Minggu, 13 Juli 2014

Rujak Ciamplas Mang Jono

Tidak terasa kini sudah memasuki pertengahan bulan Ramadhan. Lima belas hari atau tiga minggu kurang enam hari lagi semua umat muslim di Indonesia akan bersuka cita merayakan kemenangan. Sambil kipasan, Pak Hedi duduk di kursi rotan depan rumah dengan wajah sumringah. Setiap orang yang lewat di depan rumahnya selalu disapa dengan ramah. Tentu saja, karena kini istrinya sedang mengandung anak pertama mereka. “Pak Hedi tidak bekerja hari ini?” tanya Pak Budi yang hendak pergi bekerja sambil menurunkan standar motornya. Ya, berangkat kerja. Itu sudah pasti. Terlihat dari rambut cepaknya yang disempong dan terlihat begitu klimis dan mengkilap, kemeja putih kusam tanpa kerutan sedikitpun, celana hitam yang terlihat begitu licin, dan tas kerja cokelatnya yang sudah usang namun terlihat begitu berarti. Pak Hedi beranjak dari kursi rotan lalu menghampiri Pak Budi.
“Sebenarnya, sih aku mau berangkat kerja. Akan tetapi, ibu mertuaku minta aku ambil cuti soalnya istriku lagi hamil,” jawab Pak Hedi sambil terus kipasan.
“Ohh... selamat ya. Omong-omong, sudah berapa bulan nih?” tanya Pak Budi antusias.
“Sudah hampir tiga bulan. Doakan saja ya semoga semuanya lancar,” ujar Pak Hedi. “Pak Budi ini mau kerja, kan ya?” Pak Budi mengangguk bangga kemudian teringat bahwa tidak sepantasnya ia berada disini mengingat beberapa menit lagi ia sudah harus sampai di tempat kerja.
“Oh iya iya. Aku berangkat dulu, ya. Malah keasyikan ngobrol disini,” Setelah pamitan, Pak Budi melajukan motornya sambil melambaikan tangan rendah kepada Pak Hedi. Meski masih pagi, cuaca terasa cukup panas bagi Pak Hedi yang terus kipasan dengan kipas sate yang sudah gosong di bagian sampingnya.
“Hedi! Hedi! Hedi!” Pak Hedi yang sedang adem ayem kipasan sambil duduk-duduk di atas kursi rotan tiba-tiba beranjak cepat dengan jantung yang berdetak begitu cepat karena kaget. “Hedi! Hedi!”
“Ada apa, Bu?” Ibu mertua Pak Hedi terlihat begitu cemas sambil terus meremas-remas sehelai kain serbet dengan kedua tangan keriputnya yang bergetar. “Kenapa ibu terlihat khawatir?”
“Hedi, coba kamu lihat keadaan Sinta sekarang! Cepat!” Dengan perasaan gugup setengah khawatir, Pak Hedi buru-buru masuk ke dalam kamar Sinta. Terlihat Sinta terbaring dengan kedua mata yang kelelahan dan wajah yang pucat. Meksi begitu, Sinta masih bisa tersenyum saat mengetahui kedatangan suaminya.
“Apa yang terjadi, Sinta? Apa yang terjadi?” tanya Pak Hedi sambil duduk di sisi samping ranjang lalu membelai pelan rambut Sinta. Sinta mengembangkan senyumannya kemudian mengelus rahimnya yang membesar dengan sebelah telapak tangannya. “Apakah ada yang terjadi dengan bayi kita?”
“Kang...” ujar Sinta lirih.
“Iya, ada apa?” tanya Pak Hedi lembut sambil terus mengelus rambut Sinta.
“Aku kepengen rujak nih, Kang,” jawab Sinta sambil mengedipkan matanya genit.
“Rujak?” Kening Pak Hedi berkerut hebat mendengar permintaan istri kesayangannya.
“Iya, Kang. Aku kepengen rujak yang dijual Mang Jono di Pasar Ciamplas yang biasa aku beli. Tolong belikan, ya Kang?” pinta Sinta manja.
“Aduh... Sinta ngidam nih!” batin Pak Hedi bingung. “Mana ada puasa-puasa begini orang jualan rujak? Lagian, aku kan tidak tau penjual rujak bernama Mang Jono yang biasa jualan di Pasar Ciamplas.”
“Kang Hedi bisa belikan rujak untuk aku, kan?” tanya Sinta.
“Aduh... Kalau siang-siang begini kan tidak ada yang jualan rujak, Dik. Memangnya Dik Sinta maunya sekarang, ya?” ujar Pak Hedi balik bertanya.
“Yang kepengen rujak itu bukan Sinta, tapi bayi kita, Kang,” jawab Sinta sambil menggerakan bola matanya ke arah rahimnya.
“Hedi,” Pak Hedi menoleh cepat ke belakang dan tampak ibu mertua berdiri di ambang pintu, masih dengan sehelai kain serbet yang terlihat begitu kusut dalam genggajman erat kedua tangannya. “Cobalah, kamu cari dulu di Pasar Ciamplas. Siapa tau Mang Jono jual. Namanya ngidam kan gitu, Di. Tidak bisa ditawar.”
“Iya, Bu,” jawab Pak Hedi. “Sinta, aku cari dulu ya rujaknya. Kamu tunggu sebentar. Aku pasti dapat rujak untuk bayi kita.”
“Akan tetapi, aku tidak mau sembarang rujak. Aku maunya rujak Mang Jono yang dijual di Pasar Ciamplas,” tambah Sinta. Pak Hedi mengangguk kemudian mengecup kening Sinta penuh kasih sayang dan melangkah pelan keluar kamar.
“Hedi,” panggil ibu mertua. “Kamu harus menuruti permintaan Sinta. Permintaan istri yang hamil itu harus dituruti lho!”
“Iya, Bu,” balas Pak Hedi sambil mengangguk kemudian pamit untuk pergi. Setelah mengambil helm hitam usangnya yang sudah kehilangan kacanya itu dari dalam lemari kayu, Pak Hedi langsung melesat menuju Pasar Ciamplas yang letaknya cukup jauh dari rumah. Saat sedang seriusnya menjajah setiap tempat di sekitar Pasar Ciamplas yang ia lewati, tiba-tiba... “Aduh... bensinnya hampir habis, nih! Mampir ke SPBU dulu aja deh!” Pak Hedi merasa begitu shock saat melihat antrian yang begitu panjang di SPBU. Terlebih saat mengetahui bahwa hari semakin siang. Setelah menunggu selama lima belas menit, akhirnya tiba gilian Pak Hedi untuk isi bensin. Setelah itu, Pak Hedi langsung melanjutkan perjalanan mengingat Sinta yang pasti menunggu dengan rasa tidak sabaran di rumah.
Seperti dugaan Pak Hedi, tidak terlihat barang satu gerobak rujak pun di sekitar Pasar Ciamplas. Setiap pedagang pakaian di sekitar Pasar Ciamplas yang ditanyai oleh Pak Hedi tentang penjual rujak justru tertawa sambil menyindir. “Mencari penjual rujak di sekitar Pasar Ciamplas saja susahnya setengah mati. Apalagi kalau harus penjual rujak bernama Mang Jono.” Karena lelah berkeliling kesana kemari di bawah terik matahari, Pak Hedi memutuskan untuk mampir dulu ke rumah temannya yang dekat dengan Pasar Ciamplas.
“Hei, Hedi!” sambut Pak Mar dengan wajah ramah sambil memeluk Pak Hedi. “Kamu terlihat kelelahan. Bukankah seharusnya kamu bekerja?”
“Aku ngambil cuti untuk mendampingi istriku yang sedang hamil,” jawab Pak Hedi. “Kamu lihat penjual rujak apa tidak?”
“Mana ada penjual rujak puasa-puasa begini. Kamu ini ada-ada saja,” jawab Pak Mar tertawa lepas.
“Istriku ngidam rujak, nih. Sudah kucari dimana-mana tapi tidak ada,” keluh Pak Hedi. “Apalagi, istriku hanya mau rujak Mang Jono yang biasa jualan di Pasar Ciamplas.”
“Istrimu itu... Sinta, kan?” Pak Hedi mengangguk. “Sebentar, aku masuk ke dalam dulu ya?” Pak Hedi cukup lama menunggu Pak Mar. Setelah beberapa menit, Pak Mar muncul dengan kresek hitam kecil yang ia sodorkan ke arah Pak Hedi.
“Apa ini?” tanya Pak Hedi heran.
“Rujak. Istrimu ngidam rujak, kan? Nih!”
“Akan tetapi, istriku itu hanya mau rujaknya Mang Jono. Takutnya kalau rujak dari orang lain, dia tidak mau,” keluh Pak Hedi.
“Lah aku ini Mang Jono,” Kening Pak Hedi seketika berkerut. “Namaku itu, kan Marjono. Biasanya orang-orang manggil aku Mar, tapi kalau jualan rujak namaku itu Mang Jono. Sinta biasanya ya beli rujak di aku.”
“Oh... Jadi kamu itu Mang Jono yang biasa jualan di Pasar Ciamplas?”
“Iya,” jawab Pak Mar.
“Tau gitu sih aku langsung saja kesini, tidak usah keliling Pasar Ciamplas sambil tanya ke orang-orang. Malah ditertawakan deh!” ujar Pak Hedi sambil menerima rujak pemberian Pak Mar. “Terima kasih banyak ya.”
“Berkorban sedikit lah... Namanya juga untuk bayi pertama,” balas Pak Mar. “Cepat berikan ke Sinta. Dia pasti sudah tidar sabar.”
“Iya... iya... Mang Jono... Mang Jono...”

1108 kata ditambah 4 kata dari judul, ini persembahanku untuk tantangan #EkspresiPuasa :)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar