawab Pak Hedi. “Sinta, aku cari dulu ya rujaknya. Kamu tunggu sebentar.
Aku pasti dapat rujak untuk bayi kita.”
“Akan
tetapi, aku tidak mau sembarang rujak. Aku maunya rujak Mang Jono yang dijual
di Pasar Ciamplas,” tambah Sinta. Pak Hedi mengangguk kemudian mengecup kening
Sinta penuh kasih sayang dan melangkah pelan keluar kamar.
“Hedi,”
panggil ibu mertua. “Kamu harus menuruti permintaan Sinta. Permintaan istri
yang hamil itu harus dituruti lho!”
“Iya,
Bu,” balas Pak Hedi sambil mengangguk kemudian pamit untuk pergi. Setelah
mengambil helm hitam usangnya yang sudah kehilangan kacanya itu dari dalam
lemari kayu, Pak Hedi langsung melesat menuju Pasar Ciamplas yang letaknya cukup
jauh dari rumah. Saat sedang seriusnya menjajah setiap tempat di sekitar Pasar
Ciamplas yang ia lewati, tiba-tiba... “Aduh... bensinnya hampir habis, nih!
Mampir ke SPBU dulu aja deh!” Pak Hedi merasa begitu shock saat melihat antrian yang begitu panjang di SPBU. Terlebih
saat mengetahui bahwa hari semakin siang. Setelah menunggu selama lima belas
menit, akhirnya tiba gilian Pak Hedi untuk isi bensin. Setelah itu, Pak Hedi
langsung melanjutkan perjalanan mengingat Sinta yang pasti menunggu dengan rasa
tidak sabaran di rumah.
Seperti
dugaan Pak Hedi, tidak terlihat barang satu gerobak rujak pun di sekitar Pasar
Ciamplas. Setiap pedagang pakaian di sekitar Pasar Ciamplas yang ditanyai oleh
Pak Hedi tentang penjual rujak justru tertawa sambil menyindir. “Mencari
penjual rujak di sekitar Pasar Ciamplas saja susahnya setengah mati. Apalagi
kalau harus penjual rujak bernama Mang Jono.” Karena lelah berkeliling kesana
kemari di bawah terik matahari, Pak Hedi memutuskan untuk mampir dulu ke rumah
temannya yang dekat dengan Pasar Ciamplas.
“Hei,
Hedi!” sambut Pak Mar dengan wajah ramah sambil memeluk Pak Hedi. “Kamu
terlihat kelelahan. Bukankah seharusnya kamu bekerja?”
“Aku
ngambil cuti untuk mendampingi istriku yang sedang hamil,” jawab Pak Hedi.
“Kamu lihat penjual rujak apa tidak?”
“Mana
ada penjual rujak puasa-puasa begini. Kamu ini ada-ada saja,” jawab Pak Mar
tertawa lepas.
“Istriku
ngidam rujak, nih. Sudah kucari dimana-mana tapi tidak ada,” keluh Pak Hedi.
“Apalagi, istriku hanya mau rujak Mang Jono yang biasa jualan di Pasar
Ciamplas.”
“Istrimu
itu... Sinta, kan?” Pak Hedi mengangguk. “Sebentar, aku masuk ke dalam dulu ya?”
Pak Hedi cukup lama menunggu Pak Mar. Setelah beberapa menit, Pak Mar muncul
dengan kresek hitam kecil yang ia sodorkan ke arah Pak Hedi.
“Apa
ini?” tanya Pak Hedi heran.
“Rujak.
Istrimu ngidam rujak, kan? Nih!”
“Akan
tetapi, istriku itu hanya mau rujaknya Mang Jono. Takutnya kalau rujak dari
orang lain, dia tidak mau,” keluh Pak Hedi.
“Lah
aku ini Mang Jono,” Kening Pak Hedi seketika berkerut. “Namaku itu, kan
Marjono. Biasanya orang-orang manggil aku Mar, tapi kalau jualan rujak namaku
itu Mang Jono. Sinta biasanya ya beli rujak di aku.”
“Oh...
Jadi kamu itu Mang Jono yang biasa jualan di Pasar Ciamplas?”
“Iya,”
jawab Pak Mar.
“Tau
gitu sih aku langsung saja kesini, tidak usah keliling Pasar Ciamplas sambil
tanya ke orang-orang. Malah ditertawakan deh!” ujar Pak Hedi sambil menerima
rujak pemberian Pak Mar. “Terima kasih banyak ya.”
“Berkorban
sedikit lah... Namanya juga untuk bayi pertama,” balas Pak Mar. “Cepat berikan
ke Sinta. Dia pasti sudah tidar sabar.”
“Iya...
iya... Mang Jono... Mang Jono...”
1108 kata ditambah 4 kata dari judul, ini persembahanku untuk tantangan #EkspresiPuasa :)
0 komentar:
Posting Komentar