Sabtu, 12 Juli 2014

Guru untuk Helen Keller

Okey! Dengan cerita ini, aku mau membagi sedikit pengalamku mengunjungi anak-anak SLB. Enjoy reading :)

Helen Keller, siapa yang tidak kenal dengan sosok inspiratif yang satu ini? Wanita buta-tuli-bisu asal Alabama ini berhasil menginspirasi jutaan jiwa di dunia dengan perjuangan hidupnya yang tentu tidak semudah yang kita bayangkan. Kehilangan tiga fungsi panca indera membuatnya kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bersama dengan Annie Sullivan, Helen belajar mengenali orang yang berkomunikasi dengannya dan kata-kata melalui perabaan.
            Berbicara tentang Annie Sullivan yang bisa dikatakan sebagai pelita dalam hidup Helen Keller, ingatanku melayang pada sosok salah satu anggota keluargaku, Bulik[1] Esti. Bulik Esti tinggal di Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara bersama suaminya, Om Iqbal dan putri pertamanya, Dik Hasna. Sama seperti Annie Sullivan, Bulik Esti juga berprofesi sebagai seorang tokoh pendidikan. Ya, Bulik Esti berprofesi sebagai seorang guru. Tetapi, Bulik Esti tidak mengajar di sekolah umum melainkan mengajar di Sekolah Luar Biasa atau SLB.
            Guru memang profesi yang sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat. Namun, bagaimana dengan guru SLB? Ada rasa penasaran dalam diriku mengapa Bulik Esti lebih memilih menjadi guru di SLB dibandingkan guru di sekolah umum. Karena penasaran, aku memutuskan untuk menanyakan hal itu kepadanya.
“Apa yang membuat Bulik Esti ingin menjadi guru di SLB?” tanyaku penasaran.
“Pertamanya senang banget kalau lihat anak-anak yang seperti itu, akhirnya ingin kuliah di PLB sekalian,” jawab Bulik Esti. Mendengar jawaban Bulik Esti, aku menjadi semakin penasaran. Semakin banyak pertanyaan-pertanyaan tentang profesinya sebagai guru di SLB dalam benaku.
“PLB itu apa, Bulik?”
“PLB itu Pendidikan Luar Biasa,”
“Apa saja yang bulik pelajari disana?”
“Ya banyak, Dik. Mulai dari cara mengajar umum sampai cara mengajar anak berkebutuhan khusus,”
“Berarti, memang dari dulu Bulik Esti ingin menjadi guru SLB?”
“Pengalaman mengajar waktu kuliah yang membuat bulik tertarik untuk mengajar anak-anak di SLB,” jawab Bulik Esti. “Dibalik kekurangan anak-anak itu, ternyata mereka menyanangkan, Dik. Kita jadi belajar dari mereka terutama belajar tentang bersyukur karena sudah dikasih kesempurnaan oleh Allah. Kalau lagi sebal, lihat anak-anak itu jadi terhibur dan rasanya tidak ada beban,”
“Bulik mengajar murid tunarungu atau tunanetra?”
“Bulik mengajar anak-anak tunarungu. Bulik salut sama mereka yang jujur-jujur dan persahabatan antar sesama anak seperti mereka bisa akrab banget, beda dengan anak-anak normal,”
“Gimana caranya bulik mengajar anak-anak tunarungu?” tanyaku penasaran.
“Mereka menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan teman-temannya,”
“Terus… bagaimana dengan mereka yang belum bisa bahasa isyarat?”
“Yang belum bisa bahasa isyarat tetap bisa berkomunikasi dengan teman-teman menggunankan bahasa yang orang lain kadang tidak paham tentang apa yang mereka obrolkan. Anak tunarungu biasanya mainnya itu akur dan menggerombol tetapi mereka juga punya sifat pilih-pilih dan biasanya tidak mau bermain dengan anak yang keterbelakangan mental,”
“Pasti susah, ya Bulik menjadi guru SLB,” ucapku sembari menghembuskan nafas berat.
“Kalau anak yang baru sekolah kadang-kadnag bikin kesal, Dik. Rasanya seperti mengajari anak-anak yang tidak tau apa-apa dan tidak mau diatur. Kadang ada yang ngiler dan ingusnya diusap-usapin ke gurunya, main lempar, gigit, nyakar, lari-lari semaunya sendiri dan ngajar 2 jam aja capainya minta ampun. Itu kalau anak yang keterbelakangan mental,” ucap Bulik Esti bercerita. “Kalau anak tunarungu umumnya kalau masih permulaan, emosi dan kemauannya susah diatur,”
“Berarti, menjadi guru SLB itu melelahkan, ya?”
“Tapi, kalau udah mulai dewasa, mereka sudah mulai bisa diatur dan tingkah anak-anak itu juga banyak yang menghibur,”
“Bulik mengajar di SLB mana?”
“SLB Mandiraja,” jawabnya. Mataku seketika membesar mendengar jawaban dari Bulik Esti. Jarak dari Madukara ke Mandiraja tidaklah dekat, sekitar 40 kilometer dan Bulik Esti menempuh jarak sejauh itu setiap hari!
“Anak-anak SLB berangkat sekolah setiap hari apa saja, Bulik?”
“Setiap hari, sama seperti sekolah umum. Pulangnya sekitar jam sebelas sampai setengah duabelas,”
“Bulik tau tidak kisah Helen Keller?”
“Iya, waktu bulik nonton filmnya, bulik sampai nangis. Bulik jadi tambah salut kepada orang-orang seperti itu. Film itu juga mengajarkan bulik banyak hal, salah satunya bersyukur. Bulik juga tambah senang dengan anak-anak seperti itu setelah menonton film Helen Keller,”
 “Bulik, ada apa tidak kejadian lucu yang pernah bulik alami selama mengajar di SLB?” tanyaku penuh antusias.
“Ada. Bulik punya murid namanya Hanif. Dia itu tunagrahita,”
“Tunagrahita itu apa?”
“Tunagrahita itu orang yang keterbelakangan mental, Dik,”
“Terus? Apa yang dilakukan oleh Hanif?”
“Dulu, waktu awal-awal bulik ngajar di SLB, tiba-tiba dia bilang ‘Bu guru wis mbojo durung? Bu guru mbojo karo inyong wae’[2],”
 Hahaha… Terus? Bulik Esti jawab apa?” tanyaku penasaran, masih dengan tawa kecil.
“Terus bulik jawab ‘Wis duwe, Nif. Bojone bu guru 5’[3],” jawab Bulik Esti. Tawaku membesar mendengar jawaban Bulik Esti. Rupanya, anak-anak SLB memang unik-unik dan kadangkala secara tidak sengaja justru menghibur.
“Ada cerita yang lain?”
“Ada, ini cerita tentang Tutut,” balas Bulik Esti. “Dia itu anak tunarungu. Wajahnya cantik banget. Dia pintar banget menari dan modelling. Bahkan, waktu dulu bulik mendampingi ke Solo, ada yang tidak percaya kalau dia anak tunarungu,”
Keren banget! Ada tidak cerita unik tentang anak autis?” Ya, anak autis memang sering menjadi buah bibir di kalangan masyarakat karena sering dipandang sebelah mata.
“Ada, namanya David. Setiap hari di kelas dia nyakar gurunya sampai berdarah,” jawab Bulik Esti.
“Ih! Kok gitu sih?” tanyaku kaget.
“Iya, karena itulah paling susah itu mengajar anak autis,”
“Anak-anak di SLB pintar-pintar apa tidak?”
“Pintarnya anak seperti itu ya terbatas, Dik. Kalau tunarungu tetap kurang kalau pelajaran verbal sedangkan kalau itung-itungan mereka pintar. Tapi kalau sudah berhubungan dengan bahasa mereka lambat memahaminya,”
“Bagaimana cara mengajari anak tunarungu dan tunanetra?”
“Kalau tuli lebih ditekankan pada bahasa bibir, kalau buta memakai huruf braile,” balasnya. Mendengar segala cerita Bulik Esti tentang anak-anak SLB, aku menjadi penasaran untuk bertemu secara langsung dengan mereka. Kebetulan, di daerah dekat rumahku ada SLB yang katanya memiliki cukup banyak murid. Sayangnya, sebelum jam 12 semua murid biasanya sudah pulang sementara jam belajar di sekolah baru saja berakhir jam dua atau setengah tiga siang. Ada rasa bimbang di hatiku, antara kewajiban dan keinginan.
Kebetulan, minggu ini kelas X dan XI memulai jam belajar jam setengah sembilan. Pagi-pagi, aku sudah bangun dan bersiap-siap dengan seragam identitas sekolahku. Mama akan mengantarku ke SLB pagi ini. Rasanya deg-degan dan tak sabar ingin cepat sampai dan bertemu dengan mereka.
Sesampainya di SLB, rupanya belum ada guru yang datang. Mama memarkirkan sepeda motornya di samping pohon pinus sementara aku berjalan masuk dan mulai melihat-lihat bangunan-bangunan yang ada disana. Bangunan-bangunan sederhana dan terkesan tua yang berjejer mengelilingi lapangan inilah tempat mereka menuntut ilmu dan mempelajari banyak hal.
Saat aku sedang melihat-lihat dengan asyiknya, tiba-tiba seorang gadis berbaju batik dengan rok selutut berwarna cokelat menghampiriku. Wajahnya menatapku dengan tatapan bingung dan takut. Pada pandangan pertama, kukira dia adalah salah satu guru di sini.
“Mbake[4] siapa ya?” tanya gadis itu.
“Saya Sinar Kasih Mentari dari SMAN 1 Banjarnegara mau melihat-lihat keadaan disini,” ucapku sekenanya. Tatapannya masih bingung dan dia masih memandangku. Dia mengulurkan tangannya seolah mengajakku berkenalan.
“Fitri,” ucapnya.
“Kasih,” balasku seraya menerima uluran tangannya.
“Mari, melihat-lihat dulu,” ucapnya sambil mempersilakan aku untuk berjalan terlebih dahulu. Fitri menjelaskan segala bangunan yang kulewati. Bangunan pertama yang kulewati adalah deretan ruang kelas.
Ukuran ruang kelas disini memang lebih kecil dibandingkan di sekolah umum, apalagi satu ruang kelas dibagi dua dengan cara memberi batas dengan papan kayu yang besar di tengah ruangan. Satu kelas mungkin hanya berisi enam sampai delapan murid.
Ruang kedua yang Fitri kenalkan padaku adalah ruang perpustakaan dan keterampilan. Diasana, aku melihat banyak sekali buku dan mesin jahit. Disana juga banyak lemari kaca yang berisi alat dan bahan untuk menjahit dan membuat prakarya dengan bahan dasar kain juga hasil-hasil kerajinan kain yang sudah jadi.
“Unik sekali ruangan ini,” batinku. Setelah puas melihat-lihat, aku berjalan keluar dari ruang tersebut. Sembari berjalan, Fitri terus bercerita tentang apa saja kepadaku. Guru-guru, anak-anak, dan hal-hal unik yang pernah terjadi disini.
“Kamu mau duduk? Duduk aja yuk! Nanti kamu kecapaian,” ucapnya. Aku hanya mengangguk lalu duduk di sampingnya. Kini, kami berdua duduk di atas bangku kayu di depan kamar mandi puteri. Saat aku dan Fitri sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba seorang anak perempuan bertubuh tinggi dan berambut keriting berjalan dengan mantap di depanku dengan tatapan takut.
“Siapa itu!?” teriaknnya sambil masuk ke dalam salah satu ruang kelas. “Siapa itu!?” teriaknya lagi.  Fitri hanya menyeringai dengan tatapan tak enak hati kepadaku lalu mengejar gadis itu.
“Kuwe kancane dhewek[5],” jawab Fitri. Gadis bertubuh jangkung itu keluar dari kelasnya namun tetap saja tidak mau menatapku. Aku menjadi takut, tetapi aku belum mau pergi dari sini. “Ayo kenalan!” ucap Fitri pada gadis itu. Aku berjalan menuju ke arah Fitri dan berdiri di samping gadis berambut keriting itu. Perlahan, dia mengulurkan tangannya.
“Fara,” ucapnya.
“Kasih,” jawabku sembari tersenyum.
“Situ, diajak main,” ucap Fitri.
“Yuk, main yuk!” ucap Fara sembari berlari kecil ke arah taman belakang. “Mau main di depan atau disini?” tanyanya padaku sambil menunjuk arah depan dan belakang secara bergantian dengan telunjuknya.
“Terserah kamu,” balasku.
“Main disini aja yuk!” balasnya lalu duduk di atas bangku di dekat ayunan. Aku duduk di samping kanannya lalu Fitri duduk di samping kananku. “Sebentar lagi cowok-cowoknya datang kok,” ucapnya riang.
“Kamu dari mana?” tanya Fitri.
“Dari SMAN 1 Banjarnegara,” balasku.
“Fara, dia dari SMA!” ucap Fitri pada Fara. Fara hanya tertawa. Wajahnya terlihat sangat senang saat Fitri mengucapkan kata ‘SMA’.
“Besok aku ke SMA, pakai baju putih-abu-abu. Ngemben[6],” ucapnya lagi sambil memainkan rambut keritingnya. Aku hanya tersenyum dan terkadang tertawa mendengar setiap cerita yang dilontarkan olehnya. Satu per satu murid SLB berdatangan. Beberapa diantara mereka adalah murid SDLB dan TKLB.
“Hei! Sini main!” teriak Fitri pada salah satu anak laki-laki berseragam kotak-kotak cokelat.
“Kalian kenal sama anak SD dan TK disini?” tanyaku penasaran.
“Iya, disini kami semua main-main. Disini kami berteman dengan siapa saja,” jawab Fitri. Semakin lama, aku menjadi agak tidak paham dengan apa yang Fitri ucapkan karena dia mengucapkan beberapa kata dengan tidak jelas. Kurasa, Fitri ini tunawicara.
“Kalau di sekolahku beda. Yang kelas X takut sama kelas XI. Terus yang kelas XI takut sama kelas XII. Padahal, sebenarnya mereka semua sama,” ucapku bercerita.
“Kalau disini beda, semuanya teman,” ucap Fara. Aku terharu mendengar jawabannya. Ternyata, apa yang diceritakan Bulik Esti padaku memang benar. Pertemanan anak-anak SLB memang patut diacungi jempol!
“Disini cowokku banyak,” ucap Fara bercerita. Aku yang mendengar ceritanya menjadi penasaran. “Iya, sebenatar lagi cowok-cowokku datang,” Mungkin, yang dia maksud dengan ‘cowok-cowokku’ adalah para teman laki-lakinya.
“Kalau aku udah pernah pacaran,” ucap Fitri. Pandanganku yang sedari tadi tertuju pada Fara kini beralih ke arah Fitri.
“Iya, dia itu udah pernah pacaran sama anak SLB Mandiraja,” ucap Fara.
“Kok bisa sih?” tanyaku setengah tertawa.
“Waktu itu, dia pernah sekolah disini. Terus aku suka sama dia. Tapi terus dia ninggalin aku gitu aja,” ucap Fitri. “Dia maunya apa, sih?” ucapnya lagi.
“Mungkin… dia ingin hatimuuu…,” balas Farah dengan muka konyolnya dan rambut keritingnya yang bergoyang-goyang. Tawaku meledak mendengar celoteh Fara yang benar-benar konyol sementara Fitri hanya tertawa kecil.
Satu per satu murid laki-laki mulai berdatangan. Fara dan Fitri menyambut mereka dengan penuh kegirangan. Ya, itulah salah satu hal yang tidak mungkin kutemui di sekolahku.
“Sini! Sini! Kamu aku kenalin sama cowokku,” ucap Fara. Aku mengikuti langkahnya menuju gedung SMP dan memperkenalkanku dengan Pak Rohman, salah satu guru disini dan beberapa temannya.
“Ini namanya Oki dan Suya,” ucap Fara. Aku menjabat tangan mereka satu-satu lalu memberitau mereka namaku.
“Kalau yang ini Evin,” ucap Fitri.
“Kasih,” ucapku pada Evin yang menatapku dengan malu-malu.
“Ih… malu-malu,” ledek Fitri.
“Iya, itu sukanya malu-malu!” ucap Fara dengan suaranya yang seketika bisa melengking kemudian melangkah gontai menuju bangku lalu duduk lagi.
Fitri dan Fara bertanya-tanya tentang teman-temanku di sekolah. Aku menceritakan segala hal tentang teman-temanku di sekolah, termasuk kenyataan bahwa aku sering menjadi tempat curhat bagi teman-temanku yang suka sama teman sekelas. Aku juga menceritakan tentang beberapa temanku yang tinggal di daerah Bantarwaru barangkali Fara dan Fitri yang tinggal di Bantarwaru mengenal mereka.
“Hei, disini ada murid yang sukanya kejang-kejang,” ucap Fitri.
“Kok bisa?” tanyaku penasaran setengah terkejut.
“Iya, dia itu sukanya main HP, terus nanti kejang-kejang dan langsung dikasih obat 10 butir,” jawab Fitri.
“Memang dosisnya segitu?”
“Iya, dianya tidak boleh kecapaian, jadi diberi obat terus. Kemarin dia juga pingsan,”
“Berarti dia anaknya hiperaktif?”
“Iya, sukanya kesana kemari, main-main, sukanya kalau pelajaran malah duduk-duduk disini,” ucap Fitri menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk.
“Jalan-jalan lagi yuk!” ajak Fara sembari beranjak dari bangku lalu melangkah ke arah lapangan diikuti dengan langkahku dan Fitri.
“Hobi kamu apa?” tanya Fara. “Kalau aku suka nyanyi. Aku bisa nyanyi,”
“Kalau aku tidak bisa nyanyi,” jawabku. Fara hanya menatapku bingung. “Aku suka menulis. Aku ingin menceritakan tentang kalian ditulisanku,” jelasku.
“Boleh kok, boleh,” jawab Fitri sambil memandangku dengan tatapan bingung. Ya, mungkin menulis bukanlah hal yang biasa bagi mereka.
 “Kalian sering main di lapangan itu?” tanyaku sambil menunjuk ke arah lapangan yang cukup luas dengan dua tiang ring yang tidak terlalu tinggi di kedua sisinya.
“Kalau main disini sering, sering banget main disini,” jawab Fara sambil melipat kedua tangannya. Ya, mereka memang suka sekali mengulangi ucapan mereka dengan susunan yang berbeda. Saat melewati kelas mereka, Fitri dan Fara mengajakku untuk masuk.
“Sini masuk,” ucap Fitri lalu memberitau nama-nama murid yang sekelas dengannya kepadaku lengkap dengan letak tempat duduknya. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil sesekali memasang tampang bingung karena kadang-kadang mereka tertawa terbahak-bahak tanpa aku tau hal lucu apa yang mereka tertawakan.
Setelah puas melihat-lihat isi kelas mereka lengkap dengan karya-karya mereka yang ditempel di papan kayu, aku, Fara, dan Fitri duduk di koridor depan kelas. “Nanti kamu aku kenalkan dengan Laili. Sebentar lagi dia datang kok,” ucap Fara. Benar saja! Seorang gadis berkerudung cokelat dan bertubuh gemuk datang dengan wajah yang ramah.
“Laili, ini Kasih, anak baru!” ucap Fitri senang. Apa? Anak baru? Aku tidak salah dengar, kan? Ya Allah, apa harus menjelaskan  kepada mereka bahwa aku kesini hanya untuk melihat-lihat? Tapi, bagaimana kalau mereka sampai kecewa?
“Laili,” ucap Laili memperkenalkan diri.
“Kasih,” balasku.
“Sini, kamu duduk aja, nanti kamu kecapaian,” ucap Fitri mengajakku duduk bersamanya lagi. Aku duduk diantara Fitri dan Fara. Setiap ada murid yang memasuki gerbang sekolah, dengan cekatan Fitri dan Fara menceritakan segala yang mereka tau tentang murid itu. Sungguh, mereka benar-benar akrab satu sama lain!
“Kamu mau aku kenalin dengan Evin?” tanya Fitri.
“Aku udah kenal dengan Evin,” ucapku.
“Bukan Evin yang itu! Tapi Evin kelasnya aku. Yang tadi itu Evin kelas sebelah,” ucap Fitri menerangkan. “Mau?” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Fitri berlari menuju ke arah depan kantor dan menyeret seorang murid laki-laki berperawakan tinggi besar sambil tertawa. Aku yang melihatnya pun ikut tertawa.
“Ini nih yang namanya Evin,” ucap Fitri. Aku mengulurkan tangan kananku ke arah Evin namun dia hanya diam. “Kok diam saja?”
“Evin,” jawabnya sambil menerima uluran tanganku lalu berlari menuju kelas. Evin Kelas Sebelah muncul dari gedung sebelah lalu bergabung bersama kami. Dia masih saja menatapku dengan malu-malu, tetapi kubiarkan saja.
Aku melihat ke arah jam tanganku. Waktu hampir menunjukkan pukul delapan. “Fitri, antarkan aku ke kantor yuk!” pintaku.
“Yuk!” balasnya. Sesampainya di depan kantor, aku mulai mencari kepala sekolah SLB yang ternyata belum hadir. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang.
“Fitri, aku pamit dulu ya. Aku senang banget bisa mengenal kalian,” ucapku sambil menggenggam kedua tangannya dan menatap kedua matanya. “Maaf kalau dalam berbicara aku kadang menyakiti hati kalian,”
“Tidak kok,” balasnya.
“Salam untuk semua, ya,” ucapku sambil berlari menuju ke tempat parkir untuk menemui Mamaku. Setelah aku duduk diatas jok motor, Mama mulai menjalankan motor menuju ke arah sekolah.
“Dadah…,” ucap Laili, Fara, dan Fitri dari depan sekolah sembari melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangan mereka dengan butiran air mata di ujung kelopak mataku. Ya, mereka mengajariku banyak hal tentang persahabatan dan pertemanan yang mungkin tidak akan kuketahui seandainya aku tidak bertemu mereka…

[1] Artinya : Tante (Dalam bahasa Jawa)
[2] Artinya : ‘Bu guru sudah nikah belum? Bu guru nikah sama aku aja’ (Dalam bahasa Jawa)
[3] Artinya : ‘Sudah punya, Nif. Suaminya bu guru 5’ (Dalam bahasa Jawa)
[4] Artinya : Mbak
[5] Artinya : ‘Itu temannya kita’ (Dalam bahasa Jawa)
[6] Artinya : ‘Kapan-kapan’ (Dalam bahasa Jawa)
Share:

2 komentar:

  1. luar bisa prjuangan guru di daerah` saya keturunan anak desa tlaga mlaya anak dari p juwarto anak petani singkong

    BalasHapus
  2. saya sangat hormat pada pejuang lewat guru guru di daerah Amin amin

    BalasHapus